Euthanasia. Mungkin masih banyak orang yang tidak familiar dengan istilah ini. Beberapa saat lalu seorang korban tsunami Aceh bernama Berlin Silalahi mengajukan permohonan euthanasia kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh, yakni permohonan untuk membunuh diriya sendiri. Lebih tepatnya dalam kasus Berlin ini, permohonan untuk bisa disuntik mati karena sudah tidak tahan dengan penderitaan hidupnya yang tak terkira. Pasca tragedi tsunami, pria berusia 46 tahun ini mengalami kelumpuhan total dan terus sakit-sakitan.
Permohonan euthanasia seperti ini tampaknya masih terbilang jarang muncul di Indonesia. Tak peduli dimanapun, topik euthanasia ini memang sangat kontroversial dilihat dari sudut manapun. Sederhananya, euthanasia memperdebatkan apakah kehidupan itu pilihan atau anugerah. Kasus Berlin ini sendiri sedang berlangsung dan menunggu keputusan pengadilan. Sedih sih mendengar cerita seperti ini, kenapa bisa sampai sebulat itu tekadnya meminta disuntik mati. Baca selengkapnya ulasan Hipwee News & Feature ini!
ADVERTISEMENTS
Dari tahun 2004 hingga sekarang, penderitaan Berlin Silalahi sangat panjang. Berbagai upaya dicoba tak juga menghasilkan kesembuhan
Seperti yang kita tahu, Tsunami Samudera Hindia yang terjadi tahun 2004 meninggalkan luka yang mendalam bagi banyak orang. Khusus Berlin Silalahi, tsunami tak hanya menyapu rumahnya, tapi juga harapan hidupnya. Awalnya dia menderita asam urat. Sudah banyak pengobatan mulai dari medis hingga alternatif yang dicoba, kondisi Berlin justru memburuk dan jadi lumpuh total.
Diulas oleh Hariankota, niat untuk euthanasia itu muncul dari Berlin Silalahi setelah proses pembongkaran Barak Bakoy, rumah penampungan yang dia tempati setelah tsunami 2004 lalu. Tidak tahu mau tinggal di mana, tidak punya lagi biaya untuk berobat, tidak bisa mencari nafkah sebagai kepala keluarga, ditambah rasa sakit yang mendera, membuat pria 46 tahun ini putus asa. Meski keluarga sudah berusaha mencegah, tapi niat Berlin sudah bulat.
ADVERTISEMENTS
Lelah menjalani hidup lumpuh dan sakit-sakitan, Berlin Silalahi mengirim permohonan untuk disuntik mati ke pengadilan
Diulas oleh Rappler (15/5/2017), saat ini proses pengadilan permohonan Euthanasia Berlin Silalahi sudah dimulai. Diwakili oleh kuasa hukum dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), pihak Berlin Silalahi menyatakan bukan hanya soal rasa sakit dan ketiadaan biaya pengobatan saja, tapi juga kondisi psikologis pemohon sangat buruk. Pihak YARA juga menyatakan akan membawa saksi ahli untuk memastikan kondisi psikologis pasien. Sang istri, Ratna Wati, mengaku dirinya sudah siap dengan apapun keputusan pengadilan. Karena keinginan untuk di-euthanasia ini memang muncul dari suaminya sendiri.
ADVERTISEMENTS
Berlin Silalahi bukan satu-satunya. Banyak orang yang memohon untuk diperbolehkan mengakhiri hidupnya
Tahun 2015 lalu, seorang remaja bernama Valentina Maureria di Chile yang menderita penyakit Cystic Fibrosis sejak lahir memohon kepada presiden negaranya supaya diperbolehkan untuk “tidur selamanya”. Permohonan itu disampaikan via postingan video di Facebook dan menjadi viral.
Lalu di Belgia, sepasang saudara kembar yang terlahir bisu juga meminta untuk di-euthanasia setelah tahu bahwa perlahan-lahan, mereka akan menjadi buta pula. Permohonan ini dikabulkan dan mereka disuntik mati pada tahun 2012. Selain tiga kasus diatas, masih banyak cerita orang-orang yang memohon untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan alasan penderitaan yang tak tertanggungkan.
