Tentu masih membekas di ingatan kita, ketika September 2015 lalu, dunia dihebohkan dengan foto seorang bocah yang ditemukan meninggal dan tergeletak di pinggir pantai. Ya itulah foto jasad Alan Kurdi, bocah Suriah berusia tiga tahun yang sempat menjadi trending topic di seluruh dunia dan memicu kemarahan masyarakat internasional. Sejak saat itu pula perhatian masyarakat dunia tertuju pada konflik di Suriah, terutama kota Aleppo.
Ironisnya, dibutuhkan gambar yang sama mirisnya untuk kembali menyadarkan orang akan krisis kemanusiaan lain yang sedang bergejolak di Myanmar. Di negara yang letaknya dekat dengan kita itu, minoritas muslim Rohingya berjuang melawan penindasan di negaranya sendiri selama berpuluh-puluh tahun. Tapi mirisnya, perjuangan itu baru menarik perhatian dunia ketika foto seorang balita Rohingya yang tak lagi bernyawa terdampar di hamparan lumpur bagaikan onggokan barang yang tidak bernilai. Bayi 16 bulan bernama Mohammed Shohayet ini pun dijuluki sebagai ‘Alan Kurdi-nya Rohingya’.Â
ADVERTISEMENTS
1. Bayi berumur 16 bulan ini meninggal saat akan mengungsi menggunakan kapal ke Bangladesh bersama ibu dan kakaknya. Jika konflik terus berlangsung, Myanmar bisa saja jadi Suriah kedua
ADVERTISEMENTS
2. Telah berlangsung sejak berdirinya bangsa ini, konflik kepentingan menempatkan minoritas Rohingya di kota Rakhine sebagai golongan tertindas
ADVERTISEMENTS
3. Minoritas Rohingya yang kebanyakan beragama muslim jadi kelompok marginal ditengah masyarakat Myanmar yang mayoritas Buddha. Di tengah represi militer, perbedaan berubah jadi konflik
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
4. Selalu diperlakukan semena-mena dan tidak diakui persamaan haknya sebagai warga negara, kaum Rohingya berlayar ke negeri tetangga mencari perlindungan dan masa depan
5. Terutama ke Bangladesh yang dekat secara jarak dan etnisitas. Sepanjang sejarah konflik ini, diperkirakan sebanyak 30 ribu muslim Rohingya pergi mengungsi ke Bangladesh
6. Gejolak konflik makin memanas, 1250 rumah etnis Rohingya di Rakhine dibakar oleh kelompok militer Myanmar pada bulan November 2016 lalu
7. Terusir dari negaranya sendiri, kebanyakan suku Rohingya terapung di lautan tanpa tujuan yang jelas. Kelaparan dan tak punya tempat berlindung, krisis kemanusiaan ini makin parah
8. Bukan hanya masalah agama atau minoritas, konflik Rohingya ini sudah berkembang jadi krisis kemanusiaan tak berujung dimana nyawa manusia makin tak berharga
9. Padahal Myanmar sudah terlepas dari pemerintahan junta militer dan sekarang dipimpin oleh peraih nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi. Tapi nyatanya negara ini masih jauh dari kondisi damai
10. Krisis kemanusian yang terjadi di negara tetangga Indonesia ini seringkali luput dari perhatian dunia, padahal tiap tahunnya makin parah
Rohingya, salah satu etnis yang menduduki Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat. Jumlah mereka hanya 4% dari total populasi Myanmar, dan mereka selama ini hidup tanpa kewarganegaraan. Mereka menjadi korban kekerasan rasial dan dipaksa menyingkir dari tanah kelahirannya. Tak sedikit diantara mereka yang telah tewas mengenaskan saat berusaha berlabuh ke daratan lain lantaran kelaparan. Tak sedikit pula yang terombang-ambing di tengah lautan lantaran perahu ala kadarnya itu telah kehabisan bahan bakar.
Selama ini nasib mereka hanya bergantung dari belas kasih pemerintah dan warga negara di daerah yang mereka tempati. Beruntung, pemerintah Indonesia masih memilikin nurani dan membiarkan mereka mengungsi. Lantas, mampukah kita menutup mata dari kebrutalan massa di negara tetangga ini? Ini bukan tentang agama, bukan pula tentang ras atau suku, ini tentang kemanusiaan. Etnis Rohingya ialah penghuni dunia yang juga mempunyai hak sama dengan etnis-etnis lainnya. Bukan begitu?