Pernikahan merupakan komitmen sakral yang diharapkan bisa berlangsung selamanya. Generasi masa kini tampaknya jauh lebih hati-hati memandang pernikahan dan memilih menikah di usia yang lebih matang, dibanding generasi sebelumnya. Berbagai alasan dari karier sampai idealisme, disebut sebagai faktor pendorong untuk menunda pernikahan. Namun bahkan di zaman seperti ini, justru masih ada anak-anak di bawah umur yang dipaksa oleh orangtua maupun kulturnya untuk menikah di usia muda.
Bukan pernikahan dini yang berakhir bahagia seperti cerita-cerita sinetron, tapi pernikahan anak di bawah umur yang menyalahi semua kode etik, prinsip HAM, dan juga aturan hukum. Global Citizen melaporkan bahwa salah satu negara yang angka pernikahan ‘dini’-nya sangat memprihatinkan adalah Ethiopia. Baru-baru ini, sebuah kisah yang sangat menyedihkan dan sulit dinalar menyeruak ke permukaan. Saat ini, remaja Ethiopia bernama Bayush sedang mengejar mimpinya untuk jadi seorang dokter. Tapi dia menyimpan rahasia yang sangat mengejutkan. Bayush sudah menikah di usia 3 tahun dan jadi janda pada usia 7 tahun. Ini kisahnya…
ADVERTISEMENTS
Bayush dipaksa menikah ketika masih balita. Bahkan di usia 8 tahun, dia sudah dipersiapkan jadi ibu rumah tangga sepenuhnya
Bayush berasal dari sebuah desa di daerah Amhara, Ethiopia. Pada umur 3 tahun, dia dinikahkan dengan seorang pria. Namun tak banyak yang bisa dia ingat soal pernikahannya. Ya, memangnya apa yang bisa diingat oleh seorang anak berumur 3 tahun? Saat itu, kita barangkali masih mengompol di celana dan belum lancar berkata-kata.
“Aku masih sangat muda saat menikah. Tidak banyak yang kuingat. Aku ingat orang-orang datang membawa hewan ternak (mahar) dan mengatakan bahwa itu milikku. Tapi aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi.“
Setelah pernikahan, Bayush masih tinggal di rumah orang tua. Sesekali suami dan keluarganya berkunjung ke rumah. Sesuai tradisi, Bayush akan pindah ke tempat suaminya dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya saat usianya 8 atau 9 tahun.
ADVERTISEMENTS
Seiring bertambah usia, Bayush tahu dia berhak mendapat pendidikan. Keinginannya menyadarkan keluarga untuk mengakhiri pernikahan yang tak seharusnya
Kita tentu tak bisa bayangkan seorang anak-anak dibawah 10 tahun sudah berstatus istri atau suami. Memangnya mereka sudah paham bagaimana sebuah rumah tangga berjalan? Memangnya mereka tahu apa itu pernikahan? Nasib Bayush mulai berubah di usia 7 tahun. Saat itu dia mengungkapkan keinginannya untuk sekolah. Sang Ayah jelas menolak, sebab dia seharusnya jadi ibu rumah tangga. Atas intervensi sang kakak yang bersedia membiayai sekolahnya, ayah Bayush akhirnya luluh.
Di usia 7 tahun, Bayush mengakhiri pernikahannya dan resmi menjadi janda untuk mengejar cita-cita.
“Sekarang Ayah mendukungku, dia berada di sisiku. Dia berkata bahwa dia pasti menghancurkan hidupku jika dia memaksaku tetap menikah.”
Saat ini, Bayush menjadi salah satu penerima dana bantuan dari yayasan di United Kingdom, Finote Hiwot. Bayush juga sering menghadiri pertemuan dan seminar untuk mengkampanyekan soal pencegahan pernikahan anak-anak. Bahkan, Bayush berusaha mempengaruhi paman-pamannya sendiri untuk tidak menikahkan anaknya dengan paksa, apalagi di usia belia.
ADVERTISEMENTS
Lain lagi cerita dari Selena. Menikah di usia 13 tahun, gadis ini merasa malam pertamanya bagai neraka
Masih di Ethiopia, ada juga cerita dari Selena yang menikah di usia 13 tahun. Selena mengaku tidak tahu bahwa dia akan melalui malam pertama di malam itu juga. Di usia 13 tahun, Selena belum tahu apa-apa soal hubungan suami istri. Tapi selepas resmi menikah, kerabat dan teman-teman suaminya terus mengompori. Lalu malam pertamanya berjalan seperti neraka. Selena tak mengerti apa yang terjadi karena dia masih terlalu kecil. Satu yang diingat Selena adalah tentang rasa sakit yang dia alami.
“Pendamping pria dan seluruh kerabat sangat bahagia bahwa saya seorang perawan, saya kesakitan, saya menjerit — itulah poin penting dari keseluruhan pernikahan.”
