“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu”
Ya, sederhana adalah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Sapardi Djoko Damono. Produktif berkarya sejak tahun 60-an, membuat saya yang baru mengenal karya beliau pertengahan tahun 2014 sungguh merasa “telat”. Alasannya sederhana saja: sebelum merantau saya nggak begitu suka membaca. Gairah pada buku yang muncul pasca “meninggalkan” teman-teman di kampung halamanlah yang kemudian mengantar saya berkenalan dengan karya penulis hebat seperti Sapardi.
Sejauh penelusuran saya, Sapardi adalah sosok besar di dunia sastra Indonesia. Tercatat beliau pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta sekaligus duduk di bangku redaksi majalah sastra Horison pada tahun 1973, menjadi Sekeretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta, hingga mendirikan organisasi profesi kesastraan bernama Himpunan Sarjana Kesusastraan Indoneisa (Hiski) pada 1988. Bukti dedikasinya terhadap dunia sastra bisa pula dilihat dari penganugerahan berbagai penghargaan dan hadiah sastra dari dalam dan luar negeri.
ADVERTISEMENTS
Hujan Bulan Juni yang populer di media sosial pada bulan keenam kalender masehi
Seperti mungkin kebanyakan anak muda seumuran saya, perkenalan pada karya Sapardi bermula dari puisi berjudul ‘Aku Ingin’ dan ‘Hujan Bulan Juni‘. Keinginan membaca penuh dua judul tersebut muncul tatkala petikan bait “tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan juni” ramai diunggah di media sosial setiap bulan keenam kalender masehi ini tiba. Cukup mantap dengan itu, saya lalu membaca puisi lainnya. Kesan nyaris mengumpat saking terpukaunya dengan tulisan Sapardi muncul setelah membaca puisinya yang berjudul ‘Mata Pisau’.
“mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu”
Kecenderungan mengutak-atik kata hanya demi keindahan kalimat pun, seketika runtuh dihadapkan puisi tersebut. Sapardi nggak menggunakan kata-kata indah sama sekali. Ia seakan berkata bahwa pencapaian estetik kalimat bisa didapat dengan kata-kata sederhana, dengan momen keseharian seperti adegan singkat di meja makan yang tentu pernah kita alami.
Nggak menunggu lama, saya gencar berpuisi meniru Sapardi. Berharap bisa menangkap romantisnya bulir hujan yang mampir di kaca jendela, atau daun gugur yang tergeletak di dalam pot. Hasilnya? Teman-teman bilang picisan. Saya sedikit murung sekaligus malu telah besar kepala duluan.
ADVERTISEMENTS
Puisi Sapardi dalam kotak resonansi gitar akustik Ari Reda
Cukup ada jeda dalam menikmati puisi Sapardi setelah usaha menirunya berbuah picisan, hingga kemudian bertemu lagi dengan namanya sebagai penerjemah untuk karya Ernest Hemingway yang berjudul ‘Laki-Laki Tua dan Laut’. Saya jadi makin hormat. Perkenalan dengan karya Hemingway yang mengagumkan ini hanya akan terjadi karena Sapardi menyajikan terjemahan apik!
Nggak berhenti di sana. Saya lalu menemukan album ‘Becoming Dew’ (2007) milik duo Ari Reda berkat rekomendasi seorang teman. Dalam album tersebut Ari Reda menyanyikan 10 puisi Sapardi, yang segera kembali membangkitkan gairah saya padanya. Puisi yang tak jarang liris dinyanyikan dengan indah bermodal pembagian suara dan petikan gitar akustik. Dari salah satu gubahan Ari Reda pula saya menangkap keindahan yang berbeda dalam puisi ‘Buat Ning’. Bagaimana ternyata istilah alih wahana yang sering Sapardi sebut, menggambarkan keberhasilan karyanya. Belakangan puisi tersebut jadi begitu sentimental untuk saya.
“pasti datangkah semua yang ditunggu
detik-detik berjajar pada mistar yang panjang
(barangkali tanpa salam terlebih dahulu)”
ADVERTISEMENTS
Menjadi jenaka untuk dinikmati anak muda masa kini
Fakta bahwa Sapardi piawai meramu kesederhanaan menjadi keindahan, dan produktivitasnya melahirkan karya hingga usia senja sepertinya cukup jadi alasan tunggal untuk mengaguminya. Adalah Jason Ranti yang kemudian melengkapi alasan lain saya mengagumi sosok Sapardi. Dengan gitar kopongnya, Jason Ranti mengalihwahanakan berbagai judul dan petikan puisi Sapardi menjadi sebuah lagu. Hasilnya, lagu yang jenaka dengan plesetan kata dan permainan rima. Karya Sapardi berkelana lebih jauh lagi untuk mampir di telinga anak-anak muda penggemar Jason Ranti, yang barang tentu akan penasaran dengan sosok yang disebut-sebut dalam lagu yang berjudul ‘Lagunya Begini Nadanya Begitu’, sebuah Plesetan dari judul buku ‘Bilang Begini, Maksudnya Begitu’ milik Sapardi.
“oh Pak Sapardi,
kuhanya ingin ngopi dengan sederhana di bulan Juni,
dengan murid cantikmu di UI”
Sebagai pembaca yang masih harus terus belajar, proses menikmati dan memahami karya Sapardi masih terus saya cicil. Nasihat yang sering ia bagikan dan telah jadi satu pegangan para penulis pun akan terus saya patuhi: jangan menulis puisi ketika suasana hati sedang meluap-luap, baik karena kebahagiaan atau kesedihan. Keinginan bertemu langsung untuk menghaturkan terima kasih karena telah menyelamatkan saya dan banyak orang untuk bisa mengutarakan cinta dengan sederhana pun belum terlaksana. Dan hari Minggu tanggal 19 Juli 2020 kemarin, beliau yang masih produktif menerbitkan karya di tengah penyakit tuanya meninggalkan kita semua pada usia 80 tahun.
Hanya terima kasih dan doa yang tak punya tenggat waktu untuk boleh disampaikan yang bisa saya sisipkan lewat tulisan ini, Pak. Terima kasih atas dedikasi yang tulus untuk sastra dan generasi penerusmu. Selamat jalan, Sapardi Djoko Damono. Yang fana itu waktu, karyamu abadi!