Semisal pakai skala akademis kuliah, ya B- lah. Lulus sih, tapi kalau ditanya teman, jawabnya "wah. belum ngecek nilai nih.."
ADVERTISEMENTS
Nggak sekadar maskara atau kopi susu, kabinet juga bisa di-review. Tentu dalam hal ini yang dinilai adalah pilihan anggota dan komposisinya, bukan kinerjanya (karena belum bisa kita lihat, saya bukan ahli nujum).
Saya mempersembahkan nilai 5/10, kurang lebih sama dengan rating yang akan saya berikan ke gaya berbusana Uya Kuya. Pasalnya, terlalu terang benderang kesan adanya tawar menawar dan giveaway jabatan yang membuat banyak posisi menteri diisi oleh nama-nama yang dipaksakan, seperti membayangkan andai Mulan Jameela dipaksa masuk jadi anggota DPR…… eh, tapi itu beneran terjadi ding…
Prinsipnya, saya percaya bahwa golongan profesional lebih bisa diandalkan memimpin kementerian daripada golongan orang partai, utamanya pada ranah kementerian yang membutuhkan wawasan praktis tertentu (kelautan, pertanian, kesehatan, keuangan, dll.). Dan komposisi 47 persen golongan partai berbanding 53 persen golongan non-partai di Kabinet Maju ini adalah angka yang sangat kompromis.
Kekecewaan tak bisa saya hindari. Maka 5 poin yang saya berikan itu terdiri dari 1 poin untuk sebagian posisi yang menurut saya masih diisi oleh sosok-sosok yang beralasan, sementara 4 poin atas bentuk kelegaan karena tidak ada Amien Rais di sana.
Demikian pandangan umum secukupnya dari saya, nah berikut akan saya perpanjang ulasannya dengan memaparkan 8 sosok menteri terpilih yang agaknya patut kita beri sorotan lebih. Bukan artinya mereka yang payah dan masuk daftar hitam, tapi memang apes aja sih karena mereka punya jejak rekam menarik yang membuat jadi asyik untuk diikuti kiprahnya. Ndak apa-apa kita nyinyir terooos, pemerintah udah kebanyakan teman. Slank aja cuma sibuk jualan kopi.
ADVERTISEMENTS
1. Nadiem Makarim, nama yang pertama kali membuat geger di hari-hari menjelang pengumuman Kabinet Maju
Selain sebagai sosok paling “bocah” di kabinet, Nadiem memang akrab bagi kawula muda karena ia adalah pahlawan bagi para pegiat mager seperti kamu, aku, dan kita semua. Inovasinya di Gojek dianggap sebagai prestasi besar dan bukti sahih bahwa tiba saatnya anak muda diberi kepercayaan lebih di pemerintahan. Dan Nadiem adalah tokoh progresif anak muda di dunia bisnis yang paling menonjol. Laiya, siapa lagi? Masa mau Anya Geraldine?
Kejutannya bukan di situ.
Awalnya, diprediksi Nadiem cuma punya dua kemungkinan: kalau tidak Menteri Ekonomi Kreatif dan Digital ya menteri seputar investasi. Ups, ternyata justru ia berlabuh di Kemendikbud. Cukup berdegup kencang jantung ini, tapi maklum sih karena Jokowi sedari lama bernafsu sekali menyelaraskan pendidikan Indonesia dengan kebutuhan industri. Orientasinya memang “sekolah untuk kerja”. Dan Nadiem adalah harapan untuk membawa pendidikan Indonesia ke arah digital sana-sini. Jangan kaget bila nanti ada LKS 4.0. atau Badan Bahasa SEO.
ADVERTISEMENTS
2. Wishnutama, gacoan lain Pak Jokowi untuk mempermuda ‘kemasan’ kabinetnya
Berdekatan dengan jam-jam diundangnya Nadiem ke istana, kehadiran Wishnutama juga mencuri perhatian pers dan warganet. Dipasrahi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama pun bertanggung jawab pada aspek kebudayaan sebagaimana Kemendikbud yang diasuh Nadiem. Bedanya, bila Nadiem ini diharapkan malu-malu kapitalis, maka Wishnutama jelas dibebani orientasi yang memang menyasar persoalan ekonomi dan industri. Tugasnya memang cari duit–(sebagaimana kita semua, sih) ~
Reputasi Wishnutama memang mentereng. Di antaranya ia pernah menjadi pelaku penting di balik sejumlah perusahaan televisi, seperti Indosiar, Trans TV, Trans 7, dan terakhir dikenal sebagai pendiri NET TV. Namun, NET TV sendiri sejujurnya tengah dilanda kabar mendung belakangan terkait kabar perampingan pegawai dan sebagainya, maka momennya tak sesempurna itu baginya untuk “naik kelas” kali ini.
