Akhir-akhir sedang banyak banget latah kewaspadaan masyarakat kita terhadap “kebangkitan si palu arit”, mulai dari sikap parno yang sepele sampai yang aduhai waspada tingkat dewa. Pemutaran film dibubarkan, diskusi ilmiah digrebek, hingga buku-buku disita. Sebenarnya bukan hanya belakangan ini sih kejadian-kejadian serupa dilakukan oleh gerombolan orang-orang yang merasa berhak mengatur apa yang harus kita baca dan kita lakukan.
Keresahan masyarakat ini rupanya udah memuncak sekali setelah negara terkesan membiarkan orang-orang main hakim sendiri terhadap apa yang dianggap “kiri”. Gimana coba, sekarang yang agak melenceng kiri sedikit aja sudah dianggap auto kuminis. Sampai-sampai ikan lohan aja beberapa tahun lalu dicurigai berpotensi menimbulkan kebangkitan si merah itu. Walah, ya ampun geleng-geleng kepala saya.
ADVERTISEMENTS
“Bacalah”, bukan “sitalah”. Baca aja belum kok udah main sita-sitaan aja~
Beberapa hari yang lalu, sebuah video tentang penyitaan buku berbau kiri yang terjadi di kota Makassar menjadi viral di beberapa media sosial. Video yang berdurasi sekitar 40 detik tersebut berisikan tentang segerombolan orang yang mendatangi Toko Buku Gramedia untuk mengumpulkan buku-buku berbau kiri dan menyitanya.
Namun, ada hal lucu dari kejadian ini, di mana segerombolan orang yang melakukan penyitaan buku tersebut ternyata salah dalam melakukan penyitaan. Ya mungkin sih pikirnya apapun yang bergambar Karl Marx dan circle-nya udah pasti auto kiri mentok. Padahal, beberapa buku yang mereka sita adalah karyanya Franz Magnis yang mana malah tajam mengkritik pemikiran Karl Marx. Nah lo, gimana sih!?
ADVERTISEMENTS
Fobia kiri di Indonesia, padahal udah ada aturannya lo buat nggak sembarangan menyita buku, ini malah seenaknya ngambilin buku orang lain
Beberapa waktu lalu, saya sempat menemukan gambar peralatan dokter gigi yang diletakkan posisinya menyilang mirip dengan lambang si merah itu, ditambah dengan kepsyen, “kini saya tahu, mengapa masyarakat takut dengan dokter gigi”. Wah! saya angkat jempol buat para warganet yang gencar-gencarnya bikin gambar dan tulisan yang serba sarkas sebagai bentuk perlawanan, bikin orang-orang mikir dulu jika hendak memahami maknanya.
Oke, kembali ke topik utama, Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 bahkan telah mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk melarang buku. Pelarangan buku hanya bisa dilakukan setelah ada putusan resmi dari pengadilan. Jadi, jika ada kejadian tentang penyitaan buku yang dilakukan oleh pihak tertentu, sebenarnya kita boleh aja kok untuk melawannya, toh juga dilindungi oleh undang-undang negara kok.
ADVERTISEMENTS
Ironis banget nggak sih, saat orang-orang di luar sana ngumpulin buku layak baca buat disumbangin, ini malah gencar buat nyita buku
Kejengahan saya semakin memuncak ketika baru-baru ini banyak banget orang yang sedang ngumpulin buku untuk didonasikan kepada mereka yang ada di daerah-daerah terpencil di pelosok negeri hingga para mahasiswa yang tengah bersiap turut serta membangun pendidikan berkualitas. Lha kok malah di sisi lain ada aja yang berniat memberangus buku, dan mirisnya, hal tersebut seperti lepas kontrol dari peran negara.
Sebenarnya banyak yang setelah itu banyak yang lantang bersuara ,“halah, repot amat buku disita gitu aja, kan ada e-book”. Haduh, bentar deh, kalau orang-orang yang tempat tinggalnya susah dijamah gitu, apa ya semua kenal dengan yang namanya gadget, enggak kan? Lagian ini bukan perkara buku fisik yang bisa diganti dengan bentuk digital setelah diberangus. Tapi kebebasan dan hak kita yang dirampas dan didikte oleh suatu golongan tertentu. Sekarang sih bisa aja bacaan kalian yang diatur, besok kalau sampai cara hidup kalian yang diatur sampai sedemikian rupa, apa ya masih mau? Saya sih enggak~
ADVERTISEMENTS
#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu
Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!