Kenapa bayi sapi bisa langsung berjalan begitu lahir, sementara manusia tidak? Apa rahasia sebuah pohon agar tidak tumbang? Padahal sebatang pohon hanya bermula dari benih yang amat kecil. Bisakah kita sebagai manusia biasa-biasa saja untuk tidak tumbang dalam mengarungi kehidupan? Sepahit apa juga hal-hal nyebelin yang kita alami?
Jawabannya ada pada gen dan DNA. Tumbuh-tumbuhan dan hewan, menyimpan milyaran informasi dalam gen mereka sejak masih benih. Informasi itulah yang mereka pegang teguh, untuk menjalani kehidupanya. Begitu juga manusia. Masalahnya, kita suka lupa potensi diri yang sudah ada cetak birunya hingga ke level gen kita.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Kalau Dia Bisa, Kenapa Harus Saya?
Ada istilah lucu-lucuan netizen, yang kadang saya sendiri pun suka menggaungkannya yaitu, “Kalau dia bisa, kenapa harus saya?” atau “Kalau dia bisa, ya syukurlah. Saya sih, gak bisa juga gapapa.”
Tapi bagaimana kalau ternyata, gen kita sebagai manusia mengatakan kalau kita memang bisa mengoptimalkan potensi diri kita? Keluar dari situasi-situasi pahit? DNA kita memang menyimpan informasi yang memungkinkan, agar kita tidak hanya menjadi manusia rata-rata. Setidaknya, ya bisa hebat di satu hal lah?
Saya mengutip dari Kazuo Murakami, seorang profesor emeritus Universitas Tsukuba. Lewat penelitiannya terhadap gen dan DNA, beliau mengatakan; apa yang tak tertulis dalam gen, tidaklah mungkin kita lakukan meski orang jenius sekalipun yang berusaha. Sebaliknya, jika sesuatu itu tertulis dalam gen, maka orang biasa pun punya kemungkinan untuk menyalakan kemampuan potensialnya.
Kazuo Murakami kemudian mengartikan bahwa, kita manusia punya potensi untuk melakukan atau mencapai sesuatu yang kita inginkan, bahkan kita pikirkan. Kemampuan ini bukanlah hal baru, melainkan sifat yang sudah manusia miliki sebelumnya, lewat warisan gen ratusan ribu tahun. Masalahnya, gen itu perlu kita nyalakan tombolnya.
Sah saja, jika kita bicara gue sih gak harus bisa semua hal keren. Itu betul juga. Fokus adalah mengatakan tidak pada banyak hal hebat, kata Alfatih Timur, CEO kitabisa.com. Orang-orang yang kemudian fokus di satu arena saja, khususnya saat awal-awal karir, malah mampu membentangkan banyak peluang di kemudian hari.
Tapi mari bertanya pada diri sendiri, apakah di satu-dua arena itu kita sudah maksimal? Kalau belum, apakah ini tidak mengkhianati gen kita sendiri?
Lebih lanjutnya Kazuo mengatakan bahwa, dalam diri kita ada tombol on-off untuk potensi diri ini. Faktor yang bisa membuatnya menyala adalah keinginan diri yang sungguh-sungguh, alias bukan wacana saja. Latihan dan membangun habit. Hingga dorongan orang lain, atau pengaruh lingkungan sekitar.
Maka benarlah adanya kata pepatah yang sering kita dengar, bahwa berteman dengan maling, ada kemungkinan kita jadi maling. Sementara berteman dengan tukang parfum, kita jadi ikutan wangi.
Tombol On-Off
Saya jadi ingat cerita masa kecil.
Di kampung kami, apabila ada sapi yang melahirkan, orang-orang akan berbondong-bondong untuk menontonnya. Saat sapi itu keluar dari rahim induknya, ia langsung bisa berdiri, berlari patah-patah, bahkan langsung bisa memakan rumput. Tombol on langsung menyala saat sapi itu lahir. Begitu juga sebatang pohon. Bahkan tombolnya selalu menyala, agar akar-akarnya terus mencengkeram tajam ke tanah, supaya pohon tidak roboh.
