Perempuan saat cek kesehatan reproduksi | Credit: Hipwee via www.hipwee.com
Perempuan dengan segala kelebihannya semakin sadar akan pentingnya mempunyai tubuh yang sehat luar dan dalam, termasuk menyangkut persoalan reproduksi. Lagipula, akses untuk mendapatkan pelayanan dan pengecekan ke arah sana adalah hak semua orang.
Melakukan pemeriksaan reproduksi secara rutin penting dilakukan supaya kita bisa mengetahui adanya tanda atau gejala suatu penyakit dari awal. Namun, sayangnya tak semua perempuan berpikiran demikian. Di luar sana, banyak yang nyatanya masih takut untuk memeriksakan kesehatan. Kekhawatiran soal “Aku belum berani. Nanti kalau hasilnya jelek gimana? Kalau dipandangnya macam-macam gimana?” lebih banyak muncul dan menimbulkan kecemasan.
Stigma yang menghakimi seolah jadi hambatan wanita untuk melakukan pemeriksaan sedini mungkin. Perasaan jengah atau malu bahkan bisa muncul di benaknya. Tak jarang mereka yang sudah aktif secara seksual, tetapi belum terikat dalam status pernikahan, justru mendapat penghakiman.
ADVERTISEMENTS
Ditanya berulang soal status pernikahan, ‘oknum’ tenaga medis ini seolah tak percaya bahwa di luar sana ada juga yang mengambil keputusan berbeda
Pentingnya layanan kesehatan yang ramah | Credit: JESHOOTS.COM on Unsplash
Dalam beberapa pemeriksaan reproduksi, tim medis memang harus mengetahui kondisi pasien secara jujur. Apakah aktif berhubungan seksual atau tidak. Misalnya, ketika ingin melakukan pap smear atau USG transvaginal. Pertanyaan ini diajukan sebagai riwayat awal terhadap risiko penyakit menular seksual (PMS). Namun, dalam penerapannya, tak jarang pasien lajang justru disodori persoalan seputar status pernikahan.
Pengalaman ini yang dirasakan Dira (bukan nama sebenarnya). Dua tahun silam, ia hendak melakukan tes pap smear, sebuah prosedur untuk mendeteksi kanker leher rahim di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama wilayah DI Yogyakarta.
Kepada Hipwee Premium, perempuan 23 tahun ini menceritakan alasannya memberanikan diri mengecek kondisi reproduksinya ke dokter. Sebagai seorang yang pernah melakukan hubungan seksual, Dira ingin memastikan tubuhnya sehat dan tidak berpotensi menderita kanker serviks. Namun, sayangnya ia sempat mendapat kejadian tak mengenakan.
“Ada pas di Puskesmas. Dari dokternya kayak yang nggak enak gitu pas tahu aku sudah pernah HS, geleng-geleng kepala gitu-gitu, responsnya kaget. Tapi ya sudah, emang nggak semua orang bisa nerima kan. Aku ditanya sudah nikah apa belum, pakai kond*m apa enggak, pernah ngelakuin sama berapa orang,” ujarnya.
Sederet pertanyaan tersebut membuatnya bingung dan seolah-olah tengah diintimidasi. Belum lagi peringatan yang diberikan sang dokter untuk berhenti melakukan hal semacam itu karena yang dirugikan adalah pihak perempuan. Akui hal tersebut menyinggung perasaannya, kala itu Dira hanya bisa diam dan memendam.
“Padahal kan, dokter harusnya nggak boleh menghakimi atau gimana, tapi kadang ngerasa dihakimi aja sih,” sambungnya.
ADVERTISEMENTS
Pengecekan reproduksi untuk ‘siapa saja’ nyatanya tak berlaku. Rujukan ke tempat klinik pakai BPJS justru ditolak karena statusnya yang masih lajang
Dira lantas diberi rujukan untuk mendatangi klinik yang lebih menunjang, kala itu ia pikir bisa memakai BPJS Kesehatan. Namun, sesampainya di sana, pengajuan itu ditolak sebab adanya aturan baru. Siapa pun yang berniat untuk pap smear menggunakan BPJS harus diakui dalam hubungan pernikahan.
Meski sempat kecewa lantaran biaya yang dikeluarkan bisa lebih hemat hingga ratusan ribu, Dira mengaku di klinik yang kali ini tim medis lebih terbuka. Setidaknya mereka tak memberi nasihat yang membuat hatinya tersinggung. Pada akhir kunjungan, Dira justru diberikan konseling bagaimana melakukan hubungan secara aman. Kini, Dira juga rutin melakukan pemeriksaan reproduksi, apalagi setelah ia sempat mengalami infeksi.
“Penting banget, soalnya dulu karena nggak terlalu paham tentang kesehatan reproduksi tuh jadi ga tahu kondisiku gimana. Aku dulu pernah sampai kena infeksi. Jadi, setelah dari situ setiap aku ngalamin yang aneh langsung cek ke dokter daripada kenapa-kenapa,” tutupnya.
