Membangun media adalah salah satu pekerjaan termudah di dunia. Tidak ada kesulitan teknis yang berarti. Kamu hanya perlu membeli domain, setting server, isi konten dan voila! Sejak saat itu sudah ada media yang bisa kamu klaim sebagai karyamu. Sebab itu dari awal membangun Hipwee saya tidak pernah merasa apa yang saya kerjakan ini rumit atau merepotkan. Wong ya membangun media itu secara teknis benar-benar gampang.
Perjuangan baru terasa ketika harus bersaing untuk mendapatkan perhatian pengguna. Mampu menciptakan konten bagus sudah tidak lagi cukup. Dalam sehari yang cuma 24 jam ada 300 jam video yang diunggah ke YouTube. Ada ribuan konten yang dipublikasikan. Orang sekarang punya terlalu banyak pilihan untuk mengonsumsi jenis konten yang beragam. Rumus untuk membuat konten yang bagus, menarik, terhubung dengan pengguna dan dibaca banyak orang tidak lagi sederhana dulu.
Rendahnya tingkat keterbacaan konten memang jadi masalah semua media di Indonesia. Karena masalah ini pulalah muncul tren click bait yang mencoreng harkat dan martabat media daring. Media daring dianggap mau melakukan apapun demi membuat kontennya dibuka dan dibaca. Tren jurnalistik online dianggap makin mundur, murahan dan memilih mengorbankan kebenaran fakta demi kecepatan berita dan jumlah klik.
Personalisasi jadi cara yang ditempuh media demi meningkatkan keterbacaan konten mereka. Dengan cara ini konten-konten yang muncul ke linimasa akan disesuaikan dengan jenis konten yang sudah biasa dikonsumsi oleh pengguna. Kalau setiap hari kamu mengakses Hipwee untuk membaca kanal Travel maka konten-konten dari kanal Travel lah yang akan paling sering muncul di halaman utamamu. Mudah saja melakukan ini karena yang perlu dilakukan hanya mengambil data dari history visitmu lalu menyesuaikannya dengan algoritma Hipwee.
Membangun media itu hal yang mudah. Godaan terwajar pemain media adalah bagaimana kita bisa terlihat lebih sophisticated dengan memasukkan unsur teknologi dalam produk yang dibangun.
Selama ini Hipwee memilih untuk tidak mengikuti tren personalisasi dan bertahan dengan konsep kronologikal dalam menyajikan konten. Sekilas, keputusan ini tidak terlihat seksi atau modern. Namun ada tanggung jawab besar yang lebih penting untuk diperjungkan.
Menganut personalisasi konten sama dengan menyajikan konten yang serupa ke orang yang memang sudah punya ketertarikan pada suatu hal. Sayangnya cara ini juga bisa jadi bumerang jika tidak dilakukan dengan kehati-hatian. Bayangkan sebuah gelembung besar yang membuatmu terperangkap — ini bisa terjadi saat seluruh media melakukan personalisasi konten dalam produk mereka.
Seseorang yang selalu mencari berita tentang kenapa Ahok itu buruk akan selalu mendapatkan konten dengan sentimen serupa di halaman utamanya. Jika kamu terdeteksi pendukung Jokowi maka berita-berita yang mengungkapkan kesalahan Kabinet Kerja akan sulit masuk ke daftar pencarianmu. Tidak ada lagi ruang untuk mengkonfrontasi kebenaran. Tidak ada lagi kesempatan untuk mempertanyakan sesuatu yang selama ini kamu anggap ideal.
Membangun Hipwee selama empat tahun ini menyadarkan saya bahwa tidak seluruh kemajuan teknologi bisa membawa kebaikan. Terutama bagi media yang harusnya punya tujuan mengabarkan berbagai kejadian secara seimbang. Toh Hipwee tidak pernah dibangun atas dasar keren-kerenan, bukan juga dibangun untuk jadi software house yang selalu bisa mengikuti tren terdepan.
Jika ada yang bilang bahwa media yang tidak mengikuti tren personalisasi akan mati dalam 5 tahun lagi maka media yang berani tidak mengikuti tren ini adalah media yang punya hati nurani. Hipwee memilih menjadi media dengan nurani demi menemani langkah kalian — sampai nanti.
Tabik,
Nendra Rengganis