Privilege: Haruskah Dikutuk atau Justru Dirayakan?

privilege

Seorang remaja perempuan harus naik turun gunung dari rumah ke sekolahnya setiap hari. Sepatu bututnya sudah berkali-kali ia tambal. Ayahnya yang harus menghidupkan sebelas anak, tak punya banyak uang untuk membeli sepatu baru tiap tahun. Sepatu butut tadi pun, adalah warisan dari kakak-kakaknya.

Anggap namanya Rani. Saat kawan-kawannya bisa bebas belanja makanan ketika jam istirahat, ia hanya bisa duduk di kelas. Mengintip sesekali ke kantin, sambil menyiapkan bukunya untuk pelajaran berikutnya. Rani kerap membatin, kapan ya bisa jajan di warung sekolah? Nasi dengan lauk taburan sedikit garam – dan sesekali telur rebus yang cuma sepertiga, atau sesendok kecil ikan teri, adalah pelipur lara bagi Rani.

Itu ia lakukan sepanjang SD hingga SMA. Baru saat akhir SMP, ia sesekali berjualan di sekolahnya. Uangnya untuk membeli pulpen, alat sekolah, atau garam agar ia bisa makan dengan nasi di rumah bersama adik-adiknya.

Sepulang sekolah, ia harus naik turun lagi perbukitan yang sama, untuk mengambil air dengan adik-adiknya. Masing-masing mereka, membawa dua jerigen bervolume lima liter. Ia dan keluarganya tinggal di pinggang gunung, sehingga mengambil air harus turun jauh ke bawah dekat masjid.

Mereka lakukan aktivitas itu setiap hari, saat anak-anak yang lain bisa bermain sepulang sekolah. Setelah kembali membawa air, Rani pun harus membantu mengurus adik-adiknya, dan lanjut berjualan. Hal seperti ini, membuat Rani punya semangat (spirit) dan ketangkasan (agility) dibanding teman-temannya. Ya mau tidak mau. Jika tidak, ya tidak bertahan hidup.

Privilege: Haruskah Dikutuk atau Justru Dirayakan?

sebagian anak harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan | ilustrasi: Hipwee

Seorang guru yang baik hati, akhirnya memberikan Rani tempat untuk tinggal di rumahnya. Ini membuat Rani tak perlu jauh-jauh lagi pulang pergi. Ia jadi punya lebih banyak waktu untuk belajar. Tentu ia harus mau bantu-bantu di rumah gurunya, mengurus hal-hal domestik sambil menyiapkan ujian.

Dampaknya, Rani jadi lulusan yang cemerlang dan diterima di sebuah universitas negeri. Rani wisuda, kemudian puluhan tahun menjadi guru yang baik untuk murid-muridnya. Rani yang dulu hampir tak punya hak istimewa (privilege) telah berhasil menjadi pabrik sendok perak dan emas untuk banyak anak didiknya, juga untuk anak-anaknya.

ADVERTISEMENTS

Privilege Saja Tidak Cukup

Rani muda kemudian menikah, memulai tinggal di rumah petak yang kecil. Bersama suaminya, ia terus bekerja puluhan tahun. Perlahan, mereka berhasil meloncat jadi keluarga yang hidupnya lebih baik dari sisi ekonomi. Dari petak kecil itu, dari rumah berlantai tanah di kampung halamannya dulu, kini Rani punya rumah dengan lantai penuh keramik, sambil menanti masa-masa pensiunnya.

Saat anak-anak Rani masuk sekolah, mereka tak lagi perlu merasakan kepahitan yang dulu dilalui ibu mereka. Kalau pun ada, tentu kepahitan dan tantangannya sudah berbeda.

Ada privilege yang anak-anak Rani dapat, begitu menginjakkan kaki di sekolah. Sehingga tak perlu lagi memikirkan bagaimana membeli pulpen, tetap bisa ikut jajan dengan teman-teman di jam istirahat meski tak banyak, juga langsung tinggal minum air dari dispenser di rumah. Meskipun anak-anak Rani tetap harus berjalan kaki menuju bis sekolah, mereka setidaknya bisa punya sepatu baru sekali satu atau dua tahun.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Strategic Consultant, Creative Development & Penulis Novel. (@JS_Khairen)

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi