Buat kalian yang hidup di kota-kota besar, keberadaan pengamen pasti sudah jadi pemandangan sehari-hari. Entah di angkutan umum, lampu merah, warung makan, sampai rumah-rumah. Beberapa ada yang memang bersuara merdu, tapi ada juga yang pas-pasan. Ada yang sopan, tapi ada juga yang justru meresahkan. Bahkan nggak sedikit preman yang berkedok jadi pengamen buat meminta uang secara paksa.
Seperti halnya yang terjadi di sebuah bus antar kota di terminal Kalideres, Jakarta Barat. Seorang pengamen terlibat cekcok dengan salah satu penumpang, lantaran penumpang itu menolak memberi uang padanya. Berdasarkan video yang beredar, si pengamen keberatan dengan cara penumpang menolak. Awalnya si penumpang yang merupakan bapak-bapak itu berusaha sabar dan hanya menjawab ‘omelan’ pengamen ala kadarnya. Tapi rupanya kemarahannya pun ikut memuncak dengan balik mengomeli pengamen itu. Melihatnya mulai emosi, nyali si pengamen justru ciut dan meminta maaf pada bapak tersebut.
Di kota besar seperti Jakarta, jumlah pengamen dan pengemis memang terbilang cukup banyak. Pada 2007 lalu, pemerintah sampai mengeluarkan Perda tentang Ketertiban Umum. Dalam Pasal 40 huruf c, tertulis larangan memberi uang pada pengamen atau pengemis. Alasannya biar mereka nggak ketergantungan dan malah menjadikan status itu sebagai profesi. Selain itu, Polsek juga sering mengadakan razia. Tapi meski begitu, keberadaan mereka nyatanya masih belum berkurang secara signifikan.
Hipwee News & Feature telah merangkum 5 alasan kenapa para pengamen masih banyak berkeliaran, terutama di kota-kota besar. Yuk, simak!
ADVERTISEMENTS
Di Indonesia, aktivitas menyanyi di jalanan ini ternyata sudah ada sejak zaman Kerajaan Kediri dan Kahuripan lho. Mungkin karena sudah jadi warisan leluhur, budaya ini jadi sulit ditinggalkan
Pernah nggak sih kamu mempertanyakan gimana awalnya sejarah pengamen di Indonesia ini? Katanya, pengamen sudah ada sejak sekitar abad ke-13 lho, yakni saat zaman Kerajaan Kediri dan Kahuripan. Saat itu dikenal rombongan kesenian musik bernama Dalang Kentrung. Mereka kerap berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menghibur lewat syair atau pantun. Terkadang, keberadaan mereka dianggap sakral oleh masyarakat karena apa yang mereka lantunkan nggak sekedar hiburan, tapi juga berupa nasihat, isyarat, bahkan ramalan masa depan. Seiring perkembangan zaman, kegiatan ini dijadikan lahan mata pencaharian bagi banyak orang yang kini dikenal dengan mengamen.
ADVERTISEMENTS
Minimnya ruang berekspresi jadi alasan sebagian pengamen tetap keukeuh menyalurkan hobinya di jalanan. Apalagi bisa dapat uang, makin doyan deh
Selain itu di Indonesia sendiri seni bermusik belum dianggap sebagai sesuatu yang menjanjikan. Tentunya jika dibandingkan dengan profesi lain misalnya di bidang pemerintahan atau industri migas. Hal ini membuat mereka yang punya minat tinggi pada aktivitas bermusik nggak punya ruang luas untuk berekspresi. Satu-satunya cara untuk menyalurkan minat menurut mereka ya hanya dengan mengamen. Kalau idealis hanya ingin memamerkan musik dan tidak mengganggu orang lain atau ketertiban umum, ya sah-sah aja. Yang jelas jadi masalah adalah kalau ada pengamen-pengamen seperti di video viral di atas.
ADVERTISEMENTS
Masih tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Indonesia membuat sebagian besar mereka terpaksa mengamen untuk menyambung hidup
Faktor paling dominan yang membuat para pengamen memutuskan melakoni profesinya adalah karena terhimpit masalah ekonomi. Kota-kota besar yang kerap jadi sasaran para pengamen jalanan nyatanya tak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Tuntutan biaya hidup yang tinggi membuat mereka terpaksa mencari jalan pintas dengan mengamen di jalanan. Selain itu, lingkungan juga sebenarnya bisa memengaruhi seseorang dalam menentukan hidupnya lho. Kalau mereka tinggal dan besar di lingkungan pengamen, jelas saja mereka akan memilih jadi pengamen juga.
ADVERTISEMENTS
Mengamen dianggap bukanlah profesi yang sulit. Usahanya minim, tapi bisa dapat keuntungan lumayan. Paling nggak bisa buat memenuhi kebutuhan sehari-hari
Ya sekarang kalau dibandingkan jadi kuli bangunan, tukang reparasi, atau sopir, profesi pengamen jelas punya tingkat kesulitan yang lebih rendah. Tinggal genjreng-genjreng ke satu kaca mobil ke kaca mobil yang lain, sudah dapat uang. Taruhlah dalam satu jam mereka bisa dapat Rp10.000. Kalau 5 jam mengamen aja sudah bisa dapat Rp50.000. Itu satu hari, coba deh kalau dikali 30 hari. Keuntungan itulah yang ditengarai menjadikan pengamen dianggap sebagai profesi menggiurkan.
ADVERTISEMENTS
Pemerintah belum mampu memberi solusi terhadup keberlangsungan hidup pengamen, misalnya menyediakan lapangan kerja
Selama ini fokus pemerintah sih sepertinya cuma semata-mata pada pengurangan langsung para pengamen dan anak jalanan ya, belum pada pemberdayaannya. Padahal kalau pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan, taraf kehidupan mereka jelas akan lebih baik. Di UUD Pasal 34 ayat 1 juga sudah jelas menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Cuma fakta di lapangan sepertinya masih jauh dari bunyi UUD tersebut.
Kembali lagi ke kejadian penumpang mengomeli pengamen di video di atas. Kalau memang pengamen di sana sudah dianggap meresahkan, seharusnya sih pihak pengelola terminal dan PO bus kotanya menerapkan aturan tegas terhadap para pengamen yang mau beroperasi di wilayahnya. Supaya penumpang nggak kapok naik angkutan umum.