Yogyakarta memang benar-benar istimewa. Salah satu letak keistimewaannya ialah masih tingginya budaya yang dijunjung oleh masyarakat di dalamnya. Sebagai bentuk nyata, kamu bisa berkunjung ke Keraton Yogyakarta dan melihat begitu banyaknya abdi dalem yang lalu lalang. Ya, abdi dalem ialah mereka yang rela dengan sepenuh hati mengabdikan diri untuk keraton dan juga raja dengan segala peraturan yang berlaku. Supaya nggak penasaran tentang apa dan siapa mereka, kamu baca pelan-pelan ya.
ADVERTISEMENTS
1. Pihak keraton sama sekali tak pernah membuka lowongan atau pendaftaran untuk ‘profesi’ ini. Sejauh ini, keinginan tersebut selalu datang dalam bentuk permohonan atau pengajuan diri
Syaratnya cuma satu, tapi mutlak. Yaitu berkelakuan baik atau punya tata krama yang baik dan bisa duduk di bawah serta bersila. Bukan berarti merendahkan, duduk di bawah ini bisa diartikan kemampuan untuk senantiasa bersikap rendah hati dan tidak sombong. Disamping persyaratan, ada dua jalur masuk atau kategori abdi dalem yang perlu dipahami bersama. Abdi dalem di Keraton Yogyakarta dibedakan jadi dua yaitu abdi dalem Keprajan dan Punakawan.
Keprajan, biasanya bertugas di dinas atau instansi pemerintahan. Sedangkan Punakawan bertugas di keraton saja. Jenis kedua ini masih dibagi ke dalam dua golongan lagi. Ada yang bertugas harian di kantor keraton, dan ada pula yang tidak wajib masuk setiap hari. Abdi dalem bisa berasal dari rakyat biasa dan bisa dari golongan ningrat atau memiliki darah dengan keraton. Dan karena hal ini, maka gelar dan pangkat yang disandang akan berbeda-beda.
ADVERTISEMENTS
2. Sebagaimana bisa terlihat, dress code para abdi dalem ini memang khas. Meski terlihat serupa, ternyata ada dua macam seragam wajib yang harus dipakai
Seragam pertama disebut Sikep Alit yang digunakan sebagai busana sehari-hari. Busana ini terdiri dari kain batik sawitan, baju hitam berbahan laken, selop hitam, keris, dan tentunya blangkon. Kancingnya pun tidak sembarangan lho, kancing dengan bahan dasar tembaga atau kuningan yang disepuh emas itu harus berjumlah tujuh atau sembilan buah. Keris juga harus diletakkan di pinggang bagian kanan.
Sementara yang kedua ialah model Langeran yang digunakan untuk perhelatan khusus. Disamping kain batik, keris, selop, dan blangkon yang sama, model seragam ini terdiri dari baju bukakan dengan bahan laken, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu putih. Kemeja berkerah berdiri dan dasi yang dikenakan akan menambah kesan formal yang sesuai dengan acara-acara perjamuan makan malam atau event spesial Keraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENTS
3. Gaji abdi dalem berasal dari negara dan butuh lima tahapan bagi mereka untuk bergaji Rp 15 ribu per bulannya
Namanya saja mengabdi, berarti niatnya bukan untuk mencari uang atau gaji yang besar. Titik beratnya pada istilah pengabdian. Sebelum benar-benar diangkat sebagai abdi dalem, ada lima tahapan atau urut-urutan yang harus dilewati seseorang. Yang pertama ialah Sowan Bekti, dimana seseorang akan dilatih untuk benar-benar siap dan ikhlas. Kemudian magang, setelah melewati Sowan Bekti selama kurang lebih empat tahun. Bayangkan, betapa lamanya.
Baru kemudian sampai di tahapan Sawek Jajar, calon abdi dalem akan mendapat nama baru dari Sultan dan mendapat gaji Rp 5 ribu sebulan. Tahap keempat yaitu Bekel Enom, mereka akan mendapat kepercayaan dan diberi hak mendapat keris. Terakhir ada di tahapan Bekel Sepuh, ketika sudah dianggap layak dan menerima gaji Rp 15 ribu sebulan. Honor ini berasal dari alokasi dana keistimewaan.
ADVERTISEMENTS
4. Ini memang bukan soal gaji, tapi tentang hati. Para abdi dalem percaya, ada berkah luar biasa dari pengabdian mereka
Katanya dengan menjadi abdi dalem, akan ada banyak berkah dari keraton. Baik berkah dalam kehidupan, rejeki, anak, dan lainnya. Lebih dari itu, kedekatan dengan Sultan dan kerabatnya juga menjadi keuntungan ketika menjadi abdi dalem. Selain gelar, mereka juga akan mendapat pendidikan. Hal ini diwajibkan untuk menandakan bahwa para abdi dalem itu benar-benar memahami segala adat dan peraturan keraton.
Mereka yang masih memiliki hubungan darah dengan keraton akan mendapat gelar Raden. Sementara yang tidak memiliki hubungan darah akan mendapat gelar dengan sebutan Mas Bekel, Mas Rono, dan Mas Lurah. Ragam pelajaran yang abdi dalem itu dapatkan akan berkisar tentang budi pekerti, budaya keraton, dan agama islam. Kalau mereka sakit dan meninggal dunia, pihak keraton pun akan memberi sumbangan pada keluarga.
ADVERTISEMENTS
5. Menariknya, bagi mereka gaji ialah tanda kasih dari Sultan. Mereka tidak menggunakan, melainkan disimpan dan dijaga sepenuh hati
Begitu mereka mendapat gaji dari Sultan, maka tidak akan langsung membelanjakannya. Seluruh gaji akan ditabung dan baru ketika terpaksa akan digunakan. Tak hanya hak, mereka pun punya cukup banyak kewajiban. Diantaranya mengikuti upacara-upacara adat, kerja normal 12 hari sebulan (walau ada juga yang harus setiap hari datang), Selasa Wage wajib datang untuk mengikuti ritual ‘Wiyosipun Dalem’.
Biasanya para abdi dalem akan membersihkan museum kereta Keraton. Ada pula yang melakukan tugas administrasi pemerintah keraton. Konsekuensi bagi mereka yang suka mangkir dari kehadiran hanyalah terhambatnya kenaikan pangkat yang jadi lebih lama. Normalnya aja 4-5 tahun, kalau terhambat bisa sampai sewindu atau sedekade kali ya.
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa menjadi seorang abdi dalem memanglah bukan menjadi pilihan utama dalam mencari nafkah, tapi soal panggilan jiwa. Dan tak semua orang bakal memahaminya. Dari segi batiniah, alasan mereka ialah mendapat ketenangan hati dan mampu mengendalikan hawa nafsu keduniawian. Hebatnya, di tengah dunia yang makin materialistik ini ternyata keberlangsungan ‘profesi’ abdi dalem ini masih baik terjaga. Mungkin itulah keistimewaan.