Takdir, nasib, rezeki, maupun usia memang sesuatu yang tidak bisa diketahui secara pasti. Begitu pula dengan usia pernikahan yang dijalani. Entah dipisahkan oleh kematian atau perceraian, pada nantinya mereka — orangtua kita — akan kehilangan pasangan hidupnya.
Banyak di antara mereka yang kemudian memutuskan untuk menikah kembali, meskipun usianya tidak muda lagi. Mungkin kita tak bisa membayangkan ada di posisi itu. Agak “aneh” rasanya di mata kita yang masih muda, walaupun sebenarnya ini wajar saja. Bukankah orangtua kita juga manusia yang butuh teman hidup di masa tua?
Mungkin karena citra yang “agak aneh” inilah, banyak orang jadi penasaran dan bertanya kepada saya ketika orangtua saya menikah lagi. Ada beberapa pertanyaan yang bisa dimaklumi, tapi ada yang sebenarnya membuat saya risih dan malas menjawabnya. Misalnya saja:
ADVERTISEMENTS
1. “Orangtua kamu nikah lagi ya? Kenapa?”
Setiap orang – sampai usia berapa pun – memiliki kebutuhan akan pasangan hidup. Baik untuk pendamping hidup dan teman untuk berkeluh kesah yang tidak bisa dipenuhi oleh anak, teman bahkan cucu.
Faktor inilah yang bisa jadi alasan ketika para single parent memutuskan untuk menikah lagi. Namun, orang-orang tentu penasaran luar biasa, apalagi kalau mereka tahu kalau anak-anaknya justru mengizinkan orangtuanya menikah kembali.
ADVERTISEMENTS
2. “Kamu setuju nggak sih orangtuamu menikah lagi?” Lebih baik berikan dukungan daripada bertanya seperti ini
Orangtua bisa jadi begitu bahagia pada hari pernikahannya. Anak mereka bisa ikut bahagia, sedang berusaha bahagia, atau justru sangat kecewa. Apapun jawabannya, itu adalah hal personal yang sebenarnya kamu tak perlu tahu.
Saya beberapa kali mendapatkan pertanyaan seperti ini, dan selalu bingung menjawabnya. Menurut saya, daripada kamu bertanya, cukuplah hadir sebagai sosok yang memberikan dukungan. Bebannya sudah berat, tidak usah kamu tambahkan dengan pertanyaan yang bersifat personal.
ADVERTISEMENTS
3. “Waah! Nanti kamu jadi anak keberapa?” Entahlah, agak susah menghitungnya.
Bila orangtuanya menikah dengan duda/janda yang sudah memiliki anak, dia mau tidak mau harus menerima kehadiran saudara tiri dalam hidupnya. Ini bisa membuatnya kebingungan jika ditanya, “Kamu jadi anak keberapa, dari berapa bersaudara?”
Karena di satu sisi, dia memiliki saudara kandung. Di sisi lain, ada juga saudara tiri yang masih harus beradaptasi. Kamu pun mungkin akan bingung ketika mendengar bahwa saudara-saudaranya ada banyak sekali.
“Nanti kakakmu jadi tujuh dong? Astaga. Gimana rasanya?”
ADVERTISEMENTS
4. “Kalau orangtuamu menikah lagi, terus kamu tinggal sama siapa?” Kesannya kayak bakal terusir gitu, hehe.
Selain mengesankan bahwa orangtua menikah lagi itu sama dengan mengusir anak, pertanyaan ini juga sering memunculkan dilema. Jujur, ketika ditanya seperti ini, banyak anak yang belum tahu jawabannya. Mungkin dia akan pindah ke rumah orangtuanya yang belum menikah, mungkin dia akan tinggal bersama orangtua tirinya. Beri saja dia waktu, nanti dia akan memberitahumu sendiri kok.
ADVERTISEMENTS
5. ”Bapak/Ibumu berubah nggak sikapnya setelah menikah lagi?” Kadang perhatian dan kepo itu tipis banget bedanya.
Siapapun yang memutuskan untuk menikah kembali tentu memiliki harapan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dibandingkan dalam pernikahannya terdahulu.
Harapan ini akan dibarengi dengan usaha untuk meningkatkan kualitas diri.
Maka tak heran, banyak perubahan yang timbul setelah menikah lebih dari satu kali. Misalnya menambah nama belakang suami di belakang namanya, ataupun perubahan peraturan yang bisa berpengaruh pada psikis dan psikologi anak. Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja, “Ya pasti ada perubahannya.” Tapi perubahan apa sajakah itu, terserah si anak ingin bercerita atau tidaknya. Lebih baik tak usah ditanya.
ADVERTISEMENTS
6. Tidak semua anak bisa menerima orangtuanya menikah kembali. Maka jangan sampai keceplosan bertanya, “Apa ada bedanya antara orangtua kandung dan orangtua tirimu?”
Rasanya tidak ada satupun anak yang menerima perpisahan orangtua mereka, yang pasti akan merasa kehilangan luar biasa. Apalagi bila sang anak merasa sakit hati, merasa dibohongi ketika orangtuanya memutuskan untuk mengakhiri semua dan memulai hubungan dan pernikahan dengan yang lain.
Mereka khawatir kehilangan perhatian, penerimaan, bahkan makna sebuah ‘rumah’.
Atau bisa saja justru orangtua tiri mereka lebih bersedia untuk “ada” di samping anak daripada orangtua kandung anak itu sendiri. Tapi apakah kamu perlu tahu tentang “kejelekan-kejelekan” orangtua kandung temanmu? Sekali lagi, biarkan dia saja yang nanti bercerita. Lebih baik kamu berkata bahwa kamu akan selalu mendengarkan, kalau ada yang perlu diceritakan.
Pada akhirnya, pernikahan di usia berapapun harus berlandaskan cinta kasih, niat yang baik, serta keinginan tulus untuk saling mengisi satu sama lain. Sebagai seorang anak, tentu sudah sewajarnya, harus menerima keadaan dan keputusan orangtua. Jika orangtuamu menikah lagi seperti orangtua saya, tidak usah terlalu pedulikan kata-kata orang lain yang kadang menyakiti hati. Dan jika orangtua temanmulah yang menikah, semoga kamu cukup bijak untuk tak melontarkan kata-kata menyakiti 🙂