Topik soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini sudah mondar-mandir di berbagai lini media massa sejak beberapa waktu lalu. Namun, meski terus dibahas, ternyata masih buanyak orang yang nggak paham apa itu Omnibus Law. Entah karena acuh, atau emang udah males cari tahu duluan. Dipikirnya berat banget gitu baca soal regulasi dan tetek bengeknya. Ditambah, diskusi-diskusi soal isu ini juga masih didominasi para akademisi dan kalangan pemerhati aja.
Padahal persoalan ini juga penting dipahami mereka-mereka buruh perusahaan maupun dedek-dedek SMA atau kuliah yang lagi persiapan masuk ke dunia kerja.
Kali ini Hipwee sudah meringkas tuntas apa-apa aja yang perlu kita pahami tentang Omnibus Law. Sebisa mungkin nggak pakai bahasa yang ribet, biar lebih gampang dipahami ya, Gesss. Yuk, cus, baca bareng~
ADVERTISEMENTS
1. Sebenarnya, apa sih Omnibus Law ini? Siapanya minibus? *hmm… skip*
Omnibus Law adalah aturan baru yang sengaja dibuat untuk menggantikan aturan yang sudah ada. Omnibus Law juga berperan mengatur banyak hal lewat satu undang-undang saja. Seperti namanya yang berasal dari kata omnis dalam bahasa latin yang berarti “untuk semuanya”, penerapan Omnibus Law bisa jadi rujukan untuk mengalahkan beberapa undang-undang yang sudah ada sekaligus. Kebayang ya, gimana kekuatan si Omnibus Law ini~
ADVERTISEMENTS
2. Ternyata nggak semua isi Omnibus Law ini jadi perbincangan. Terus apa aja dong yang lagi hot diperdebatkan?
Nah, yang lagi rame dibicarakan sekarang adalah Omnibus Law tentang kemudahan investasi di Indonesia:
- RUU Cipta Kerja -sebelumnya disebut RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka)-
- RUU Perpajakan, dan
- RUU UMKM
Nggak ujug-ujug rame, gagasan tentang Omnibus Law ini udah diumumkan Oktober 2019 dalam pidato pelantikan Presiden Joko Widodo. Pak Jokowi ingin menyederhanakan kendala dengan memangkas sejumlah aturan yang selama ini dinilai menghambat investasi.
Beliau bilang, Omnibus Law bisa memperlancar kedatangan investor, sehingga tercipta lapangan pekerjaan yang bisa meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Cita-cita pemerintah untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah di tahun 2045 digantung ke Omnibus Law ini sepertinya.
ADVERTISEMENTS
3. Kalau cita-cita pemerintah sungguh mulia lewat Omnibus Law ini, kenapa muncul penolakan dan demo di mana-mana ya?
Jadi gini, gimana kalau langsung kita bagi dua aja? Katakanlah pihak A (kalangan pengusaha) adalah yang setuju dan B (kalangan buruh) adalah yang nggak setuju.
PIHAK A SETUJU KARENA: dengan adanya Omnibus Law ini, mereka jadi bisa mengurangi banyak ongkos produksi. Dan yang penting, mereka bisa “melakukan apa saja di luar aturan” tanpa takut dipidanakan. Mereka nggak bisa dilaporkan pekerja pakai delik pidana, karena dalam Omnibus Law ini hanya diatur sanksi administratif untuk pengusaha. Dari poin ini saja sudah banyak keuntungan yang bisa didapatkan pengusaha loh!
Sedangkan PIHAK B MENOLAK KARENA: banyak hak buruh yang selama ini telah diperjuangkan jadi otomatis tercabut. Seperti perusahaan jadi lebih mudah melakukan PHK, dengan pengurangan jumlah pesangon yang harus dibayarkan. Posisi pekerja perempuan juga makin rentan karena cuti haid dan bahkan cuti melahirkan jadi dihapuskan. Perusahaan juga bisa mengontrak orang bekerja selama mereka mau, sementara tenaga outsourcing jadi makin rentan untuk diputus kontrak begitu saja. Belum lagi para pekerja berpotensi nggak bisa berserikat, dan aturan ini juga akan mengubah sistem upah yang dibayarkan jadi perjam. Siap-siap jadi mesin produksi~
Lagipula dari awal digagas, aturan ini kayak udah di-setting bikin nyaman investor kok. Buktinya komposisi satuan tugas (satgas) yang bertugas memberikan masukan terkait aturan ini sebagian besar juga pengusaha dan investor. Padahal syarat demokrasi adalah melibatkan semua pihak yang terdampak, tapi ini buruh atau serikat buruh enggak dilibatkan.
ADVERTISEMENTS
4. Nggak hanya sampai situ, Gaes. Omnibus Law ini juga nyerempet ke kerusakan lingkungan. Logikanya, makin gampang orang bangun usaha, makin mungkin lahan hijau berkurang. Huhu cedih…
SJW-SJW juga adem panas sama banyaknya pasal kontroversial yang mengabaikan faktor lingkungan, sosial, dan budaya. Contohnya kayak mekanisme izin analisis dampak lingkungan (Amdal) yang sebelumnya cukup ribet buat ngurusnya. Sekarang diganti jadi mekanisme assessment yang dilakukan pihak ketiga yang telah ditunjuk pelaku usaha. Iya, yang nunjuk pelaku usahanya sendiri! Kebayang dong, kayak apa nanti laporannya, curiganya bakal banyak kecurangan.
Ketua Umum Ikatan Aristek Indonesia (IAI), Ahmad Djuhara, seperti dilansir Tirto.id mengatakan penghapusan IMB dan Amdal akan menimbulkan “kekacauan” dan membahayakan orang-orang baik yang ada di lingkungan atau gedung. Pasal-pasal dalam Omnibus Law ini juga secara gamblang memfasilitasi kepentingan pelaku usaha tambang mineral dan batu bara. Duh, duh, makin makin deh!
Pusing? Jangan, please. Sebagai masyarakat dan pekerja, baiknya kita terus mengawal tiap agenda pemerintah agar pelaksanaannya bisa adil seadil-adilnya. Jangan lelah menyuarakan hak kita sebagai buruh dan lebih luas lagi, sebagai masyarakat Indonesia yang mendamba hidup sejahtera, bahagia, damai sentosa. Ntaps!