Salah satu hal yang mungkin patut disyukuri di tengah wabah virus corona ini adalah: kita jadi tahu banyak istilah baru soal kesehatan, atau bahkan yang lebih serius kayak soal pemerintahan dan kenegaraan. Berbagai istilah itu mau nggak mau bikin kita ikut mempelajarinya. Ya, minimal googling lah buat memahami definisinya.
Selain lockdown, social distancing, physical distancing, atau Alat Pelindung Diri (APD), ada juga yang terbaru: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan “darurat sipil”. Dua istilah terakhir itu disebut Pak Presiden waktu memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 lewat video conference dari Istana Bogor, Senin 30 Maret 2020. Lewat rapat itu, Jokowi bilang kalau saat ini jajarannya akan menerapkan PSBB, bukan lockdown atau kuncitara –seperti yang diharapkan banyak pihak. Kalau wabah semakin meluas, baru dipertimbangkan lagi buat menambahkan status darurat sipil.
Tapi, walau masih berupa rencana, banyak warganet menolak status darurat sipil diberlakukan. Bahkan tagar #TolakDaruratSipil menggema di media sosial Twitter, sampai jadi trending topic! Memangnya, apa sih konsekuensinya atau dampaknya bagi kita rakyat jelata ini kalau sampai status itu diterapkan? Coba yuk, kita pelajari bareng-bareng!
ADVERTISEMENTS
Mari kita bahas yang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dulu! Istilah ini bukan istilah yang baru dibuat kemarin lo, tapi sudah disebut dan diatur pelaksanaannya dalam UU Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Dalam UU di atas, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berarti: pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Di saat banyak negara menerapkan lockdown, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan buat menerapkan PSBB. PSBB maupun lockdown (karantina wilayah) sama-sama sudah diatur dalam UU tentang Kekarantinaan Kesehatan. Keduanya merupakan suatu kebijakan atau aturan yang ditetapkan pemerintah kalau ada situasi darurat kesehatan masyarakat, contohnya ya kayak wabah sekarang ini.
Tapi dua istilah itu punya perbedaan yang (ehem) lumayan signifikan lo. Terutama soal apa dan siapa aja yang dibatasi, bagaimana sistem penjagaannya, bagaimana pemenuhan kebutuhan masyarakat selama kebijakan itu berlangsung, dan siapa aja “aktor” yang terlibat. Intinya kalau lockdown, pemerintah pusat wajib memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (kamu bisa baca hak-hak kita sebagai rakyat kalau negara beneran lockdown, di sini). Sedangkan kalau PSBB, nggak ada aturan yang menyebut pemerintah wajib menanggung hal serupa. Hmm…
ADVERTISEMENTS
Nah, selain PSBB, Jokowi juga menyebut istilah “Darurat Sipil”. Meskipun belum diterapkan tapi status ini sudah bikin masyarakat kalang kabut. Sampai-sampai #TolakDaruratSipil trending di Twitter
Beda sama PSBB, darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Jadi nih misalnya di suatu negara ada bahaya (bisa apapun; wabah, perang, kerusuhan, pemberontakan, dll), presiden berhak menetapkan keadaan dalam 3 tingkatan:
- Darurat Sipil
- Keadaan Darurat Militer
- Keadaan Perang (paling parah)
Apa yang terjadi kalau status darurat sipil ditetapkan?
Analis Hukum The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Qurrata Ayuni, mengatakan kalau status di atas diterapkan, pemerintah jadi punya kewenangan menerbitkan hukum baru yang berbeda dengan hukum pada kondisi normal (saat nggak ada wabah). Presiden bisa aja bikin keputusan baru dengan mengesampingkan hukum yang udah berlaku sebelumnya. Inilah yang ditakutkan sebagian masyarakat sampai pada ramai-ramai protes lewat tagar #TolakDaruratSipil, karena mereka khawatir status darurat sipil justru akan membuat pemerintah menjadi otoriter.
Sebenarnya, kalau kata Qurrata, kondisi wabah virus corona sekarang ini sudah “memenuhi syarat” untuk pemerintah menerapkan status darurat sipil. Tapi, yang perlu jadi catatan, kalau memang status itu beneran diberlakukan, penerapannya harus proporsional. Jangan memperhatikan segelintir pihak aja sampai-sampai rakyat kecil harus jadi korban.
Apalagi wabah kayak gini tuh lebih rentan mengenai masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah lo. Bayangkan aja di saat kita mungkin punya privilese bekerja dari rumah, masih bisa gajian tepat waktu, nggak kekurangan stok makanan, di luar sana masih banyak orang yang nggak punya pilihan lain selain tetap bekerja keluar rumah. Bagi mereka, nggak kerja sama dengan nggak makan. Huhu, semoga mereka yang masih harus bekerja di luar diberi kesehatan, keselamatan, dan rezeki yang melimpah ya, Guys!