Semalam, Kompleks Gedung Parlemen jadi saksi bisu perjalanan demokrasi kita. RUU Pemilihan Kepala Daerah telah mencapai titik akhirnya. Setelah Partai Demokrat menyatakan walk out dari sidang dan memilih bersikap netral, RUU ini akhirnya diterima oleh DPR. Artinya, sejak dini hari tadi era Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah berakhir di Indonesia.
Mulai hari ini, hak kita untuk datang ke bilik suara dan memilih pasangan Calon Gubernur, Bupati, dan Walikota terhapuskan. Paku untuk nyoblos dan tinta biru yang menghiasi kelingking akan diambil alih oleh kekuatan “musyawarah” DPRD. Sebagai anak muda yang besar di era demokrasi, apa yang kamu rasakan atas hal ini? Kecewakah, marah, atau justru biasa-biasa saja?
ADVERTISEMENTS
“What the hell. RUU Pilkada passed by DPR. Olympus has fallen. Repeat. Olympus has Fallen.”
Kicauan tersebut muncul di linimasa Twitter saya pagi ini dari seorang kawan bernama @ShofiAwanis. Bukan hanya kicauan dari Shofi, beberapa kawan lain juga menuliskan hal yang hampir serupa di status Twitter akun pribadinya. Seakan sebuah kekacauan besar telah melanda negeri ini di awal hari:
“Pagi New Orde Baru :(”
“Indonesia returns to a system of elitist democracy controlled by corrupt politicians serving their own interests.”
“Mahasiswa ’98 yang jaket almamaternya dipake siap berdarah bukan untuk nonton talkshow itu, marah ga ya liat pagi ini?”
“Funny. Just yesterday SBY chaired OGP High Level Event. And he said ‘we must ensure good governance & citizen participation'”
Dampak dari lolosnya RUU ini memang tidak main-main. Dengan hanya 135 suara mendukung pemilihan Kepala Daerah secara langsung sementara 226 anggota lain menolak, kita tidak akan lagi punya kuasa memilih siapa yang berhak memimpin daerah yang mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk kita. Hak pilih sebagai rakyat sebuah daerah telah “dikembalikan” ke proses musyawarah-mufakat DPRD.
16 tahun lalu, mahasiswa Indonesia pernah berjuang mati-matian menduduki gedung MPR-DPR demi merebut demokrasi — sang Olympus yang kita rindukan. Dengan gol-nya RUU ini, Olympus itu memang sedang di ujung tanduk kejatuhannya.
ADVERTISEMENTS
Pilkada yang Lebih Efektif Harus Dibayar Dengan Hilangnya Pendapatan “Wong Cilik”?
Selain berdalih Pilkada Langsung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, partai pendukung Pilkada Tidak Langsung mengungkapkan alasan efektivitas dan penghematan kas negara sebagai hal yang mendasari sikap politik yang mereka ambil. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah salah satu partai yang lantang menyuarakan keengganannya mendukung Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dengan 9 alasan.
Salah satu alasan yang paling lantang diteriakkan adalah upaya menghemat kas negara hingga Rp. 50 triliun. Biaya demokrasi dianggap terlalu besar sehingga harus segera dipangkas.
Pertanyaannya, benarkah dengan menghilangkan mekanisme Pilkada Langsung 9 permasalahan di atas akan selesai? Atau justru hilangnya mekanisme pemilihan kepala daerah langsung ini akan memunculkan masalah baru? Daripada ribut mengukur dampak keputusan ini sesuai kriteria demokrasi yang diungkapkan Robert Dahl, yuk kita coba melihatnya dari kaca mata yang lebih mikro.
Hipwee melakukan wawancara via telepon dengan Yuwono, pegawai di Semangat Baru Offset, sebuah percetakan di Jogja yang selama ini banyak melayani pesanan untuk proyek pilkada. Yu, begitu ia biasa disapa, mengatakan bahwa selama ini pilkada telah membawa banyak keuntungan bagi percetakan tempatnya bekerja:
“Setiap pilkada biasanya akan ada pesanan stiker, poster, dan spanduk gitu. Ya memang lumayan banget sih ada pilkada langsung dan kampanyenya. Kalau cetak poster 500 eksemplar aja biayanya Rp 500.000,00 . Kalau buat kampanye pilkada, biasanya akan cetak minimal 5.000 eksemplar. Kaliin aja 10. Itu baru poster ya, belum yang lain.”
