Kalau kamu pernah tinggal di Jepang atau punya kenalan yang pernah sekolah dan menetap di sana, mungkin kamu tak asing lagi dengan hal ini. Berulang kali saat naik kereta api pada musim semi, kamu akan mendapati kereta yang datang terlambat dengan alasan adanya ‘jiko’ alias kecelakaan. Mirisnya, kecelakaan ini biasanya bukan kecelakaan lalu lintas biasa tapi lebih sering karena ada orang yang menabrakkan diri ke kereta yang berjalan. Yang lebih mencengangkan, mereka akan maklum ketika hal ini terjadi pada musim semi. Ya, dengan santai mereka akan berujar, “wajar saja, bulan-bulan ini memang sedang musimnya orang-orang bunuh diri.”
Cuma di Jepang kamu akan memiliki pengalaman yang unik tapi tak menyenangkan macam ini. Setidaknya, kejadian kereta api menabrak atau bisa dibilang membunuh manusia atau juga menjatuhkan manusia akan berulang hanya dalam waktu mingguan. Angka bunuh diri di Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Tiga kali lebih banyak dari yang terjadi di Inggris, dilansir dari The DailyJapan. Menariknya sebagian besar memang terjadi saat musim semi. Bagaimana bisa? Simak ulasan Hipwee News & Feature ya!
Tahun 2015 lalu, ada lebih dari 25.000 orang melakukan bunuh diri di Negeri Sakura ini. Itu artinya, sekitar 70 ribu orang per hari dan sebagian besar adalah laki-laki
Dari jenis kelamin, dikutip oleh beragam media sebagian besar memang menyebut dilakukan oleh pria, namun tak jarang ada juga wanita yang melakukannya ketika mereka sudah berkeluarga. Kalau dibagi menurut wilayah, maka kasus tertinggi umumnya terjadi di Tokyo. Sedangkan dari segi umur, kebanyakan ialah mereka yang berusia setengah baya atau rata-rata berkisar umur 50 tahun ke atas. Pelaku remaja memang ada, tapi itu hanya sebagian kecilnya saja.
Kalau kamu pernah melihat film Jepang yang ber-setting zaman samurai, ya itulah asal muasal dari ‘budaya bunuh diri’ ini. Bukankah dalam film itu ada banyak adegan bunuh diri?
Kalau kamu mengingat film Jepang zaman Edo dan Samurai yang rambut-rambut cowoknya berbentuk conmage (sekarang bisa dilihat di kepala para pemain sumo), di situ banyak sekali mempertontonkan kejadian bunuh diri yang disebut Seppuku. Kanjinya berarti merobek perut. Para pemimpin Jepang atau para samurai Jepang itu akan segera membunuh dirinya sendiri jika mereka merasa gagal dalam menjalankan tugasnya. Kesadaran untuk menghabiskan nyawa sendiri itu karena mereka memegang teguh kode etik kesatriaan, dimana adanya nilai moral dan tanggung jawab hingga titik darah penghabisan disebut dengan semangat Bushido. Dan mirisnya, tradisi itupun terus berlangsung di zaman serba modern ini.
Menariknya, bunuh diri di Jepang seakan ada ‘waktunya.’ Biasanya, pada awal musim semi kejadian ini marak, karena orang-orang Jepang mengalami tingkat stres paling tinggi
Mungkin orang awam akan beranggapan, saat musim semi, Jepang akan jadi semakin indah dengan banyaknya bunga sakura yang bermekaran dimana-mana. Tapi nyatanya, justru saat itulah Jepang nampak sangat mengenaskan. Akhir Maret atau awal April, selalu menjadi tahun ajaran sekolah dan awal masuk kerja bagi para pegawai setelah libur musim dingin.
April yang juga awal datangnya musim semi adalah titik awal dimana performa kerja bisa dinilai atau dilihat hasilnya. Termasuk juga keadaan finansial perusahaan, apakah sehat atau bangkrut. Musim ini juga jadi musim dimana orang-orang Jepang akan pasrah untuk dipindah tugaskan bekerja di cabang lain perusahaannya. Banyak orang kemudian kecewa dan tidak puas di awal April, serta menganggap sebagai permulaan hidup yang buruk. Merasa tak berguna dan memalukan keluarga, jalan bunuh diri pun akan ditempuh.
Bukan cuma di Jepang, pola unik tentang bunuh diri dan musim semi itu juga ditemukan di banyak negara 4 musim. Hal ini telah lama jadi perdebatan ahli psikologi
Bukan hanya tekanan dari lingkungan, tekanan juga seringkali muncul dari dalam diri sendiri. Diambil dari The Guardian, para ahli sepakat jika memang perubahan musim turut berdampak pada meningkat atau menurunnya angka kasus bunuh diri. Saat musim dingin atau sebelum musim semi, banyak orang merasa dalam tekanan atau depresi berat, akhirnya pikiran untuk bunuh diri itu pun terealisasi di musim semi. Musim semi sendiri dipercaya sebagai waktu yang tepat untuk sebuah awal baru atau kehidupan yang baru.
Kalau dilihat, mungkin kamu akan beranggapan kalau alasan bunuh diri mereka seringkali ialah hal yang sepele. Seperti tidak lulus ujian ataupun kehilangan pekerjaan
Tapi nyatanya, lulus ujian pun bisa benar-benar membuat mental mereka rapuh dan menganggap diri mereka bodoh tak berguna. Jangan salah, tak sedikit orang tua Jepang yang menyuruh anaknya untuk mengambil les di luar jam sekolah agar nantinya bisa masuk ke sekolah favorit. Karena tuntutan yang besar, dan ketika mereka sudah merasa belajar setengah mati tapi nyatanya tak lulus juga, bunuh dirilah yang jadi jalan pintasnya. Pun begitu perkara kehilangan pekerjaan.
Walau angka bunuh diri di Jepang disebut cukup besar, tapi nyatanya angka tersebut terus menurun dari tahun ke tahunnya. Dilansir dari CNN Indonesia, penurunan tren bunuh diri ditunjukkan dengan total korban yang hanya mencapai 25.427 jiwa pada tahun 2014 lalu. Angka ini menurun sebanyak 6,8 persen dari tahun 2013, atau bisa dikatakan sebagai yang paling sedikit sejak tahun 1997.
Walau di musim semi yang paling sering terdengar ialah bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke kereta api, pada kenyataannya cara ini bukan yang terbanyak untuk dilakukan di negeri Sakura. Menurut WHO, mayoritas kasus bunuh diri di Jepang ialah dengan gantung diri. Apapun alasannya, bukankah sebaiknya musim semi orang-orang Jepang diliputi perasaan bahagia karena cuaca sudah mulai menghangat? Bukankah seharusnya hati pun turut ceria karena di jalanan akan ada banyak bunga yang bermekaran? Tapi nyatanya, justru di bulan inilah banyak orang nekat menghabisi nyawa karena sudah merasa tak nyaman dengan kehidupan.