Kejadian ditanyai soal pernikahan juga dialami oleh pemilik nama samaran Melisa, 30 tahun. Ia bahkan sudah jenuh ditanyai seputar status pernikahan. Hal tersebut sempat terjadi di salah satu klinik besar wilayah Jakarta. Ia juga dapat ‘bonus’ berupa komentar disuruh cepat menikah.
“Nggak semua yang belum menikah nggak sexuality active, kan? Jadi, alangkah baiknya jika ditanya status sexual active atau tidaknya bukan marital status. Lalu bagaimana nasib para PSK yang datang ke RS untuk pap smear? Apa akan ditolak karena status mereka belum menikah?” paparnya.
ADVERTISEMENTS
Perempuan dengan keistimewaannya memang perlu bertindak ekstra. Belum lagi, kondisi anatomi yang membuat mereka rentan mengidap infeksi
Pentingnya pap smear | Credit: Hipwee
Minimnya edukasi seksual di Indonesia mengakibatkan tak semua perempuan melek dengan kesehatan reproduksinya. Mayoritas dituntut memposisikan diri untuk paham seksualitas dan wajib “menjaganya” tanpa pernah dibekali pengetahuan kespro yang utuh hanya karena dianggap tabu. Padahal, berdasarkan data Kementerian Kesehatan 31 Januari 2019, kanker serviks menempati posisi nomor 2 sebagai jenis kanker paling banyak diderita perempuan Indonesia. Parahnya, hampir separuhnya menyebabkan kematian.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nendra Rengganis, ia sadar betul sebelum atau sesudah menikah, memeriksa kesehatan reproduksi merupakan tindakan preventif yang paling ampuh. Apalagi, perihal kanker serviks yang kerap menjadi silent killer, tiba-tiba saja sudah stadium lanjut dan tak bisa diselamatkan. Itu yang bahaya. Dengan demikian, pemeriksaan dini seperti pap smear dibutuhkan sebagai prosedur mendeteksi kanker leher rahim.
“Itu bisa menyelamatkan kamu untuk ke depannya, karena kita belum tentu tahu apa yang terjadi di dalam tubuh. Lakukan pap smear nggak perlu takut, rasanya seujung kelingking. Apalagi kalau aku bicara dari sudut perempuan yang sudah pernah melahirkan per vagina. Rasanya nggak ada apa-apanya dibanding manfaat yang didapat,” papar perempuan berusia 31 tahun ini.
Supaya kekhawatiran untuk cek reproduksi berkurang, ia lantas mengingatkan akan pentingnya mencari dokter yang cocok. Selain bisa mengurangi ketegangan, tenaga medis yang sudah mengerti perspektif gender tentu akan lebih minim dari stigma.
“Masih banyak dokter yang supportive. Jangan karena kamu ketemu satu dokter yang memberi perlakuan kurang menyenangkan, lantas langsung putuskan nggak mau periksa lagi. Masih ada pilihan dokter lain yang bisa kamu datangi dan tentunya lebih mengerti,” sambungnya.
ADVERTISEMENTS
Tabu dan stigma dalam pemeriksaan sudah semestinya dihilangkan. Pasalnya, pasien datang bukan untuk mendapat sebuah penghakiman
Sudah seharusnya dokter tanpa stigma | Credit: Sammy Williams on Unsplash
Tak dimungkiri, stigma yang masih beredar di masyarakat dan lingkungan tenaga medis kerap dialami oleh beberapa orang. Edukasi seksual yang masih tabu dibicarakan membuat sebagian pihak jadi minim pengetahuan. Apalagi, anggapan jika memeriksakan diri ke dokter obgyn selalu dikaitkan dengan penyakit akibat hubungan seksual, padahal hal tersebut belum tentu terjadi, kan?
Sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, tenaga medis semestinya harus bisa bersikap netral terhadap pasien tanpa terkecuali. Menjadi sebuah ironi jika sebagian dari mereka justru melakukan diskriminasi di saat dipercaya menjadi orang pertama dalam penanganan masalah reproduksi.
Pun, jika stigma seperti ini dibiarkan terus menerus, bukan tak mungkin perempuan jadi berpikir dua kali untuk memeriksakan diri karena khawatir mendapat penghakiman. Padahal, pelayanan kesehatan yang ramah akan menekan peningkatan penyakit yang disebabkan karena masalah reproduksi.
Jangan sampai mereka justru mencari jawaban atas keluhan di tempat yang tak semestinya, seperti internet atau orang yang bukan ahli di bidangnya. Bagaimanapun, seorang pasien mempunyai hak mendapat layanan yang baik, terlepas dari perdebatan menikah atau belum menikah, identitas seksual, maupun orientasi seksual. Semoga semua pihak bisa berbenah bersama-sama, ya.