Kita memang punya kebebasan buat menentukan pilihan warna setiap benda yang kita miliki; pakaian, alat elektronik, tembok kamar, sampai warna rambut. Tapi ada warna tertentu, seperti pink, yang dianggap kurang cocok kalau dipakai/dimiliki laki-laki, karena warna itu image-nya feminin. Begitu juga sebaliknya, warna yang selama ini dianggap ‘macho’, seperti biru, dianggap kurang tepat kalau dipakai sama perempuan.
Di Denmark, ada orangtua yang gemes sama sebuah daycare karena salah satu pegawainya berkomentar sexist. Ia minta Steve dan Jessica mendandani anak mereka lebih feminin. Alasannya biar lebih mudah dikenali. Bayi perempuan mereka memang jarang dipakaikan bando atau atribut lain yang kecewek-cewekkan. Menanggapi hal ini, Jessica memutuskan untuk menempel kertas bergambar pita ke kepala anaknya, ya cuma buat bercandain aja gitu. Soalnya menurut mereka, selama bayi nyaman sama apa yang dipakai itu nggak masalah. Jadi bukan warna atau pattern yang harus diperhatikan, melainkan kenyamanan.
Hmm, fenomena yang menarik sih.. Yuk, bahas lebih jauh bareng Hipwee News & Feature!
ADVERTISEMENTS
Asumsi “biru buat cowok” dan “pink buat cewek” itu sebenarnya udah ada sejak lama, yang mana sampai sekarang masih aja relevan dijadikan ‘pegangan’
Awal mula kenapa pink bisa dikonotasikan sebagai warna cewek itu katanya gara-gara pas zaman Perang Dunia II ada ibu negara Amerika, Mamie Eisenhower, yang suka banget sama warna pink. Hampir semua barang yang dipakai warnanya pink. Sebagai wanita nomor satu, wajar kalau kemudian fashionnya diikuti banyak orang. Yang ngikutin tentu aja para wanita. Mungkin cowok-cowok kalau waktu itu ngikutin Eisenhower bakal diledekin kali ya?
ADVERTISEMENTS
Padahal kalau dipikir-pikir, mau cewek pakai warna biru, atau cowok pakai warna pink, nggak akan menimbulkan dampak serius juga bagi mereka. Maksudnya yang sampai mencelakai gitu
Memangnya apa sih efek berbahaya yang ditimbulkan kalau kedua warna –biru dan pink– ini ditukar? Misal cewek pakai biru, cowok pakai pink. Cewek dan warna biru mungkin bukan masalah besar ya, yang bakal jadi masalah bagi kebanyakan orang tuh kalau cowok pakai pink. Pasti mikirnya udah yang nggak-nggak, yang dibilang lemah lah, kurang macho lah, sampai banci. Ya padahal ‘kan kalau cuma masalah warna aja nggak bakal bikin orang gatel-gatel atau mendadak sakit. Ini tuh cuma masalah persepsi kurang tepat aja yang mirisnya udah berlangsung sejak lama. Jadi mau dihilangkan ya susah, cyin~
ADVERTISEMENTS
Meskipun kalau dipikir secara logis nggak berbahaya, tapi orangtua tuh kayak udah otomatis bakal beliin anak ceweknya serba pink dan anak cowoknya serba biru. Mungkin karena insecure aja sama persepsi orang-orang
Karena persepsi turun temurun inilah yang kemudian bikin para orangtua baik zaman old maupun zaman now, kayak udah otomatis gitu lho beliin anak perempuannya serba pink, dan anak laki-lakinya serba biru. Banyak juga yang bahkan anaknya belum lahir aja kamarnya udah dicat sesuai jenis kelaminnya. Bisa jadi mereka insecure sama persepsi orang-orang. Takut dibilang menjerumuskan anaknya ke hal-hal yang nggak pada tempatnya lah, atau dituduh bikin anaknya dibully. Ya bayangin anak cowok ke sekolah pakai tas pink aja sebenarnya ngeri juga, pasti mereka bakal diketawain, terus besok-besok nggak mau sekolah, yang repot emak bapaknya ‘kan…
ADVERTISEMENTS
Ternyata fenomena ini erat kaitannya sama color marketing lho. Jadi emang ada unsur kesengajaan perusahaan-perusahaan zaman dulu buat mempoduksi barang sesuai warna gender, biar laku
Nah, ternyata kebiasaan Eisenhower kayak yang udah dijelaskan di atas, yang memicu membludaknya wanita pecinta pink, semakin diperkuat sama strategi color marketing yang marak tahun 1980-an. Jadi waktu itu banyak perusahaan Amerika yang menciptakan tren pembagian warna berdasarkan gender –pink buat perempuan, biru buat laki-laki– sebagai strategi pemasarannya. Mulai dari baju, mainan, sampai keperluan sekolah, semua dibedakan. Sampai sekarang doktrin ini jadi kayak sulit dihilangkan. Karena persepsi orang tentang pembagian warna ini udah mengakar kuat, jadinya ya mereka bakal beli barang sesuai gender. Semacam lingkaran yang nggak bisa putus ya jadinya…
Kalau melihat fakta-fakta di atas, mungkin bisa dibilang selama ini kita emang cuma kemakan strategi marketing perusahaan aja ya? Bisa jadi kalau tahun 1980-an nggak ada perusahaan yang memulai tren itu, warna-warna di zaman kita sekarang bakal bisa lebih general. Nggak ada warna yang dinilai lebih feminin atau lebih macho. Semua rata. Hmm, menurutmu perlu nggak sih pembagian warna berdasarkan gender gitu?