Saya dengar pada penghujung akhir pekan kemarin – bahkan masih sampai sekarang – Yogyakarta dibuat kaget oleh aksi Mas Adhis di perempatan Tugu. Mungkin enggak cuma Yogya yang kaget, tapi seluruh Indonesia juga. Soalnya aksi Mas Adhis tersebut mengingatkan saya dengan kejadian beberapa tahun lalu. Kebetulan terjadi di Tugu juga. Tapi kalau yang satu itu di Tugu Tani, Jakarta.
Apa yang terjadi kemarin pada Minggu pagi memang bencana. Saya yakin, Mas Adhis tak ingin semua itu terjadi. Siapa yang mau coba? Tapi Mas, kalau menyimak alasan yang dilontrakan Mas Adhis, rasanya saya akan dengan lantang mengatakan,
“Bencana itu bisa terhindar kalau Mas Adhis enggak lalai dan mau mengatur ritme tubuh Mas Adhis sendiri.”
ADVERTISEMENTS
Seandainya Mas Adhis lebih bijaksana, cerita suami-istri yang meninggal dan 2 orang luka-luka mungkin nggak perlu ada
Saat ini, berita yang beredar mengenai Mas Adhis bukanlah berita tentang Mas Adhis yang pernah jadi mantan kekasih finalis Putri Indonesia 2014. Melainkan soal kabar kalau Mas Adhis mengaku ngantuk berat waktu kejadian setelah sebelumnya ikut nonton bareng dan jadi panitia nobar final Liga Champions.
Entah kenapa, bagi orang yang mendengar nampaknya alasan ini sangat konyol. Mau sok kuat atau gimana Mas? Kalau mau sok kuat ya jangan sampai membawa nyawa orang.
Mbok ya kalau itu mata enggak kuat, dibuat istirahat dulu. Minimal 30 menit sudah cukup kok. Ada yang namanya power nap, Mas. Tidur 15 menit untuk mengembalikan energi. Cukup kok Mas asal tahu batas tubuh sendiri.
ADVERTISEMENTS
Konon ini bukan yang pertama. Di Purwokerto 3 tahun lalu Mas Adhis pernah melakukan kelalaian yang sama
Rasa penasaran jelas membuat saya banyak tahu soal Mas Adhis. Dan ketika jari ini mengetik nama lengkap Mas Adhis, saya geleng-geleng kepala seakan tak percaya. Pada sebuah portal online Pikiran Rakyat, saya menemukan berita tiga tahun lalu tentang Mas Adhis. Mas Adhis menabrak sepasang manusia, bapak dan anak, di dekat jembatan Sungai Logawa.
Entah bisa disebut unik atau tidak, kejadian tersebut terjadi di bulan yang sama seperti kejadian di Tugu Yogyakarta. Jalan yang menjadi saksi pun sama, yaitu Jalan Soedirman. Namun kalau Mas Adhis ingat, kondisi dua jenazah korban sangat mengenaskan. Salah satu kaki korban, sampai berita tersebut ditulis, bahkan putus dan hilang setelah terjatuh ke Sungai Logawa.
Mas Adhis, enggak belajar dari kesalahan? Ingat, Mas, nabrak orang bukanlah sebuah hobi.
ADVERTISEMENTS
Bukannya suudzon. Kalau memang hukum benar-benar DITEGAKAN, Mas Adhis mungkin enggak ada di Yogya, Minggu (29/5/2016).
Iya, Mas. Maksud saya, Mas Adhis mungkin enggak ada di tempat kejadian.Perkara tabrakan maut pun mungkin bisa dihindari. Sebab, Mas Adhis harusnya lagi mendekam di penjara.
Nih Mas Adhis, tolong dicatat: pada Pasal 229 ayat 4 Undang-Undang Lalu Lintas Jalan Raya (UU LLAJ), kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia adalah kecelakaan lalu lintas yang berat.
Apakah ini bukti kalau pihak berwajib tidak tegas? Bisa jadi dan seperti sudah lumrah.
Kalau pun pihak keluarga telah berdamai dengan tersangka, ternyata tersangka nggak serta merta bisa lepas dari jeratan hukum. Mas Adhis atau kawan-kawan lain yang membaca tulisan ini bisa melihat ketegasan pada Pasal 235 ayat 1 UU LLAJ yang berbunyi, “Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.”
ADVERTISEMENTS
Seperti hukuman ke pemerkosa, SIM Mas Adhis harusnya dikebiri. Apa kali ini Mas Adhis mau menawarkan diri?
Satu lagi, Mas. Dalam Pasal 310 ayat 4 UU LLAJ tertera ancaman sanksi pidana untuk pengemudi kendaraan bermotor penyebab kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.
Soal Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dicabut pada sebuah artikel yang dikutip dari Detik.com, Mantan Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Pol Chryshnanda Dwilaksana, pihak berwajib bisa saja melakukan hal tersebut jika seseorang melakukan kecelakaan yang fatal yang dapat merugikan banyak orang serta pengendara melakukan tabrak lari.
Kalau pun kejadian pada 2013 enggak bikin SIM punya Mas Adhis dicabut, maka setelah kejadian kedua ini, sudah saatnya Mas Adhis menawarkan diri kepada pihak berwajib untuk mencabut SIM. Begitu, Mas. Mungkin enggak ya?
Oh iya terakhir, dengan adanya kejadian kemarin, semoga enggak ada pihak yang menjadikan Mas Adhis sebagai duta lalu-lintas di Indonesia. Bisa makin gila kita disuguhi cerita orang yang enggak bisa kasih contoh malah jadi duta.