Pada awal tahun 2016 yang lalu, Kementerian Sosial atau Kemensos mencatat bahwa masih ada kurang lebih 57 ribu warga Indonesia dipasung karena mengalami gangguan jiwa. Alih-alih mencari bantuan medis yang sepatutnya, banyak penderita gangguan jiwa dipasung dan diasingkan oleh anggota keluarganya sendiri. Disamping tidak benar-benar menyelesaikan permasalahan medis penderita, pemasungan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang harus segera diberantas di negeri ini. Maka dari itu program Indonesia Bebas Pasung dicanangkaan oleh Kemensos.
Program ini sebenarnya ditargetkan akan terwujud di tahun 2017. Namun beberapa waktu lalu, Menteri Sosial Kholifah Indar Parawansa menuturkan bahwa target tersebut akan diperpanjang hingga tahun 2019. Untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pasung 2019, dibutuhkan upaya berkesinambungan dari berbagai pihak. Termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum terhadap peliknya masalah ini di Indonesia.
ADVERTISEMENTS
Indonesia Bebas Pasung dicanangkan supaya masyarakat Indonesia mengedepankan perawatan medis untuk penderita gangguan jiwa, bukan pemasungan
Program atau gerakan ini sejatinya sudah dicanangkan sejak 2014 silam, bersamaan dengan target Indonesia bebas anak jalanan dan lokalisasi yang juga ditargetkan pada tahun 2019 mendatang. Tim gabungan yang terdiri dari terdiri dari Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Jiwa, Dinas Sosial, dan Dinas Pendidikan, dibentuk di tiap kabupaten dan atau provinsi. Gerakan ini fokus pada penderita gangguan jiwa yang juga mengalami pemasungan. Penderita gangguan jiwa sebenarnya perlu ditangani dengan tenaga ahli. Karena itulah, pemasungan tak perlu dilakukan. Agar benar-benar terealisasi, agaknya butuh bantuan dari seluruh masyarakat luas. Supaya rajin melaporkan jika mengetahui kasus pemasungan yang ada di sekitar.
ADVERTISEMENTS
Berdasarkan data yang dihimpun Kemensos, terdapat 400 ribu penderita gangguan jiwa di Indonesia. 57 ribu diantaranya mengalami pemasungan
Terang saja angka ini sangat memprihatinkan. Mengacu pada data yang sama, prevalensi gangguan jiwa berat macam schizophrenia ialah 1,7 per 1000 orang penduduk. Sebagaimana dilansir Republika, kasus terberat ada di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Di Jawa Timur saja ada 1000 kasus lebih. Sementara itu, angka pemasungan di pedesaan sebesar 18,2 persen. Memang lebih tinggi dibandingkan angka pemasungan di perkotaan yang hanya 10,7 persen. Bukan hanya ‘asal’ gerakan, namun kebijakan ini juga harus ditunjang oleh sarana, prasarana, dan sumber daya yang mumpuni di bidang kesehatan jiwa seluruh Indonesia. Bukan begitu?
ADVERTISEMENTS
Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa, dimana lebih dari separuhnya berlokasi di empat provinsi. Melihat tingginya angka penderita dan pemasungan, jumlah itu jelas tidak mencukupi
Mirisnya lagi, hanya 30% dari 9000 puskesmas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 dari total 445 rumah sakit umum di Indonesia yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa. Jangan pula bertanya soal tenaga kesehatan jiwa, jumlahnya masih minim sekali. Hanya ada 600 hingga 800 psikiater di seluruh Indonesia. Itu berarti, seorang psikiater akan menangani 300 ribu hingga 400 ribu orang. Sebaran geografisnya jelas timpang alias tak merata. 70 persennya berada di Jawa, dan 40 persen dari jumlah itu bekerja di Jakarta. Tidak mengherankan sih kalau jumlah pemasungan, terutama di daerah-daerah pelosok terus meningkat.
ADVERTISEMENTS
Masih ada dua tahun lagi untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pasung. Tapi apakah waktu itu cukup menyelesaikan semua masalah, dari kurangnya prasarana sampai kesadaran masyarakat yang masih kurang
Pembebasan Indonesia dari pasung memang mundur dua tahun dari target awal. Hal ini terjadi lantaran kasus pemasungan sendiri sulit terungkap atau terdeteksi. Masih banyak keluarga yang menutup-nutupi persoalan ini. Mereka lebih memilih menyembunyikan penderita dibanding mengobati. Ada yang dipasung dalam arti sebenernya seperti meletakkan kaki pada balok kayu, ada yang tangan kakinya dirantai, ada pula yang ‘dipasung’ dengan membatasi gerak fisiknya, yaitu dengan dikurung atau dikerangkeng di sebuah ruangan (yang seringkali tak layak) di rumahnya. Mereka buang hajat, makan, dan tidur di tempat yang hanya berjarak tak lebih dari satu atau dua meter.
ADVERTISEMENTS
Pemasungan dilakukan karena takut si penderita melakukan tindak kekerasan. Padahal, justru ‘pelaku’ pemasungan-lah yang melakukan tindakan yang kurang manusiawi
Kebanyakan ‘pelaku’ dari kasus pemasungan ini adalah keluarga dari si penderita gangguan jiwa itu sendiri. Keluarga penderita pada umumnya tidak paham apa yang sebaiknya mereka lakukan terhadap para penderita. Keluarga juga khawatir jika yang bersangkutan nantinya melakukan tindakan merusak atau bahkan kekerasan kalau sakitnya itu kambuh. Faktor keterbatasan ekonomi juga jadi faktor penting kenapa penderita tidak dilarikan ke rumah sakit jiwa.
Padahal, pada 2011 silam, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang menjamin hak setara dengan ‘orang normal’ lainnya. Pada pasal 14 disebutkan, “keadaan disabilitas tidak boleh menjadi alasan pembenaran dilucutinya kebebasan”. Maka dari itu pemasungan sebenarnya bisa diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk pelanggaran HAM
ADVERTISEMENTS
Program elektronik pasung, e-pasung yang diciptakan oleh Dinsos Jawa Timur akan jadi program acuan untuk diikuti daerah-daerah lain
Program e-pasung ini dirancang untuk mampu mendeteksi siapa dan di mana serta seperti apa kondisi penderita, termasuk sudah pernah dipasung atau belum. Pemerintah optimis, e-pasung bisa efektif memudahkan menemukan kasus gangguan jiwa berat dengan pemasungan dan mengintervensi rencana lanjutannya. Ya, data pasung secara online ini berguna untuk verifikasi data. Masalah yang sering jadi kendala selama ini adalah data yang diterima Dinas Sosial Provinsi seringkali berbeda dengan data Kabupaten/Kota. Program ini mulai dilakukan di berbagai provinsi pada 2017 ini. Data dilaporkan oleh ratusan relawan kesejahteraan sosial yang tersebar di masing-masing kecamatan.
LSM Human Rights Watch (HRW) juga menyebutkan, anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2015 ialah 1,5 persen dari total APBN. Dari anggaran tersebut, pengeluaran untuk kesehatan jiwa seakan-akan terabaikan. Artinya, ada kesenjangan lebar dan belum terpenuhinya berbagai layanan kesehatan jiwa. Kalau ini diteruskan, bagaimana program Indonesia Bebas Pasung 2019 akan terwujud? Padahal pasca melepaskan pasung si penderita, penanganan pasca pasungnya jauh lebih penting lagi. Ya, alokasi dana untuk perawatan pasca pasung memang harus diadakan. BPJS saja tak bisa membiayai sakit jiwa ini ‘kan?