Siapapun berhak untuk beribadah, termasuk para waria. Sayangnya, masih banyak persepsi negatif tentang waria di Indonesia. Mereka menjadi takut dan malu jika beribadah di tempat umum. Di tengah kondisi tersebut, hadirlah Pondok Pesantren Al Fatah sebagai penyelamat. Para waria dipersilakan untuk beribadah dengan nyaman.
Sebagai pesantren khusus waria, tentunya kegiatan di Al Fatah berbeda dari pesantren biasa. Berikut ini adalah potret keunikan mereka dalam beribadah.
ADVERTISEMENTS
Pondok pesantren Al Fatah didirikan pada 2008, agar para waria bisa beribadah dengan tenang
Pesantren waria lahir dari kegelisahan Maryani, seorang perempuan paruh baya. Ia merasa belum ada fasilitas ibadah yang memadai bagi para waria. Padahal mereka berhak beribadah seperti orang-orang lainnya. Maryani pun mendirikan Pondok Pesantren Al Fatah di Notoyudan, Yogyakarta. Setelah ia meninggal, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh Shinta Ratri. Ia memindahkan pondok tersebut ke kediamannya di Bantul.
Para waria dari berbagai latar belakang berkumpul di pesantren ini
Kini, ada sekitar 40 waria yang bergabung di Pondok Pesantren Al Fatah. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang berprofesi sebagai pengamen, penari, hingga pekerja seks. Penampilan mereka pun bermacam-macam. Banyak yang memakai pakaian perempuan dan makeup. Walau demikian, derajat mereka sama di pondok pesantren. Dan mereka sama-sama umat Islam.
Mereka beribadah sesuai cara masing-masing
Setiap anggota pesantren waria dipersilakan untuk beribadah sesuai caranya. Saat salat berjamaah, sebagian waria mengenakan baju koko dan sarung, sementara sisanya memakai mukena. Perbedaan itu tidak membuat mereka berselisih. Sebaiknya, mereka bisa menerima perbedaan atas nama toleransi beragama. Itulah yang membuat kehidupan di sana menjadi damai.
Selain kegiatan ibadah, para waria juga diberi berbagai pelatihan
Selaku pemimpin pondok pesantren waria, Shinta tidak hanya mengajari ibadah. Ia juga memberi berbagai pelatihan pada para anggota. Contohnya adalah pelatihan tata rias dan pengurusan jenazah. Diharapkan, pelatihan tersebut bisa menambah kemampuan dan kesempatan mereka dalam bekerja. Dengan demikian, mereka bisa memperbaiki nasib dan lebih sejahtera secara finansial.
ADVERTISEMENTS
Sayangnya, pada 2016 pesantren ini ditutup akibat protes dari masyarakat
Terkadang,niat baik bisa disalahpahami oleh orang lain. Itulah yang menimpa Shinta dan para anggota Pondok Pesantren Al Fatah. Pada 2016, sekelompok orang mendatangi pesantren dan memintanya untuk ditutup. Sebab, mereka mengira bahwa pesantren itu sedang membuat fiqih waria untuk mendukung legalitas LGBT. Padahal sebetulnya tidak. Walau demikian, Al Fatah tetap ditutup secara paksa. Para waria pun sedih karena kehilangan tempat yang nyaman untuk beribadah.
ADVERTISEMENTS
Setelah berhasil menggalang dukungan dari tokoh-tokoh penting, pesantren waria dibuka lagi pada 2019
Shinta tidak menyerah walaupun pondok pesantren waria sudah ditutup. Ia meminta dukungan dari sejumlah tokoh masyarakat dan agama. Berkat dukungan tersebut, syukurlah kini Pondok Pesantren Al Fatah kembali dibuka. Sejak awal 2019, para santri bisa beribadah di sana lagi. Mereka berkegiatan rutin setiap hari Minggu. Saat bulan Ramadhan, jadwal kegiatan ditambah menjadi Minggu dan Rabu.
ADVERTISEMENTS
Para waria di Pesantren Al-Fatah sudah saling menyayangi seperti keluarga
Kesamaan nasib membuat hubungan para santri menjadi dekat. Bahkan, mereka sudah seperti keluarga sendiri. Di depan Tuhan, mereka adalah saudara. Tidak hanya saling membantu dalam beribadah, tetapi juga saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah potret unik kehidupan di Pondok Pesantren Al Fatah. Mereka membuktikan bahwa siapapun berhak untuk beribadah dan memiliki posisi yang sama di hadapan Tuhan. Bagi mereka, perbedaan bukanlah awal dari perpecahan, melainkan kesempatan untuk belajar toleransi. Wah, patut dicontoh nih!