“Lemah banget sih lo jadi laki, dasar maho!”
“Dia penampilannya necis gitu, pasti homo deh.”
“Idih. Ogah gue deket-deket sama lo, ntar dikira gay.”
Sering sekali ungkapan-ungkapan yang seperti ini muncul dalam percakapan sehari-hari. Joke yang menyomot preferensi seksual untuk melabeli orang lain sebagai homoseksual atau penyuka sesama jenis kerap meluncur dari mulutmu atau temanmu sendiri. Kadang, orang yang kamu katain itu membalas dengan becandaan yang lebih hardcore. Kadang, ia tertawa dan menganggapnya lucu. Tapi sering juga, yang kamu bully diam saja tak menanggapi.
Sesungguhnya label homo yang dipakai sebagai becandaan itu adalah mata belati, ia mampu melukai sekaligus menunjukkan bahwa derajatmu sebagai makhluk sosial ternyata nggak begitu tinggi.
Saya tidak pro terhadap homoseksual. Tapi saya terusik dengan segala hal yang dilakukan oleh orang-orang hetero atau yang mengaku straight untuk menyudutkan mereka yang preferensi seksualnya berbeda. Bagi saya, tenggang rasa itu sesimpel respek dengan pilihan orang jika ingin pilihan kita sendiri dihormati. Lagipula, menjadikan ‘homo’ sebagai stereotip pun secara tata bahasa tidak punya konteks yang pas. Entah di mana lucunya…
Karena merisak itu mengganggu, banyak yang jadi korbannya tanpa kamu tahu
Merisak atau bullying adalah suatu tindakan yang disepakati semua orang sebagai hal yang negatif. Ketika seorang anak diganggu oleh teman-teman sekelasnya di sekolah karena bentuk fisiknya, atau latar belakang keluarganya, sampai dijauhi karena ia tidak sama dengan yang lainnya, itu adalah fase awal bullying dalam lingkungan sosial. Tahap selanjutnya bisa beralih ke penindasan fisik, saat seseorang dikeroyok ramai-ramai karena tidak disukai.
Merisak tidak melulu tentang penyiksaan fisik. Perkataan verbal yang diluncurkan untuk menghancurkan citra seseorang juga masuk kategori ini. Bagi yang merisak, perkara sudah selesai sehabis mereka mengganggu. Namun bagi yang dirisak, perkataan dan perbuatan tidak menyenangkan itu sangat membekas buat mereka. Kepercayaan diri mereka mungkin runtuh seketika. Mereka mungkin jadi percaya bahwa mereka memang lemah dan tidak berharga seperti yang dikatakan orang.
Sebuah studi yang dilaksanakan oleh Yale University menemukan bahwa 7 sampai 9% korban bullying mempertimbangkan opsi bunuh diri. Mungkin kamu tidak pernah berpikir sejauh itu, bahwa ketika melabeli jidat temanmu dengan kata ‘homo’, mana mungkin lah dia sampai melakukan tindakan ekstrim.
Caramu merisak tidak membunuh orangnya, tapi karakternya. Dan selamat, tanpa sadar kamu jadi orang yang berkontribusi menghancurkan hidup orang lain.
Lagipula, stereotipnya salah. Homo dan macho adalah dua hal yang belum tentu bersebrangan keleus~
Munculnya label homo atau gay dalam becandaan sehari-hari ini biasanya dikhususkan untuk cowok-cowok yang dianggap lemah, lembek, nggak garang, dan nggak bisa apa-apa. Ini semacam jadi pengganti ungkapan, “nggak laki lo!” saja.
Nah, jangan sok tahu dulu deh. Memangnya mereka yang gay selalu seperti itu karakternya? Kalau kamu berpikir cowok-cowok yang nggak macho itu sama dengan gay, berarti pergaulanmu harus diperluas lagi. Kamu tahu Wentworth Miller, seleb yang populer lewat serial TV Prison Break itu? Doi adalah definisi sempurna untuk kata macho, dan dia gay. Adam Lambert, Ricky Martin, David Bowie juga mengaku bahwa mereka penyuka sesama jenis. Apakah mereka kurang macho?
