Buat kamu penggemar sepak bola pasti mengikuti drama cedera yang dialami Mohamed Salah saat berlaga melawan Real Madrid di final Liga Champions kemarin. Salah yang merupakan pemain andalan Liverpool, hanya bisa bermain di 30 menit awal. Banyak yang menduga, cederanya Salah akibat ulah Sergio Ramos ini jadi penyebab kekalahan Liverpool oleh Real Madrid dengan skor 1-3. Fans berat Liverpool di seluruh dunia jadi sibuk mengutuk si Ramos ini.
Di Indonesia, peristiwa ini begitu ramai dibahas. Bahkan kabarnya ada sekelompok orang yang berencana menggelar “Aksi Bela Salah” di depan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, Kamis (31/5). Mohammad Dendi Budiman, selaku koordinator acara, seperti dikutip CNN, menyatakan kalau aksi ini timbul sebagai solidaritas sesama muslim yang melihat saudaranya teraniaya. Aksi ini mengingatkan kita dengan berbagai aksi damai yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Bukan apa-apa sih, tapi emang menurut penelitian, generasi Z di Indonesia dinilai paling antusias atau bahkan fanatik dalam hal beragama lho. Kenapa bisa gitu ya? Simak deh ulasan Hipwee News & Feature ini.
ADVERTISEMENTS
Seruan ‘Aksi Bela Salah’ ini mulanya tersebar dari grup WhatsApp. Setelah sempat ramai dituding negatif, akhirnya aksi ini dibatalkan
Dalam sebuah pesan yang tersebar di grup WhatsApp, diinformasikan bahwa aksi bela Salah digelar atas dasar solidaritas sebagai sesama umat muslim. Rencananya kemarin aksi ini akan dilaksanakan di depan kantor Kedubes Spanyol. Ada 2 tuntutan yang ingin mereka utarakan, pertama adili Sergio Ramos, kedua cabut gelar Liga Champions Real Madrid. Tapi setelah ramai diberitakan dimana-mana, akhirnya aksi ini dibatalkan.
ADVERTISEMENTS
Belakangan ini sering banget kita temui aksi-aksi serupa yang mengatasnamakan solidaritas agama. Mungkin penelitian soal generasi Z ini memang bisa jadi alasan
Dalam sebuah penelitian yang dilansir Vice, 93% anak muda yang berusia 17-23 tahun memang menganggap agama itu sebagai faktor penting dalam kebahagiaan hidup. Riset yang dilakukan lembaga riset internasional, Varkey Foundation itu melibatkan 20 ribu anak muda yang lahir tahun 1995-2001 dari 20 negara. Ternyata ditemukan kalau Indonesia jadi negara dengan generasi Z yang paling tinggi tingkat antusiasme dan fanatisme beragamanya. Hasil riset ini mungkin bisa membantu kita memahami kenapa belakangan banyak banget aksi-aksi atas nama solidaritas agama dan kenapa isu agama sering jadi perbincangan hangat di berbagai lini.
ADVERTISEMENTS
Selain keberadaan organisasi keagamaan di berbagai level seperti rohis di sekolah, maraknya akun-akun dakwah ‘kekinian’ membuat generasi muda Indonesia makin semangat belajar agama
Berbagai alasan kenapa hal di atas bisa terjadi, dijelaskan juga oleh peneliti Ma’arif Institute, Aidul Fitriyana, seperti dilansir Vice. Pertama karena organisasi keagamaan semakin diminati, seperti rohis di sekolah-sekolah. Zaman sekarang siswa yang gabung rohis ini dianggap ‘wow’. Mereka biasanya mendalami agama dengan cara kekinian. Ditambah pula banyak akun-akun dakwah ‘gaul’ bertebaran di medsos. Topik yang dibahas juga beragam dan kebanyakan terkait dunia anak muda, seperti hijrah, target hidup, sampai soal jodoh. Ini membuat remaja makin semangat belajar soal agama.
ADVERTISEMENTS
Tak hanya itu, masih menurut penelitan tersebut, ketimpangan ekonomi digadang-gadang juga jadi alasan mereka jadi mengandalkan agama sebagai jawaban
Mungkin sekilas bikin kita mengernyitkan dahi, apa coba hubungannya ketimpangan ekonomi sama fanatisme beragama? Ternyata pengaruh globalisasi yang begitu luas, membuat kesenjangan antar kelompok orang jadi makin jelas terasa. Kelompok A misalnya, kerjaannya hedon, liburan, habisin duit, yang mirisnya kegiatan itu disebarluaskan lewat medsos. Padahal penikmat dunia maya nggak hanya berasal dari kalangan berada aja. Mereka inilah yang kemudian banyak menyandarkan diri ke agama, mencari jawaban atas kegelisahannya dari agama.
Sebenarnya nggak ada yang salah dengan menjadikan agama sebagai pegangan hidup. Cuma ada sedikit perbedaan antara generasi Z dengan generasi sebelumnya yakni cara mereka memanfaatkan teknologi. Zaman dulu, pelajaran agama banyak diperoleh dari para pemuka agama secara langsung, seperti ustaz, pendeta, dan lain-lain. Mereka sekaligus jadi ‘gate keeper‘ agar agama yang disampaikan nggak menyimpang.
Beda dengan generasi Z. Sebagai generasi yang dekat dengan internet, mereka cenderung menjadikan internet sebagai media belajar. Apapun itu, termasuk belajar agama. Padahal nggak semua yang tersaji di internet bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada baiknya kita semua tetap merujuk pada satu pemuka agama yang mumpuni dan nggak menyimpang dari nilai agama itu sendiri.