Tetap saja, euforia anak muda akan kehadirannya di kabinet mendadak membuat ribuan wanita Indonesia berubah lifegoal dari menjadi “istri yang solehah” menjadi “istri menteri”. Bahkan, nama istrinya, Gista Putri hari-hari ini lebih banyak berseliweran di media massa dibanding sebagian besar nama menteri lainnya.
3.Edhy Prabowo, sosok yang mau tak mau akan terbebani dengan prestasi Susi Pudjiastuti
Justru yang paling mengagetkan dari pembentukan Kabinet Maju–lebih dari apapun–bukan karena nama baru yang masuk, melainkan justru nama yang keluar digantikan dari kabinet sebelumnya. Tak lain adalah Bu Susi Pudjiastuti. Menteri yang paling punya rapor apik–termasuk dari survei Hipwee–ini bisa-bisanya tak mendapatkan tempat lagi. Sulit mencari pembenaran rasional akan keputusan Jokowi ini selain yang suuzan-suuzan, mulai dari beda keberpihakan akan isu reklamasi Teluk Benoa di Bali, sampai konsekuensi jatah politik.
Tak ayal, publik merasa patah hati dan mempertanyakan keputusan ini. Terumbu karang, ikan-ikan pindang, dan Laut Jawa pun ikut menangis….
Anyway, prasangka-prasangka itu kian menjadi-jadi ketika tahu bahwa yang menggantikan posisinya di Menteri Kelautan dan Perikanan adalah seorang politikus dari Gerindra bernama Edhy Prabowo. Bwajigur.
Fakta yang perlu kita akui: pertama, tidak semua orang Gerindra lantas namanya Prabowo. Kedua, Edhy tidak punya latar belakang yang signifikan soal kelautan dan perikanan. Wajar jikalau ia diragukan, apalagi bila beliau mengira pekerjaan kementerian ini hanya soal menenggelamkan kapal dan menjadi meme.
Tapi, setidaknya Edhy pernah menjadi atlet pencak silat nasional. Apa hubungannya? Laiya ndak ada.
ADVERTISEMENTS
4. Fachrul Razi, jenderal super-kawakan yang akan memimpin kementerian agama
Di usia kepala tujuh, Fachrul Razi adalah sosok yang paling tua di Kabinet Maju. Namun, bukan itu nilai beritanya sih. Ia adalah jendral yang meneken surat pemecatan Prabowo dari perwira TNI terkait penculikan aktivis pada tahun 1998. Nah, itu menarik, tapi yang tak kalah apik adalah fakta bahwa ia mendapatkan jabatan menteri di Kementerian Agama. Bukannya saya bilang jenderal tidak tahu menahu soal agama, tapi argumen di balik keputusan pemilihannya yang kebanyakan lemah lunglai.
Dalam salah satu artikel media misalnya,saya menemukan kutipan argumen bahwa Fachrul dinilai bisa berkapasitas menuntaskan persoalan “manajemen haji” karena ia “terbiasa memobilisasi pasukan dan peralatan perang”….
((pasukan dan peralatan perang))
Okelah, tapi saya sebenarnya justru melihat ada secercah optimisme. Pertama, saya tidak terlalu merasa kementerian ini sefundamental kementerian yang lain karena saya percaya agama bisa hidup begitu saja tanpa negara. Kedua, cukup menarik melihat menteri agama tidak diisi oleh sosok yang berasal dari organisasi keagamaan tertentu. Ketiga, latar belakang militer dipilih mungkin atas urgensi memberantas gerakan radikalisme agama. Dengan beberapa lapis perdebatan, tiga poin ini cukup menarik kita buktikan ke depannya.
5. Johnny G. Plate, sosok yang entah bagaimana bisa mendarat di bidang Menteri Komunikasi dan Informatika
Sejumlah kementerian di Kabinet Maju memang dipegang oleh sosok yang tidak punya latar belakang bidang terkait. Tapi saya merasa Johnny G. Plate ini adalah salah satu yang paling random dan membuat garuk-garuk kepala.
Sebagai alumni jurusan ilmu komunikasi, saya menaruh perhatian lebih terhadap bidang kementerian menkominfo. Sosok yang mengisi posisi menteri di sana harusnya menguasai teknis dan bisnis penyiaran, telekomunikasi, dan ekonomi digital. Padahal menkominfo mulanya sayup-sayup sempat diisukan akan diserahkan pada sejumlah nama-nama mahsyur, mulai dari Wishnutama, hingga Najwa Shihab. Berkompeten atau tidak, setidaknya mereka punya asam garam sebagai praktisi yang jelas di jagat media. Sementara itu Johnny G Plate hanyalah Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat yang dahulu pernah membangun usaha di bidang ((alat-alat perkebunan)), berlanjut ke bidang transportasi penerbangan.