Jadi, kalau ada yang merasa bahwa cowok nggak macho itu otomatis homo, waduh, diajak ngobrol sambil ngopi-ngopi dulu lah. Hehe.
Menggunakan kata ‘homo’ untuk ngatain orang itu cuma bikin kamu terlihat nggak cerdas, ketahuan kalau perbendaharaan katamu terbatas
Orang bisa dinilai dari caranya memperlakukan orang lain, termasuk pilihan kata yang ia gunakan ketika berbincang-bincang. Ketika berbicara dengan lingkungan baru, sudah sepatutnya lebih berhati-hati memilih diksi. Usahakan memilih kata-kata netral yang tidak berpotensi menimbulkan konflik, karena kita nggak pernah tahu latar belakang orang-orang yang sedang jadi lawan bicara kita.
Menggunakan kata ‘homo’ dan kawan-kawannya di dalam becandaan itu bukan pilihan bijaksana, gaes! Walau mungkin kamu sedang menarget teman dekatmu yang tidak keberatan dengan cara bercandamu, tapi siapa tahu ada orang lain yang mendengarkannya. Kita tidak tahu apakah dia punya pengalaman pribadi dengan kata ini, siapa tahu dia adalah seorang homoseksual, bisa jadi tersinggung nih. Bayangkan jika orang tersebut adalah bos barumu, atau calon klien yang sudah lama kamu prospek. Langsung jelek sudah citramu di mata mereka. Bye~
Buat yang masih membenarkan olok-olok homoseksual karena merasa didukung ajaran agama, coba tonton video ini dulu
Dr Yasir Qadhi, seorang penulis buku dan dekan sebuah institut islam di Amerika, mencoba menjelaskan interpretasinya tentang bagaimana muslim seharusnya menyikapi topik homoseksualitas. Memang sudah jelas bahwa tindakan homoseksual tidak dibenarkan dalam agama. Tindakan yang dimaksud adalah hubungan seksual yang terjadi di level fisik manusia. Sementara itu, memiliki hasrat saja belum bisa dikategorikan berdosa.
Karena tindakan adalah ujian manusia untuk mengontrolnya, tapi perasaan datang bukan atas kehendak kita. Hanya karena seseorang memiliki perasaan spesial terhadap sesama jenisnya, tidak semerta-merta menjadikan dia makhluk hina yang tidak sempurna imannya.
Mari tangguhkan dulu debat dalam konteks agama, karena sampai kiamat pun tidak akan ada ujungnya. Setidaknya kita bisa kan sepakat bahwa: pertama, kesucian orang itu Tuhan yang tentukan, bukan manusia. Kedua, hanya karena seseorang memiliki pandangan dan gaya hidup yang berbeda dengan kita, tidak serta merta menjadikan derajat kita diangkat lebih tinggi.
Apapun sebutannya, melabeli orang dengan cap yang tidak mereka inginkan itu tidak baik
Toni: “Dari tadi si Soni liat hape terus, dasar autis!”
Roni: “Eits, jangan pakai kata autis ya.. Nggak boleh..”
Sama seperti becandaan dengan membawa kata ‘autis’ untuk menyebut mereka yang sibuk dengan dunianya sendiri, menyebut ‘homo’ untuk melabeli orang lain juga sebaiknya tidak dilakukan. Kepekaan kita sebagai manusia justru dapat dibuktikan lewat bagaimana kita melihat orang lain yang berbeda dengan kita sebagai hal yang lumrah, bukan olok-olok.
Jika sekarang kita sudah mulai peka dan mengingatkan teman yang masih menggunakan kata ‘autis’ untuk bercanda, kita juga bisa mulai mengingatkan hal yang sama kepada mereka yang menggunakan preferensi seksual orang untuk ngatain orang lain.
Terkait setuju atau tidak terhadap keberadaan homoseksual, semua kembali ke preferensi masing-masing orang. Tidak ada yang bisa memaksamu setuju pada sesuatu, apalagi harus membenarkannya. Cuma, jangan sampai ketidaksukaanmu terhadap segala sesuatu berbalik membuat semua orang jadi membencimu.
Karena orang terdidik tidak hanya pintar mengeluarkan kata-kata, tapi juga menahannya.