Pawang hujan di event dunia | Illustration by Hipwee
Ketika para pembalap MotoGP di sirkuit Mandalika harus menunda pertandingan, saat itulah semua mata tertuju pada sosok Rara Istiati Wulandari yang berjalan di bawah guyuran hujan sambil menjalankan aksi ritual. Dengan penampilan unik sembari membawa peralatan penangkal hujan, Rara sukses merebut perhatian banyak orang, apalagi ternyata hujan benar-benar berhenti sekitar satu jam setelahnya.
Benar atau tidaknya kemampuan pawang hujan bukan perkara besar. Jasa ini, meski kadang disangsikan cara kerjanya, masih sering dipakai orang ketika menyelenggarakan acara besar nan penting seperti pernikahan. Jadi, pawang hujan bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan kita. Namun, mengapa kemunculan Rara menjadi pergunjingan sekaligus bahan tertawaan, ya?
Serius deh, coba ingat-ingat keributan di dunia maya beberapa waktu lalu. Kata “Rara” dan “pawang hujan” berhari-hari nangkring di tangga trending topic Twitter. Sayangnya, sosok Rara dan profesinya sebagai pawang hujan dipandang miring karena dianggap memalukan. Di zaman yang udah serba modern dan melek ilmu pengetahuan berbasis ilmiah, kok masih ada aja orang yang percaya pawang hujan? Kira-kira begitulah anggapan mereka.
Eh, tapi… melibatkan pawang hujan untuk event besar nggak cuma terjadi di Indonesia, lo, bahkan di negara-negara yang selama ini dikenal dengan predikat negara maju aja, masih ada jasa ini. Negara mana aja yang memakai jasa ini? Bagaimana sih cara kerja mereka? Simak yuk penjelasannya!
ADVERTISEMENTS
Sosok pawang hujan udah familier sejak lama, nggak perlu malu mengakui keberadaan dan jasanya
Rara Istiati W. hanyalah satu contoh pawang hujan di Indonesia. Masih banyak sosok pawang hujan lain yang sejujurnya dengan mudah kita temui di kehidupan sehari-hari. Gofur Purnomo menjadi salah satu pawang hujan yang telah ada selama lebih dari tiga dekade dan termasuk sosok legendaris di Surabaya.
Kepada The Jakarta Post, Gofur Purnomo mengaku jasanya dipakai oleh individu atau perusahaan demi memastikan acaranya berjalan tanpa gangguan cuaca buruk. Sama seperti pawang hujan lain yang lazim di Indonesia, Gofur biasanya berusaha menangkal hujan agar tidak mengganggu acara pernikahan atau acara besar lain yang diadakan di ruang terbuka. Sejak tahun 1980-an, ia telah menangani banyak acara seperti acara kenegaraan, proyek konstruksi bangunan, sampai pertandingan bola. Seharusnya kehadiran sosok Rara di sirkuit Mandalika bukan hal aneh juga sebab pawang hujan dalam pertandingan olahraga udah biasa, ya.
ADVERTISEMENTS
Ketika Louis Vuitton digelar, pawang hujan bahkan sengaja didatangkan dari demi kelancaran acara fashion show
Selain di Indonesia, sosok pawang hujan juga bukan hal asing di luar negeri. Buktinya brand fesyen besar ini masih menggunakan pawang hujan.
Berkaca dari acara saingannya, Dior yang diguyur hujan deras saat peragaan busana di ruang terbuka, Louis Vuitton akhirnya kembali menggunakan dukun yang biasanya menangkal hujan. Sampai detik ini, identitas pawang hujan itu masih disembunyikan. Satu hal yang pasti, Louis Vuitton beberapa kali menyewa jasa tersebut.
Saat pagelaran fashion show Louis Vuitton di Rio de Janeiro dan Kyoto tahun 2018 lalu, misalnya, peragaan busana Louis Vuitton tetap menggunakan pawang hujan. Harapannya, acara yang diadakan di ruang terbuka itu berjalan lancar dan nggak terganggu oleh cuaca. Dari keputusan Louis Vuitton, kita tahu bahwa semodern apa pun, pawang hujan memang udah jadi bagian dari budaya manusia.
Ritual pawang hujan | Illustration by Hipwee
ADVERTISEMENTS
Jorge Eilas Gonzales menjadi bukti bahwa pawang hujan bukan hal aneh, apalagi bikin malu bila digunakan untuk acara besar dan penting
Di benua Amerika, tepatnya di Kolombia, ada satu nama yang nggak boleh terlewatkan ketika akan ada festival atau momen besar. Jorge Eilas Gonzales bukan cuma dikenal sebagai petani kopi, tapi juga seorang pawang hujan yang jasanya udah digunakan selama 40 tahun. Saat ini, usianya udah mencapai 66 tahun.
Gonzales terhitung nggak pernah absen menangkal hujan dalam festival teater Ibero-Amerika yang diadakan dua tahun sekali. Pertunjukan seni terbesar di dunia itu diselenggarakan di ruang terbuka selama 17 hari berturut-turut dengan melibatkan ratusan grup tari, musisi, atau teater dari berbagai belahan dunia.
Selain itu, dalam momen nasional, yakni pelantikan presiden baru Kolombia tahun 2010 silam, Gonzales sampai dibayar sekitar 800-2000 dolar Amerika Serikat untuk menangkal hujan. Biasanya, ia akan memejamkan mata dan berdoa dengan tangan terlentang agar hujan nggak turun.
ADVERTISEMENTS
Di negara-negara lain seperti Jepang, pawang hujan nggak berwujud manusia, melainkan benda atau ritual semata
Sementara itu, beberapa negara lain juga masih dekat dengan pawang hujan ataupun ritual penangkal hujan. Di Thailand, menancapkan serai secara terbalik di tanah rumah gadis perawan dipercaya dapat menghalau hujan turun. Uniknya lagi, pawang hujan di Thailand juga harus gadis yang perawan. Ritual ini mirip dengan ritual di Indonesia yang menggunakan cabai dan bawang merah yang ditancapkan ke lidi bukan?
Berbeda dengan Indonesia, pawang hujan merupakan orang yang memiliki kekuatan supranatural, Jepang menjadikan boneka sebagai penangkal hujan. Boneka ini disebut Teru Teru Bozu, dibuat dari kertas tisu atau kain putih. Kemudian, boneka ini digantung di pintu jendela. Nggak terbatas orang tertentu aja, boneka penangkal hujan ini bisa dibuat oleh orang biasa.
Pada akhirnya, sosok pawang hujan memang nggak menjamin hujan turun atau tidak sebab nggak sedikit kasus si pawang nggak berhasil menghentikan hujan. Berhentinya hujan di sirkuit Mandalika pun dinilai bukan karena ritual penangkal hujan. Sebelumnya, pihak BMKG bekerjasama dengan BRIN dan TNI AU untuk memodifikasi cuaca. Istilah ini memang ada di dunia sains, bahkan cara kerjanya pun bersifat ilmiah. Jadi, BMKG melakukan penyemaian di awan-awan yang akan menuju sirkuit Mandalika sehingga hujan bisa dikondisikan agar nggak turun lebat di sirkuit tersebut.
Namun, melibatkan pawang hujan di beberapa acara besar bukan sesuatu yang patut diolok-olok juga. Secara ilmiah memang masih dipertanyakan, tapi sekali lagi, terkadang pawang hujan dan ritualnya bisa dilihat sebagai bentuk bagian dari budaya.