Hal senada diungkapkan oleh manajemen KN, artis dangdut muda ternama Jogja. Dalam wawancara via telepon, beliau menolak disebutkan secara gamblang identitasnya dalam artikel ini.
“Wah saya sebenarnya nggak mau ikut-ikutan politik, Mbak. Tapi memang kampanye pilkada itu panennya musisi. Jadi sumber income. Yah, tapi semua ada plus-minusnya. Yang penting hidup ayem aja lah, hehe.”
Dua pendapat di atas memang belum layak jadi pembanding dengan wacana penghematan 50 triliun yang diharapkan bisa tercapai dalam 5 tahun ke depan. Namun dari wawancara singkat yang Hipwee lakukan, masyarakat jelas akan merasakan dampak langsung dari keputusan yang dibuat oleh 500 wakil rakyat kita di DPR, yang notabene juga terpilih lewat mekanisme voting langsung.
ADVERTISEMENTS
Kamu Mau Diam Saja, Hidup Ala Film Divergent dan Siti Nurbaya?
Sebagai anak muda yang aktivitas ekonominya tidak bersinggungan langsung dengan pilkada, haruskah kita angkat bicara dan melakukan sesuatu? Menurut hemat saya, jawabnya “Iya.”
Dalam 10-20 tahun ke depan, kita-kita inilah yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan yang kini dipegang oleh generasi Bapak dan Oom. Tidak ada lagi mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung akan memutus kesempatan kita, yang sejak awal tidak memutuskan berkecimpung di dunia politik, untuk bisa turun tangan membangun daerah.
Contohnya nih, 20 tahun lagi kamu sudah tumbuh sebagai pengusaha start-up sukses. Akhirnya muncul keinginan untuk “membalas budi” pada daerah asalmu yang hingga kini masih sangat tertinggal dari segi teknologi. Kamu tahu apa yang harus dilakukan, kamu punya sumber daya untuk mewujudkannya — tapi koneksimu ke dunia politik nol besar.
Kamu tidak bergabung ke partai politik apapun, tidak punya rekam jejak di dunia politik, dan tidak punya nama di kalangan pejabat DPRD. Dengan begini, kemungkinanmu aktif berkecimpung di pemerintahan akan lebih kecil jika dibandingkan dengan mereka yang sejak awal memang bergabung di partai politik.
Secara tidak langsung, mekanisme ini akan mengebiri kesempatan anak-anak muda brilian yang ingin membangun negerinya. Hanya mereka yang sejak awal memilih berafiliasi dengan partai politik lah yang punya kesempatan untuk menjadi birokrat. Sisanya? Kalau mau masuk sistem ya harus masuk partai dulu biar bisa kenal sama DPRD yang nantinya akan menentukan nasibmu.
Kalau udah begini, Indonesia akan jadi seperti negara yang digambarkan di film dan novel Divergent gak sih? Rakyatnya hidup dalam faksi-faksi yang akan menentukan peran mereka dalam masyarakat. Berpindah faksi tetap mungkin dilakukan, tapi pilihan itu harus dibayar dengan pengorbanan yang sangat besar.
Kita juga seakan kembali diajak untuk hidup dalam era Siti Nurbaya. Di mana pilihan hidup akan ditentukan oleh kekuatan otoritas, bukan oleh kehendak pribadi yang bebas.
Hmmmm yakin nih kamu mau?
Seperti kicau @christieafr di status Twitter-nya:
“Pak Bu anggota DPR, kami bukan Siti Nurbaya. Ga perlu dipilihin, bisa milih sendiri.”
Gimana sekarang? Kamu masih mau diam saja, atau hendak bergegas mencari cara untuk melakukan sesuatu?