“Mbak Nunung setiap hari kerjanya cengengesan, kok bisa depresi, kok enggak percaya,” kata seorang hakim.
Masih ingat kasus komedian Nunung yang masuk bui dan diadili karena kepemilikan zat narkotika? Saat persidangan, pernyataan soal kondisi kesehatan mentalnya langsung diragukan gara-gara selama ini ia terlihat cengengesan di layar kaca. Sebagai pelawak, tingkahnya memang jauh dari kata “murung”. Ia selalu tampak ceria, penuh tawa, dan suka bercanda. Ketika kondisi mentalnya terungkap, tanggapan miring bermunculan. Nunung dianggap mengada-ada.
Sama halnya dengan peristiwa Coki Pardede. Sering mengeluarkan opini-opini yang satire dan cenderung kontroversial, banyak orang nggak menduga kalau Coki mengonsumsi narkotika demi meningkatkan rasa percaya diri. Kalau ingat bagaimana Coki muncul di YouTube dengan pembawaan yang santai, fakta jika dia mengalami krisis kepercayaan diri jadi sulit diterima.
Kasus lainnya, ketika penyanyi Korea Selatan Jonghyun SHINee mengakhiri hidup secara mendadak tahun 2019 lalu, orang terdekat dan para penggemar juga syok. Jonghyun sering tertawa, ramah, dan periang semasa hidup. Sebagai musisi berbakat, ia mendulang popularitas dan pundi-pundi cuan lewat karier menyanyinya. Dengan kehidupan yang serba cukup, ‘seolah’ tidak ada alasan baginya untuk bersedih. Apalagi sampai terjebak depresi.
Meskipun begitu, depresi punya beragam wajah. Nggak ada jaminan kalau orang yang selalu tersenyum dan tertawa, ia benar-benar bahagia. Tanpa kita tahu, ia mungkin menyembunyikan penderitaan dan kesedihan amat dalam. Hidupnya mungkin terlihat normal dan tanpa cela, bahkan ia mampu tampil gemilang di tempat kerja misalnya.
Nah, inilah yang disebut dengan smiling depression. Bentuk depresi yang kerap ‘menipu’ kita.
ADVERTISEMENTS
Haha-hihi saat bertemu dengan orang lain, tampil ceria, dan tanpa beban, tapi… sebenarnya sering nangis di pojokan kamar, sendirian :”(
Bahasan soal depresi sudah tak asing lagi di telinga. Meningkatnya kesadaran dan pemahaman soal kesehatan mental, banyak orang mulai aware dengan isu-isu yang dulu masih dipandang sebelah mata. Pelan-pelan stigma negatif pada penderita depresi dan gangguan mental lainnya mulai berkurang.
Namun, ngomongin depresi tak selesai sampai di situ aja. Ada kalanya kita masih sering ‘tertipu’ kondisi kesehatan mental seseorang karena hal sepele, yakni ekspresi dan pembawaan diri. Seperti diketahui, depresi lekat dengan kesedihan, gairah hidup yang menurun drastis, putus asa, dan harga diri yang rendah. Orang yang terjerat depresi kesulitan untuk beraktivitas, tapi beda halnya dengan smiling depression.
Smiling depression adalah sebutan untuk orang yang mengidap depresi, tapi tampak bahagia. Jadi, ia sengaja atau secara nggak sadar menampilkan diri sebagai sosok yang ceria, aktif, dan optimis. Di balik pembawan diri yang bahagia itu, tersimpan perasaan tidak berharga dan putus asa yang berkelanjutan. Jadi, saat nongkrong dengan teman, ia bisa jadi orang yang paling ramai. Ibaratnya, ia adalah moodbooster dalam lingkaran pertemanan. Namun, ketika sendirian, ia menjadi orang yang berbeda 180 derajat. Dirinya diliput perasaan hampa dan kosong.
Menurut laporan World Health Organization, dari 265 juta orang yang menderita depresi, sebagian orang mengalami smilling depression. Angka yang fantasis dan miris, ya. Tanda penderita depresi masih enggan terbuka dengan kerentanan dirinya.
ADVERTISEMENTS
Aku memakai ‘topeng’ demi menutupi penderitaan di balik senyuman sehingga tak ada orang yang tahu kalau aku sedang kesakitan
“Aku pura-pura happy aja gitu,” ungkap Annisa (25 tahun) saat ditanya mengenai smiling depression.
Sekitar dua tahun lalu, Annisa mengalami depresi. Ia merasa sangat putus asa dan rendah diri. Beragam kejadian buruk dan pengalaman pahit menyebabkan pikiran negatif terus bersemayam di kepalanya. Setiap hari, hampir sepanjang malam sampai dini hari, ia terjaga dengan air mata yang berlinangan.
Gejala smiling depression sama seperti depresi pada umumnya. Annisa merasakan serangkaian kebiasaan buruk yang lama-lama beracun, di antaranya:
- Perubahan pola makan. Annisa sering melewatkan waktu makan, sehingga berat badannya turun sampai 4 kg
- Perubahan pola tidur di mana ia mengalami insomnia
- Merasa sangat putus asa
- Tidak tertarik dengan hobi-hobi yang disukainya
Anehnya, ia selalu ceria saat berhadapan dengan orang lain. Ia bisa tertawa, bercanda, dan ngobrol banyak hal dengan teman-temannya. Seakan-akan, ia adalah orang paling bahagia di dunia. Bahkan, teman-temannya sampai iri karena Annisa bisa menyelesaikan kuliah dengan hitungan waktu yang lumayan cepat. Tak berselang lama, ia juga sudah mendapatkan pekerjaan.
“Waktu aku udah kerja juga masih begitu. Aku pernah semalaman nggak tidur, nangis terus. Itu sampai pagi. Sementara paginya aku harus kerja dan aku memang kerja kayak biasa. Aku kerja dengan baik. Kalau ingat-ingat masa itu, aku nggak mau lagi, rasanya kayak zombie,” terang Annisa.
Namun, di balik penampilan yang bahagia dan semua pencapaian itu, Annisa terjebak depresi yang parah. Beberapa kali ia bahkan berniat mengakhiri hidup. Kesakitan akibat luka-luka masa lalu disimpannya sendiri. Ia enggan berbagi dengan orang lain. Kenyataan kalau dirinya lemah sulit diakui oleh Annisa. Apalagi ia khawatir bila malah menyusahkan orang lain. Hasilnya, ia memilih menderita dalam kesepian dan kesendirian.
ADVERTISEMENTS
Menyibak beragam alasan rumit di balik smiling depression. Mengapa orang menutupi depresi dengan senyuman?
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!