Kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan, jadi salah satu misteri besar di Indonesia. Selama kurang lebih 3 tahun, seluruh masyarakat dibuat penasaran sama siapa sosok pelaku yang tega menyiram Novel sampai mata kirinya rusak. Tapi sayang, bak film yang ending-nya kurang greget, kasus ini pun juga bikin banyak sekali orang kecewa. Masalahnya, si pelaku yang katanya anggota polisi itu, cuma dituntut 1 tahun penjara! Lucu aja gitu, waktu buron dengan lama hukumannya, malah lebih lama buronnya.
Selain masa hukuman yang dinilai nggak sebanding sama kejahatan yang sudah dilakukan, sejumlah ahli menilai banyak kejanggalan saat persidangan tanggal 11 Juni kemarin berjalan, mulai dari bukti CCTV yang nggak ditampilkan, sampai saksi-saksi penting yang nggak dihadirkan. Kayak sengaja banget semua ini cuma setting-an dan formalitas. Bahkan alasan-alasan Jaksa Penuntut Umum kenapa cuma menjatuhi hukuman 1 tahun juga kayak nggak masuk akal gitu. Yang kuliah hukum pasti pada malu berjamaah deh. Memang apa sih alasan-alasannya?
ADVERTISEMENTS
1. Jaksa menyatakan kalau si terdakwa awalnya cuma berniat menyiram bagian tubuh Novel dengan air keras, tapi malah nggak sengaja kena wajah
Dari surat tuntutan yang dibaca jaksa, disebutkan kalau dua terdakwa yang terlibat penyiraman itu nggak sengaja menyiramkan air keras ke wajah Novel. Padahal awalnya cuma berniat menyiram di bagian tubuh aja. Jadi kalau menurut jaksa si terdakwa itu nggak berniat melakukan penganiayaan berat, sebaliknya, terdakwa cuma pengin ngasih pelajaran ke Novel dengan menyiram air keras ke badannya, yang ternyata malah meleset.
Hmm.. melesetnya tapi sampai bikin mata rusak permanen yha~
ADVERTISEMENTS
2. Selain itu, Jaksa juga mengatakan kalau dakwaan primer kasus ini nggak terbukti, yang akhirnya membuat terdakwa dikenai dakwaan subsider
Dakwaan primer dalam kasus Novel ini memakai Pasal 355 ayat 1 KUHP, bunyinya “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Tapi menurut jaksa, terdakwa nggak terbukti melakukan itu. Sehingga ia memakai dakwaan subsider yang menggunakan Pasal 353 ayat 2 KUHP, berbunyi “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Tapi kenapa nggak pakai hukuman paling maksimal aja (7 tahun)? Kok malah milih yang paling ringan??
ADVERTISEMENTS
3. Kayaknya karena si terdakwa mengakui perbuatannya dan telah meminta maaf ke Novel dan keluarganya. Jadi jaksa menganggap si terdakwa ini punya itikad baik lah. Wait, whaaat?
Alasan selanjutnya jaksa cuma ngasih hukuman ringan adalah karena terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya. Mereka juga bersedia meminta maaf ke Novel dan keluarganya. Kok alurnya mirip sama orang-orang yang suka bikin sensasi di medsos ya: melakukan kesalahan — viral — minta maaf — udah. Miris banget padahal ini jelas-jelas kasus besar yang melibatkan anggota KPK, bukan sekadar kasus ecek-ecek yang biasa masuk akun lambe-lambean Instagram!
Dan, please, tolong dicatat, minta maaf doang nggak bisa balikin cacat mata yang diderita Pak Novel seumur hidupnya ya!
Duh, kenapa ya kok pemerintah mendadak jadi jago bikin lelucon gini. Belum hilang di ingatan soal lelucon-lelucon seputar Covid-19, eh, sekarang udah “dihibur” lagi sama ending dari kasus Novel yang beberapa tahun ini menggemparkan publik. Padahal kalau lihat kasus-kasus penyiraman air keras lainnya, pelakunya rata-rata dihukum lebih dari 8 tahun penjara lo! Eh, lupa ding, kan pelakunya “orang biasa”, kalau kasus Novel ini, mungkin pelaku aslinya dari kalangan “luar biasa”. Hehehe, no offense~
Tapi jujur deh, pasti banyak orang yang sampai bingung gimana menanggapi ending kasus Novel ini. Antara pengin ngakak, atau justru miris karena hukum di Indonesia begini amat. Huft!