ADVERTISEMENTS
Tak harus jauh-jauh ke Ethiopia untuk merasa prihatin akan hal ini. Menurut UNICEF, pernikahan anak-anak di negeri kita Indonesia juga tergolong tinggi
Kita tentu masih ingat kasus Syekh Puji, seorang pemuka agama berusia 43 tahun yang menikahi anak usia 12 tahun. Lalu belum lama ini muncul kabar menghebohkan dari Sulawesi Selatan. Seperti yang diulas Liputan6, sebuah pernikahan digelar untuk anak laki-laki berusia 13 tahun dan anak perempuan usia 14 tahun. Dalam foto pernikahan yang beredar, kedua mempelai memasang ekspresi datar. Kita yang melihat tentu bertanya-tanya, bagaimana orang tua bisa memberi izin dan bagaimana mereka menjalani rumah tangga kelak.
Di Indonesia, kasus pernikahan anak-anak kerap kali terjadi dengan berbagai alasan. Masa kanak-kanak yang harusnya dijalani sebagai anak-anak dengan bermain dan belajar, justru dilalui sebagai istri atau suami dan juga ibu. Seperti yang terjadi di Bandung, kisah seorang anak berusia 13 tahun melahirkan bayi membuat miris dan sedih. Segudang risiko kesehatan yang mengerikan dia hadapi, saat seharusnya dia masih asyik mengenyam sekolahan sambil ngidolin artis Korea.
Yap. Anak-anak melahirkan anak-anak.
ADVERTISEMENTS
Banyak faktor kenapa anak-anak dinikahkan. Mulai dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, hingga kemiskinan yang butuh jawaban
Tidak bisa dipukul rata, tapi minimnya pendidikan menjadi faktor penting kenapa pernikahan anak-anak sering terjadi. Pernikahan di usia belia lebih banyak terjadi di desa-desa daripada di kota. Kita tahu bahwa pendidikan di Indonesia masih begitu timpang, sehingga bagi masyarakat desa bahkan sulit mengetahui informasi bahwa pernikahan belia bisa berbahaya. Selain itu, ekonomi juga jadi faktor yang penting.
Di beberapa kasus, pernikahan anak terjadi karena pergaulan kebablasan akibat minimnya pendampingan orang tua dalam masa pertumbuhan. Seperti yang terjadi di dua desa di Lombok Timur, lebih dari 300 anak ditinggal orang tua untuk bekerja di luar negeri. Di sana pula, pernikahan anak lumayan marak. Soal tekanan sosial juga tak bisa diabaikan. Budaya timur seringkali mendukung pernikahan dilakukan segera. Bagi yang belum menikah padahal sudah cukup usia, siap-siap disiksa dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’ yang keramat itu.
ADVERTISEMENTS
Banyak alasan kenapa anak-anak tak seharusnya dinikahkan. Tak hanya soal kesiapan mental, melainkan juga dari sisi kesehatan
Dari sisi kesehatan, pernikahan anak berbahaya terutama kepada anak perempuan. Sebab sebuah kehamilan memerlukan tubuh yang matang dan siap, tidak bisa asal saja. Melahirkan di usia belasan memiliki risiko kematian yang berlipat-lipat lebih tinggi daripada yang sudah matang. Sementara bayi yang dilahirkan oleh ibu di bawah umur memiliki risiko kematian dua kali lipat lebih tinggi daripada yang dilahirkan oleh ibu yang usianya sudah matang. Karena ini juga, angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia masih sangat tinggi.
Selain itu, pernikahan anak juga menghalangi akses pendidikan. Setelah menikah tentu mereka tidak bisa lagi sekolah, sehingga semakin sulit untuk mengejar kesejahteraan untuk keluarga.
Secara hukum, usia minimal menikah adalah 16 untuk perempuan dan 19 tahun untuk pria. Namun nyatanya yang belum cukup umur pun masih bisa menikah dengan mudah
Secara hukum, berapa sih usia minimal untuk menikah? Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, di Indonesia usia legal pernikahan adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan. Terlalu muda? Jelas. Itu belum seberapa, karena bila mempelai belum cukup usia secara hukum, mereka masih bisa menikah dengan mengajukan dispensasi di pengadilan. Peraturan mengenai pernikahan agaknya masih teramat longgar di Indonesia, sebab semuanya masih bisa dikompromikan.
Sekitar tahun 2014 lalu, Yayasan Kesehatan Anak Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak mengajukan revisi Undang-undang kepada Makhamah Konstitusi untuk menaikan usia minimum pernikahan menjadi 18 tahun untuk anak perempuan. Namun tuntutan ini ditolak karena berbagai alasan.
Bila benar-benar diatasi, barangkali menghentikan pernikahan anak-anak ini bisa turut menyelesaikan berbagai persoalan lain. Misalnya meredam populasi penduduk, peningkatan kualitas pendidikan, dan dengan begitu meningkatkan kesejahteraan warga. Karena itu sudah sepatutnya pernikahan anak-anak dijadikan masalah yang diberikan solusi. Sehingga anak-anak tetap menjadi anak-anak, tidak “dipaksa” untuk mengurus anak.