Selain social distancing dan lockdown, istilah lain yang turut populer di tengah wabah virus corona ini adalah ‘panic buying‘. Istilah ini muncul terutama saat terjadi kepanikan massal yang bikin orang tiba-tiba memborong berbagai barang kebutuhan, termasuk masker, hand sanitizer, dan stok bahan makanan. Bahkan nggak sedikit oknum yang sengaja menimbun masker terus menjualnya lagi dengan harga di luar akal sehat. Masa naiknya sampai 10 kali lipat!? Dan mirisnya walaupun harganya melambung tinggi, masih ada aja orang yang bersedia membeli.
Sebenarnya udah jadi insting dasar manusia untuk bertahan hidup, termasuk saat berpikir nyetok barang kebutuhan di tengah wabah melanda. Buat jaga-jaga gitu. Tapi, berlebihan dalam membeli sampai memborong semua barang di toko atau swalayan itu ternyata juga menyimpan dampak buruk lo. Nah, kali ini Hipwee sudah merangkum seluk-beluk istilah panic buying yang perlu kita pahami bersama, termasuk apa dampaknya kalau kita beneran ngelakuin.
ADVERTISEMENTS
Kayak namanya, panic buying adalah ketika orang membeli sesuatu dengan dilandasi rasa panik luar biasa, antara takut kehabisan atau takut harganya bakal naik drastis esok harinya, mengingat ada lonjakan permintaan
Panic buying terjadi saat publik tiba-tiba impulsif belanja ini-itu karena dilanda kepanikan luar biasa. Fenomena panic buying di Indonesia terjadi sesaat setelah Pak Jokowi mengumumkan kalau virus corona sudah masuk Indonesia dan menjangkit 2 orang. Mereka yang memborong barang kebutuhan pokok itu terutama yang tinggal di sekitar Depok dan Jakarta, lokasi di mana kedua pasien corona tinggal dan dirawat. Nggak hanya bahan makanan, bahkan rempah-rempah atau bahan-bahan yang biasa dipakai buat bikin jamu tiba-tiba banyak diburu.
ADVERTISEMENTS
Panic buying terjadi karena pada dasarnya manusia memang punya insting bertahan hidup. Fenomena ini semakin marak juga karena ketidaktahuan atau keterbatasan informasi yang diterima masyarakat
Sayangnya, dibanding mencari tahu dulu informasi rinci mengenai suatu wabah, kebanyakan masyarakat langsung khawatir, panik, hingga akhirnya memutuskan memborong barang kebutuhan pokok dan menimbunnya. Tindakan belanja masif ini dilakukan sebagai upaya penyelamatan diri. Padahal bisa jadi mereka pun nggak tahu seberapa mematikannya virus yang lagi heboh itu. Yang ada di pikiran cuma gimana biar besok bisa tetap makan walaupun di luar sana ada virus mematikan.
ADVERTISEMENTS
Tapi fenomena ini seringkali dimanfaatkan sama para pemburu rente atau keuntungan. Mentang-mentang lagi banyak permintaan, mereka jadi menaikkan harga sesukanya. Kalau udah begini, kasihan sama yang nggak mampu beli 🙁
Mau memilih untuk panic buying atau belanja secukupnya aja memang sepenuhnya ada di tangan konsumen. Tapi coba deh direnungkan lagi kalau memang mau menimbun barang. Soalnya momen-momen kayak gini tuh sering dimanfaatkan sama oknum-oknum pedagang yang hobi menimbun keuntungan. Mereka tega menaikkan barang sesukanya, karena permintaan pasar lagi naik. Kalau sudah begini, barang-barang yang emang jadi kebutuhan semua orang hanya bisa diakses mereka yang berduit aja. Apa kabar orang-orang dengan ekonomi miskin??
ADVERTISEMENTS
Selain itu, panic buying juga bikin barang-barang yang biasanya mudah diperoleh jadi sulit dicari karena cepat habis. Soalnya toko-toko kan butuh waktu juga buat restock lagi
Logikanya memang ketika terjadi panic buying, barang-barang di pasar terutama kebutuhan pokok kayak beras, minyak, gula, dan lain-lain akan lebih cepat habis. Kalau sudah gitu, barang yang dibutuhkan hampir semua orang itu jadi barang langka. Sejatinya barang-barang itu nggak benar-benar habis sih, cuma biasanya retail modern memang butuh waktu buat memasok lagi alias nggak bisa memasok saat itu juga.
Sebetulnya saat ini fenomena panic buying di Indonesia sudah mulai mereda, nggak separah waktu baru awal-awal ada kasus corona. Tapi melihat terus naiknya jumlah pasien positif Covid-19 di sini, bahkan bisa dibilang cukup signifikan, bukan nggak mungkin akan ada gelombang panic buying kedua suatu hari nanti. Fenomena ini cuma bisa dikendalikan pemerintah dan pedagang atau pebisnis, misalnya dengan menetapkan batasan minimal orang membeli suatu barang, atau yang lainnya. Intinya sih jangan sampai nantinya cuma orang-orang berduit aja yang bakal kebagian, orang-orang nggak mampu juga mesti diperhatikan~