Di masa pandemi Corona, semua persoalan jadi makin tumpang tindih untuk diatasi. Mulai dari meningkatnya pengangguran, repotnya para siswa dan guru selama periode sekolah dari rumah, hingga APD yang jadi susah diupayakan buat tenaga medis. Tapi di antara semua itu ada satu hal yang nggak kalah penting juga untuk diperhatikan. Yaitu sampah atau limbah medis selama penanganan Covid-19, yang tanpa sepengetahuan kita bisa saja jadi bahaya laten.
Limbah yang dimaksud seperti APD yang digunakan tim medis, masker sekali pakai yang kamu gunakan untuk cegah persebaran virus, hingga botol obat-obatan milik pasien dalam pengawasan yang melakukan karantina mandiri. Kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto, limbah medis tersebut potensial menyebarkan virus kalau nggak dikelola sesuai prosedur. Kenapa? Berikut 6 alasannya.
ADVERTISEMENTS
1. Karena virus corona bisa hidup beberapa hari di benda mati, maka limbah medisnya berpotensi menular ke orang lain
Seperti yang bisa kamu baca di sini, virus Corona punya daya hidup yang cukup lama jika menempel di permukaan benda mati. Karena itu peralatan medis yang diperlukan selama penanganan virus ini, terutama yang sudah digunakan oleh pasien dan tim medis, masuk ke dalam limbah medis kategori B3 (Bahan Berbahaya, dan Beracun), dan harus dikelola sesuai prosedur biar nggak bahaya bagi masyarakat. Salah satu metode pengelolaan limbah B3 adalah dengan menggunakan insenerator, yakni alat yang dapat membakar sampah sampai habis dengan meminimalisir gas beracun yang dihasilkan.
ADVERTISEMENTS
2. Di sisi lain, rumah sakit di Indonesia yang punya fasilitas memadai untuk mengelola limbah B3 masih minim
Alasan lain yang harus diperhatikan pemerintah untuk meredam bahaya laten limbah medis Corona, kata Bagong, adalah masih banyak rumah sakit yang belum memiliki teknologi memadai terkait pengelolaan limbah medis B3. Hal tersebut dibenarkan Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Imran Agus Nurali, dengan mengatakan total fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang punya izin pengolahan limbah B3 hanya 85, tersebar di 20 provinsi. Sebelumnya, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, ikut menyoroti masalah ini dengan meminta pemerintah memperhatikan soal limbah medis, khususnya dari rumah sakit darurat di Wisma Atlet Kemayoran. Hal tersebut mengingat pencemaran lingkungan di daerah tersebut cukup tinggi.
ADVERTISEMENTS
3. Dalam kondisi normal, Indonesia ternyata bisa menghasilkan 296 ton limbah medis per hari lo!
Sementara dari laporan Kemenkes bulan November 2019, Sekjen Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia, Lina Tri Mugi Astuti mengutip ada 296 ton limbah medis perhari dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik. Merujuk total fasyankes yang bisa mengolah limbah B3 hanya ada 85, sudah pasti nggak semua bisa mengelola limbah sendiri. Ia mengatakan dalam kondisi normal saja Indonesia sebenarnya sudah punya permasalahan pengelolaan limbah medis. Jadi untuk menyiasatinya, fasyankes menggunakan jasa pihak ketiga yang baru ada lima di Jawa dan satu di Kalimantan untuk mengelola limbah medis B3 tersebut. Waduh~
ADVERTISEMENTS
4. Namun mirisnya, pihak ketiga yang dilibatkan fasyankes untuk mengelola limbah B3 masih banyak yang izinnya diragukan
Dalam praktiknya, keterlibatan pihak ketiga dalam mengelola limbah medis memunculkan persoalan baru. Bagong mengatakan, limbah yang berada di tangan pihak ketiga seringkali “bocor” sebelum dimusnahkan. Ia menjelaskan masih banyak pihak ketiga tersebut yang izinnya diragukan, karena sampah yang harus langsung dimusnahkan, malah dipilah-pilah mana yang sekiranya masih punya nilai ekonomis. Praktik yang bahaya banget sih ini.
ADVERTISEMENTS
5. Belum lagi, secara umum, nggak ada pemilahan sampah oleh rumah tangga di Indonesia. Masker, botol obat, dan tisu jadi tercampur dengan sampah rumah tangga biasa saat dibuang
Persoalan limbah medis nggak terbatas di fasyankes saja. Karena limbah bisa saja muncul dari rumah-rumah orang dalam pemantauan (ODP), dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang sedang karantina mandiri. Limbah medis dari rumah ini bisa berupa masker, botol obat, dan tisu bekas. Persoalan muncul karena nggak semua rumah memilah sampah sebelum dibuang, sehingga tercampur dengan sampah rumah tangga biasa. Kondisi seperti ini bisa jadi sangat berbahaya untuk petugas kebersihan lo.
ADVERTISEMENTS
6. Mereka –petugas kebersihan dan pemulung– akhirnya jadi orang paling rentan terinfeksi akibat nggak diterapkannya pemilahan dan pengelolaan sampah B3 dengan baik. Kan kasihan…
Dapat disimpulkan, limbah medis B3 yang nggak diolah sesuai prosedur bakal berbahaya bagi masyarakat. Namun dalam konteks ini, petugas kebersihan atau pemulung lah yang paling rentan karena pekerjaan mereka memang bersentuhan langsung dengan sampah atau limbah. Makanya dibutuhkan perhatian ekstra untuk bisa memilah sampah medis di rumah sebelum di buang, serta tindakan tegas kalau memang benar terjadi “kebocoran” pada pihak ketiga dalam melakukan pengolahan sampah B3.
Kabar baiknya, pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran terbaru tentang pengelolaan limbah medis B3 lo. Semoga aja beneran diterapkan ya!
Pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah merespon persoalan limbah medis B3 dengan mengeluarkan surat edaran yang mengatur gimana seharusnya orang mengelola limbah B3 dan sampah rumah tangga dari penanganan virus corona, seperti pemilahannya, sampai imbauan agar masyarakat menggunakan masker yang dapat dicuci untuk mengurangi timbunan sampah masker.
Sembari berharap implementasi surat edaran pemerintah bisa berjalan dengan baik, kamu yang sering menggunakan masker sekali pakai dan menghasilkan jenis limbah B3 lainnya dimohon lebih awas saat ingin membuangnya ya. Beberapa fasyankes ada yang menampung limbah medis B3 dari masyarakat untuk kemudian diolah kok. Yuk, jadi lebih peduli lagi~