Bukannya saya ragu, cuma tidak percaya saja ~
6. Tito Karnavian, diangkat ketika masih menyisakan segudang utang kerja dan reputasi yang belum benar-benar “bersih”
Selama menjabat sebagai kapolri, Tito Karnavian membuat reformasi Polri mundur jauh dan berbagai kasus terbengkalai, mulai dari kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, demonstrasi mahasiswa yang memakan korban nyawa, hingga berbagai kerusuhan di Wamena dan Nduga.
Bahasa halusnya, kinerja Tito di Polri “masih perlu ditingkatkan”.
Sampai-sampai muncul asumsi bahwa Jokowi sengaja mengangkatnya menjadi menteri untuk menyelamatkan nama baiknya dari berbagai catatan kegagalan. “Daripada dibully terus”, mungkin begitu pikir Jokowi.
Masalahnya bukan cuma itu, Tito pun juga terseret dalam pusaran dugaan korupsi. Bukan sebagai “penyidik” (sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang polisi), melainkan sebagai “terduga” (sebagaimana yang biasa dialami oleh seorang polisi).
Namanya ada dalam “Buku Merah” yang berisi bukti perkara suap yang dilakukan oleh pengusaha impor daging, Basuki Hariman. Isi Buku Merah itu menampilkan berbagai aliran uang, diduga salah satunya–sembilan kali aliran uang, total sekitar 8 miliar rupiah–ditujukan ke Tito Karnavian.
Kepolisian dikenal sebagai salah satu lembaga paling korup. Dan kini, mantan penggawanya berkuasa di lahan Kemendagri: pembinaan keuangan daerah, e-KTP, izin investasi, dan sebagainya. Basah, basah, basaaah.
7. Zainudin Amali, politikus dari Golkar yang pernah diperiksa KPK terkait beberapa kasus suap dan kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia
Member partai + tersandung isu korupsi + dapat jabatan Menpora: u know lah
8. Prabowo, the one and only!
Pertama, posisi menteri pertahanan adalah yang paling tepat secara bidangnya, karena…. lha mau di mana lagi? Prabowo terlalu priyayi untuk jadi menteri pertanian, kurang “onlen-onlen” untuk menteri komunikasi, sementara menteri olahraga tidak cuma mengurusi berkuda, atau menteri pemberdayaan perempuan dan anak? Oke, sensitif. Skip.
Kementerian Pertahanan sendiri adalah kementerian yang paling strategis, sekaligus bisa paling tidak strategis, tergantung kondisi. Tidak strategis karena Indonesia bukan Palestina, Afghanistan, atau Libya yang bertempur secara musiman–bisa kita lihat bagaimana Wiranto selalu ambil panggung lebih dari Ryamizard Ryacudu (menhan sebelumnya). Namun, bahaya pula andai Prabowo tiba-tiba bosan dan ingin caper iseng-iseng ‘godain’ negara tetangga. Anggarannya kan besar, mubazir mungkin…
Bercanda, tapi saya pribadi memang lebih suka sipil yang memegang posisi Menhan, seperti yang pernah dilakukan oleh Juwono Sudarsono (1999) dan Mahfud MD (2000). Apalagi pandangan “”Kalau mau damai, bersiaplah untuk perang” yang pernah disebutkan Prabowo saat debat capres lumayan membangunkan bulu kuduk.
Namun, pertanyaan terbesar adalah kenapa Prabowo bisa jadi menteri? Pertanyaan ini untuk kedua belah pihak. Yang menerima dan yang menawari.
Bagi Prabowo, jika ia masih ambisius menjadi presiden, menjadi menteri adalah kesempatan untuk merawat namanya selama lima tahun ke depan. Dan ia bisa maju lagi tanpa harus bersaing dengan Jokowi, bahkan portofolionya akan bertambah atas pengalaman di pemerintahan sipil. Atau jika ia tak lagi ambisius, menjadi menteri bisa memperbaiki citra historisnya sebagai tokoh negara. Dulu Prabowo dikenal sebagai “tentara yang dipecat”. Setelah menjadi menhan, ia akan tercatat sebagai “tentara yang dipecat lalu diangkat jadi menteri”. Tapi jika kerjanya buruk dan di-reshuffle oleh Jokowi di tengah jalan, maka gelarnya akan jadi “tentara yang dipecat, lalu diangkat jadi menteri, dan dipecat lagi”. Lebih sadis dari anak STM.
Sementara bagi Jokowi, memberi jabatan ke Prabowo mungkin langkah terinstan untuk menciptakan stabilitas politik, membungkam Gerindra sebagai lawan terbesarnya. Praktis berhasil, karena ketua umumnya menjadi “pembantu” presiden. Bukan cuma memenangkan Gerindra (dan para follower @bobbytheK4t, wkwkk), melainkan juga mayoritas militer.
Kemungkinan lain? Mungkin mereka benar-benar bersahabat, seperti yang dicitrakan di media. Dan seperti lirik lagu “Sahabat Sejati” dari Sheila On 7: “ Aku dan kamu darah abadi / Demi bermain bersama / Kita duakan segalanya…”
ADVERTISEMENTS