Ujian Nasional (UN) itu momok yang menakutkan bagi setiap pelajar. Terutama bagi pelajar Indonesia. Bayangkan saja, sekolahmu yang selama tiga tahun itu cuma ditentukan oleh lembar soal yang kamu kerjakan dalam waktu yang cuma beberapa hari doang. Gimana nggak deg-degan coba?
Kalau mau jujur, pengadaan UN sendiri sebenarnya masih menyisakan banyak pro dan kontra. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Perubahan atau yang disebut pemerintah sebagai perbaikan, tiap tahun juga tak pernah luput dari perhatian orang dan media. Tahun 2017 ini pemerintah berupaya ‘memodernkan’ pelaksanaan UN dengan beralih ke basis komputer. Akankah sistem pelaksanaan yang tiap tahun selalu berubah itu, benar-benar bisa mendongkrak kualitas pendidikan dan pelajar Indonesia? Atau seperti kebanyakan program lain di Indonesia, akhirnya justru tidak tepat guna dan dananya dikorupsi kemana-mana?
Topik ini memang penting untuk jadi bahasan bersama karena menyangkut generasi masa depan Indonesia. Makanya Hipwee News & Feature kali ini ingin mengajak kamu melihat perubahan Ujian Nasional dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENTS
1. Dimulai dengan soal nama. Meski tampak sepele, ternyata Ujian Nasional sudah beberapa kali ganti nama loh. Sekarang aja namanya udah ganti jadi Ujian Nasional Berbasis Komputer, UNBK
ADVERTISEMENTS
2. Padahal zaman kita SD dulu namanya EBTANAS, Evaluasi Belajar Tahap Akhir! Iya, itu sekitar tahun 1998-2000
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
3. Setelahnya antara 2001-2004, namanya diganti jadi UAN – Ujian Akhir Nasional. Cuma ya gitu, perubahan signifikan ya cuma di namanya doang…
ADVERTISEMENTS
4. Dari dulu hingga namanya Ujian Nasional (UN) saja seperti sekarang, tipe soalnya hanya satu alias sama semu. Baru tahun 2010, UN punya dua paket soal; A dan B
5. Pada tahun 2011, jumlah bertambah jadi 5 paket soal. Lalu pada tahun 2013, soalnya bahkan ada sampai 20 paket. Parahnya, meski sudah begini ternyata kebocoran soal masih tinggi
6. Di era UNBK ini jumlah paketnya kembali menjadi 5. Mungkin pemerintah menyadari bukan permasalahan banyaknya paket soal, tapi ‘kebocoran’ mental yang sulit diubah
7. Bicara soal standar nilai kelulusan, ternyata tiap tahun juga berbeda. Dari zaman dulu yang pernah cuma rata-rata minimal 4,25 sampai 5,50
8. Sejak tahun 2015, Ujian Nasional sudah bukan lagi patokan kelulusan. Kriteria lulus diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah. Lah kalau gitu ngapain ada UN segala ya?
9. Seiring dengan pergantian nama, sistem, maupun standar nilai, sudah jadi rahasia umum kalau teknik menyontek juga ikut berevolusi. Inget nggak dulu kamu nyontek pakai kode jari tangan?
10. Nah sayangnya seiring perkembangan teknologi, metode nyontek pun ikut berkembang. Pasalnya, makin banyak gadget kecil yang bisa diselipkan di mana-mana
11. Banyak siswa yang rela melakukan hal esktrem demi mendapatkan nilai bagus dalam UN. Dari menyontek bersama sampai cari bocoran soal. Padahal ada sanksi hukumnya lho, tapi tetap tidak takut
12. Mirisnya, tak jarang pihak atau oknum sekolah ternyata ikut terlibat dalam aksi curang itu. Alasannya?! Dari tak tega melihat muridnya tidak lulus hingga berpengaruh pada peringkat akreditasi sekolah
Untuk memutus budaya kecurangan tersebut, pemerintah lewat Kemendikbud bahkan mengancam akan menerapkan sanksi berat terhadap guru atau oknum sekolah yang terbukti terlibat. Tapi sebenarnya alasan di balik perbuatan sejumlah tenaga pendidik yang sampai nekad membocorkan soal ujian ke murid-muridnya, juga perlu diperhatikan. Mungkin guru-guru, terutama mereka yang mengajar di daerah-daerah tertinggal, khawatir muridnya tidak bisa memenuhi standar nasional. Meski telah disesuaikan, namun mengingat kesenjangan mutu dan sarana pendidikan yang begitu besar, masalah ini sebenarnya merupakan kekhawatiran nyata.
Kekhawatiran-kekhawatiran yang ada di level daerah dan dalam waktu pelaksanaan riil inilah, yang seringkali lepas dari perhatian pemerintah pusat. Bisa saja pemerintah bolak-balik mengganti nama atau modernisasi sistem, tapi kalau akar masalah yang terkait dengan kesenjangan ini dibiarkan begitu saja, semua perubahan itu bakal percuma. Sulit sih menciptakan standar kalau jelas-jelas kualitas pendidikannya masih berbeda-beda.