Sebuah sekolah menengah pertama di Batam baru saja mengeluarkan keputusan yang bisa dibilang memicu polemik di kalangan masyarakat. Adalah SMP Negeri 21 yang berlokasi di Sagulung, Batam, Kepulauan Riau. Mereka memutuskan mengeluarkan dua siswanya setelah menolak hormat kepada bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara. Alasannya karena berseberangan dengan kepercayaan yang dianut.
Keputusan itu menimbulkan pro-kontra, apalagi berkaitan dengan kepercayaan tertentu. Sebagian setuju pelajar itu dikeluarkan, mengingat kasus ini sudah melewati diskusi antar kedua belah pihak namun tetap nggak menemui titik cerah. Tapi sebagian lagi kurang setuju jika sekolah sampai harus mengeluarkan dua siswanya. Memang bagaimana sih cerita selengkapnya? Mari simak bersama dalam ulasan berikut ini ya…
ADVERTISEMENTS
Dua pelajar SMP di Batam terpaksa diberhentikan dari sekolah karena sejak pertama kali masuk mereka telah menolak hormat bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap upacara
Pelajar inisial DH dan WS masing-masing kelas 8 dan 9 SMP Negeri 21, Batam, sejak awal masuk sekolah sebagai murid baru, telah menolak hormat bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara. Selain itu, saat di kelas, mereka juga enggan berjabat tangan dengan guru. Mereka melakukannya lantaran menganggap semua itu berseberangan dengan aliran kepercayaan yang dianut, yaitu ajaran Yehuwa.
Penganut Yehuwa sendiri mengklaim termasuk bagian dari Kristen, bedanya mereka nggak merayakan natal, tak percaya konsep trinitas, nggak memakai salib, dan nggak mengonsumsi alkohol. Konsep neraka bagi mereka juga berbeda. Neraka hanyalah sebatas kuburan, bukan tempat menghukum orang berdosa. (Dikutip dari Tirto).
Akhirnya, pihak sekolah bersama Dinas Pendidikan Kota Batam terpaksa mengeluarkan DH dan WS dari sekolah. Alasannya karena keduanya sudah menyalahi aturan negara. Selain itu juga takutnya perilaku itu dikhawatirkan membawa pengaruh tertentu ke pelajar lain.
ADVERTISEMENTS
Keputusan memberhentikan dua pelajar itu bukan terjadi begitu saja. Sebelumnya pihak sekolah katanya sudah melakukan pembinaan dan pendekatan, termasuk ke orangtua siswa. Tapi hasilnya nihil
Sebelum akhirnya memutuskan memberhentikan DH dan WS, pihak sekolah bersama dengan Dinas Pendidikan, Komandan Rayon Militer (Danramil), Polsek, hingga Dewan Pendidikan, sudah melakukan pembinaan dan pendekatan kepada yang bersangkutan. Bahkan katanya pembinaan ini sudah berlangsung sejak setahun lalu. Orangtua kedua siswa juga telah diajak berdiskusi. Tapi hasilnya nihil, mereka tetap pada keyakinannya.
Namun walau diberhentikan, berdasarkan keputusan bersama, DH dan WS akan tetap diupayakan bisa mengenyam pendidikan non-formal, nggak beneran berhenti sekolah total gitu.
ADVERTISEMENTS
Orangtua salah satu siswa sudah angkat bicara. Ia menjelaskan kalau dalam kepercayaan yang mereka anut, hormat bendera itu berarti penyembahan
Herlina, orangtua salah satu siswa yang dikeluarkan, mengatakan kalau agamanya memang nggak memperbolehkan hormat bendera. Katanya itu sama saja seperti penyembahan. Waktu anaknya sekolah di SD swasta, hal seperti ini tidak jadi masalah. Malah anaknya mendapat rekomendasi dari kepercayaannya itu untuk masuk ke SMP Negeri 21. Tapi entah bagaimana sejak sekitar satu tahun lalu, tiba-tiba pihak sekolah memanggil anaknya dan ditanyai terkait keyakinannya itu.
Kepada Tempo, Herlina mengatakan dari lubuk hatinya yang terdalam, ia masih ingin anaknya bersekolah di sana karena sekolah itu yang paling dekat dari rumahnya. Saat ini memang belum ada surat resmi dari sekolah yang benar-benar menyatakan anaknya dikeluarkan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, menyayangkan keputusan pimpinan SMP tersebut. Menurutnya mereka terlalu buru-buru mengeluarkan dua siswa itu. Harusnya sekolah bisa jadi wadah mendidik anak agar cara berpikir, sikap, dan perilaku anak bisa semakin baik. Kalau memang selama ini sudah dilakukan upaya persuasif, berarti upaya itu kurang maksimal –kalau kata Susanto.