ADVERTISEMENTS
Euthanasia adalah sebuah tindakan untuk menghentikan penderitaan yang sangat ekstrem dan kontroversial
Barangkali istilah euthanasia belum terlalu familiar di telinga kita. Euthanasia disebut juga sebagai ‘mercy killing’, yaitu “pembunuhan” tanpa menimbulkan rasa sakit. Euthanasia bisa dilakukan dengan suntik mati (euthanasia aktif), ataupun menghentikan segala perawatan dan pertolongan yang menopang hidup pasien (euthanasia pasif).
Biasanya permintaan euthanasia ini muncul dari pasien yang sudah sangat menderita dan kehilangan harapan hidupnya, dan ingin mengakhiri penderitaan ataupun rasa sakit tersebut dengan tidur selamanya. Dalam kasus khusus, pasien sudah teramat sakit sehingga permintaan untuk euthanasia muncul dari keluarga, yang tidak tahan melihatnya menderita lebih lama lagi.
ADVERTISEMENTS
Meskipun benar secara moral karena atas permintaan pasien, tapi praktik euthanasia juga dikhawatirkan berkembang jadi kedok pembunuhan
Perdebatan tentang euthanasia tidak pernah selesai dibahas. Ada sebagian yang membenarkan secara moral, karena bukan saja hak perorangan atas hidupnya, tapi juga euthanasia bertujuan ‘baik’, yaitu menghentikan penderitaan. Tapi banyak juga yang mempertanyakan secara moral apakah tepat bila kita mengakhiri hidup seseorang meskipun dia sangat sakit dan menderita? Dari sisi agama, muncul juga pertanyaan, apakah manusia punya hak untuk menentukan mati/hidupnya seseorang?
Secara etika, ada anggapan bahwa euthanasia memang tidak membunuh orang, tapi membiarkan seseorang mati dan itu sama buruknya. Secara praktik, ada pertanyaan besar: dalam kerangka yang bagaimana euthanasia diperbolehkan tanpa khawatir dijadikan kedok untuk upaya pembunuhan?
ADVERTISEMENTS
Di tengah pro-kontranya, ada beberapa negara yang sudah melegalkan euthanasia. Jelas dengan dengan berbagai pertimbangan dan ketentuan
Di Inggris, euthanasia bertentangan dengan hukum yang berlaku. Siapapun yang membantu proses euthanasia, baik dokter ataupun keluarga pasien, diancam hukuman penjara selama 14 tahun. Sementara banyak negara yang menentang dengan tegas seperti Inggris dan beberapa yang lain masih sibuk memperdebatkan, ternyata di sejumlah negara euthanasia sudah legal.
Belanda adalah negara pertama yang melegalkan euthanasia, khususnya untuk pasien berusia 12 tahun ke atas. Berbeda dengan ketentuan di Belanda yang sangat ketat, di Belgia aturan untuk euthanasia lebih longgar. Lalu negara Asia seperti Jepang juga melegalkan Euthanasia baik aktif ataupun pasif, dengan berbagai ketentuan yang sangat ketat. Sementara itu, Kanada hanya memperbolehkan euthanasia pasif.
Di Indonesia, euthanasia masih terus diperdebatkan. Sampai sekarang, mengakhiri hidup orang lain masih ilegal, apapun alasannya
Di Indonesia, euthanasia secara langsung berhadapan dengan pasal 344 KUHP:
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Selain itu, menurut kode etik kedokteran yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983: seorang dokter harus selalu mengingat bahwa tugasnya adalah memilihara dan melindungi kehidupan makhluk insani, karena pada dasarnya semua orang ingin bertahan hidup. Karena itu, di Indonesia, baik secara hukum, agama, ataupun etika, euthanasia adalah tindakan ilegal.
Euthanasia memang bukan kasus sederhana. Dengan segala problem-problem yang melingkupinya, euthanasia tak bisa begitu saja dilakukan. Banyak pertimbangan baik positif maupun negatif yang harus dipikirkan. Apakah hak untuk hidup meliputi juga hak untuk mati, semua ini masih harus terus dikaji.
Tapi satu yang pasti bisa kita pelajari dari kasus ini adalah mahalnya sebuah harapan. Padahal harapan adalah penggerak manusia untuk tetap hidup dan berkarya. Dengan harapan, seburuk apapun keadaan tetap ada semangat untuk bisa sembuh ataupun mencari jalan keluar. Tanpa harapan, apa yang bisa kita cari dalam hidup ini? Bernafas pun memberatkan, sebab yang terasa hanya sakit dan penderitaan.