Lantas, apa yang membuat manusia tidak bisa? Kalau untuk seperi sapi dan pohon, tentu kita tidak punya. Perkembangan gen, otak, dan organ-organ berbeda. Manusia bahkan dikatakan baru sempurna otaknya saat usia 25 tahun, mungkin ini juga penyebabnya sering muncul istilah quarter life crisis.
Kembali ke tombol tadi. Jadi, kita tidak punya tombol itu seperti sapi dan pohon. Lalu tombol apa yang kita punya?
“Kalau tangan sudah sampai telinga, berarti kamu udah gede!” Kita sering mendengar ini saat kecil, sebagai indikator kita sudah besar atau belum.
“Wah aku sudah sampai telinga, kamu belum. Berarti aku udah besar, kamu main sana sama anak-anak aja sana. Syuh, syuh.” Canda kita pada teman-teman saat SD-SMP. Tapi apakah ada anak sapi yang seperti itu ketika bersama teman-temannya? Atau ada pohon yang bilang “Wah saya sudah bisa berbuah, kamu belum, pergi sana. Tumbang saja!”
Lalu kapan kita punya tombolnya, untuk memaksimalkan potensi kita? Atau, momen seperti apa yang membuat kita tiba-tiba seperti mendapat dorongan hebat sehingga tombolnya menyala?
Inilah yang kita sering abaikan. Bahwa dalam cetak biru kita, tombol untuk berbuat sesuatu yang besar itu sebetulnya ada. Banyak pakar
Kita Belajar Sejak Kecil, Saat Dewasa Tidak Lagi
Nyatanya, kita sudah belajar menyalakan tombol itu sejak sekolah. Namun, begitu tamat sekolah, dapat gelar dapat ijazah, sering pula kita artikan sebagai tamat dalam belajar.
Mungkin kita ingat masa-masa deadline menyerahkan skripsi. Atau saat harus Ujian Nasional. Kita seperti dapat kekuatan tertentu meski awalnya mengira kalau itu mustahil. Atau untuk pekerjaan-pekerjaan, pencapaian-pencapaian kecil, yang membahagiakan. Kita mengira itu jauh sekali, tapi nyatanya bisa.
Tidak ada salahnya punya ambisi. Sesuatu yang terencana langkah-langkahnya, jelas visinya, ya itu adalah impian. Apa lagi jika kita penuh strategi. Sementara ambisi yang hanya ambisi-ambisi saja, nah itu baru ‘jebakan ambisius’ namanya. Hati-hati, jebakan ini bisa membutakan.
Lalu bicara tombol lain. Soal membangun habit. Seorang dokter ahli bedah kosmetik bernama Dr. Maxwell Maltz mengatakan, butuh 21 hari setidaknya bagi kita, untuk memasterkan sebuah habit baik (maupun buruk) dalam diri kita. Jika begadang terus, ya akan lama sekali kita jadi pegadang handal. Jika scroll dan nyinyir terus selama 21 hari, maka boleh jadi separuh lebih hidup kita akan terjebak di habit itu.
Manusia ternyata memilih tombol on-offnya sendiri sepanjang hidup. Termasuk untuk impian, kebahagiaan, bahkan juga jodoh. Saya pun kaget saat membaca hasil penelitian Kazuo, bahwa ada data tertentu yang kita simpan dalam gen, kita akan punya ketertarikan pada lawan jenis seperti apa.
“Wah, kayak ibu kamu dong, guru. Emang ya, cowok tuh nyari pasangan kayak ibunya.” Canda mentor saya, Profesor Rhenald Kasali saat pertama kali memperkenalkan calon istri pada beliau.
Lalu bagaimana dengan tombol on-off lingkungan yang mendukung? Nah kawan, saya akan menutup tulisan ini dengan ucapan Imam As Syafi’i. Bepergianlah, kau akan mendapat ganti orang baru yang kau tinggalkan.
Ini bisa kita maknai dengan, keluarlah dari lingkaran yang tak mendukung. Teman-teman yang menjatuhkan. Ruang-ruang gema yang menyakitkan. Kelak, akan terganti dengan orang-orang baru, yang siap mendukungmu, memeluk impianmu, dan tentunya ikut bertepuk tangan saat kau berhasil dalam hidup.
Salam.
J.S. Khairen.