Beberapa hari lalu, kasus pengendara sepeda motor yang (diberitakan) menyerobot antrian di tengah kepanikan langka BBM di kota Jogja jadi perbincangan hangat di berbagai media. Mulai media sosial, media elektronik, hingga media cetak lokal dan nasional.
Nama gadis tersebut tersebar dengan jelas tanpa sensor sedikitpun. Bahkan kemudian, berbagai identitas pribadi lain mulai tersebar ke media. Orang se-Indonesia raya kini tahu gadis ini berasal dari mana, menempuh pendidikan di universitas apa — alamat kosnya pun sudah terunggah ke publik.
Kita menghujat gadis ini karena pernah menyebut penduduk salah satu kota dengan “Bangsat”. Maukah kini kita bercermin, menilai diri dengan objektif, kemudian bertanya: “Sebenarnya siapa sih yang bangsat?”
Saat Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi Terbentur Etika
Beberapa hari belakangan, kelangkaan BBM memang melanda kota Yogyakarta. Papan “Maaf BBM Habis” dan “BBM Masih Sedang Dalam Perjalanan” terpampang di hampir setiap SPBU. Akhirnya, masyarakat berduyun-duyun antri di SPBU yang masih menjual BBM. Mereka takut tak kebagian bahan bakar bersubsidi.
Penjagaan aparat dengan senjata laras panjang juga jadi pemandangan yang lazim ditemui. Mungkin untuk mencegah antri BBM menjadi rusuh. Di tengah kelelahan dan kepanikan masyarakat tersebut, muncul berita bahwa ada seorang gadis yang menyerobot antrian. Ditolak oleh petugas SPBU, gadis ini pun menumpahkan kekesalannya via media sosial.
Kata-katanya memang cukup kasar dan menyakitkan. Dia dengan gamblang menyebut warga kota Jogja dengan sebutan “Miskin, Tolol dan Tak Berbudaya”. Dalam status Path-nya, gadis berinisial FS ini merasa tidak terlayani dengan baik. Saat ada seorang teman berinisial N yang menanggapi, ia kembali menambahkan kata “Bangsat” dalam kata-katanya.
Walau Path semestinya jadi media sosial paling privat, status penuh kontroversi ini di-capture dan akhirnya tersebar ke khalayak ramai. Gadis ini dicari. Dihujat. Diminta segera pergi. Diancam akan dipolisikan. Diminta angkat kaki.
Perkembangan Kasus Bergulir Cepat
Tak sampai 3 hari, kasus ini akhirnya sampai ke tangan polisi. Status gadis inisial F ini pun naik, dari sekedar saksi jadi tersangka. Sebuah LSM memperkarakan F dengan tuduhan melanggar UU ITE, menyebar provokasi dan melakukan tindakan pencemaran nama baik.
Bukan hanya kasus hukumnya yang bergulir cepat, aksi bully terhadap F juga terjadi di dunia maya. Jelas, kini kita semua tahu wajah dan institusi dimana F menuntut ilmu. Alamat F juga disebarkan oleh seorang oknum, lengkap dengan ciri-ciri rumah dan kendaraan yang sering digunakan oleh F. Meme F dalam berbagai jenis pun tersebar luas. Mulai dari disebut sebagai “Ratu SPBU Lempuyangan”, hingga “Pasien Rumah Sakit Jiwa Pakem.” (Pakem adalah nama daerah di Jogja yang memiliki satu rumah sakit jiwa terkenal, red.)
Bahkan, ada juga orang yang menge-tag di Facebook dosen-dosen F. Aksi tagging ini kemudian ditanggapi dengan cukup serius oleh institusi tempat F belajar. Dosen yang bersangkutan sampai memperingatkan agar F menjaga lisan.
F sebenarnya telah melakukan klarifikasi, baik melalui akun media sosial-nya (yang kemudian dinon-aktifkan) dan via sebuah radio lokal di Jogjakarta. Namun, permohonan maaf ternyata tidak cukup untuk membuatnya diampuni. Kini F ditahan di ruang Tahanan Direktorat Kriminal Khusus, Ringroad Utara, Sleman, setelah sebelumnya diperiksa dan secara resmi dinyatakan sebagai tersangka.
Mari Kita Bermain Permainan Bernama, “Siapa yang Lebih Bangsat?”
Atas nama kecintaan terhadap daerah, F kemudian jadi bulan-bulanan masa. Identitasnya terlucuti di depan media. Tanpa persetujuan dari yang bersangkutan, orang lain menyebarkan data pribadi F ke khalayak umum. Muka F tidak disensor dalam setiap pemberitaan, plat nomor kendaraan yang digunakan pun tidak dikaburkan.
F bahkan tidak diberikan kesempatan untuk sekedar menutup muka dan menyembunyikan identitasnya. Pertanyaannya, layakkah F mendapat sanksi sekeras ini?
Aksi F di media sosial, menurut hemat penulis, adalah tindakan yang sebenarnya sangat sering dilakukan oleh semua orang tiap harinya. F menggunakan media sosialnya untuk menyampaikan keluhan. Dalam kasus ini, media sosial diibaratkan sebagai corong untuk menyuarakan keberatan yang tidak mampu diungkapkan secara langsung ke yang bersangkutan.
Apa yang membedakan keluhan F dengan keluhan “wajar” kita soal kemacetan, kerusakan jalan, transportasi umum yang bobrok, dan caci maki kita terhadap politisi? Bukankah tiap hari kita juga sering mencaci maki kota yang kita tinggali saat ada hal yang dirasa tidak nyaman terjadi?
Lalu, kenapa kini hanya F yang dipolisikan dan dipenjara? Sementara kita, yang mengaku benar ini, masih bisa dengan bebas mengeluh dan mencaci maki orang di media sosial yang kita punya. Tanpa harus takut dipenjara. Tidak adakah standar ganda yang sedang berlaku di kasus ini?
Pelajaran Berharga: Mari Menyingkir Dari Media Sosial Saat Marah Melanda
Kasus F sebenarnya bukan kali pertama, sebelumnya kasus serupa terjadi saat ada seseorang yang menyuarakan keberatannya terhadap moda transportasi yang menyediakan layanan khusus bagi ibu hamil. Orang ini juga mengalami reaksi yang hampir sama seperti F, ia dihujat di media sosial. Disudutkan dan dinilai berdasar satu tindakannya saja.
Masyarakat kita, uniknya, punya sumbu pendek saat dihadapkan pada opini seseorang di media sosial. Rasa paling benar dan perasaan bisa “lepas tangan” dari konsekuensi aksi yang dilakukan membuat kita lebih ringan mengumbar hujatan.
“Ah ‘kan gak kenal orangnya. Aku maki-maki gak papa, deh.”
Kita sering lupa, bahwa objek makian kita tersebut juga punya nama. Punya kehidupan pribadi yang mungkin hancur karena retweet dan screen capture usil yang kita lakukan. Kemudian, saat sang objek makian sudah mendapat balasan yang dirasa setimpal, tidak ada yang merasa berdosa sudah melakukan tindakan yang membuat kehidupan seseorang hancur karenanya.
Apa yang terjadi pada F bisa jadi pelajaran, mari menyingkir dari media sosial saat sedang dilanda kemarahan. Satu kata cacian yang kita ungkapkan di media sosial bisa berujung panjang. Masyarakat kita masih dengan mudah menilai orang sesuai kata-kata yang diucapkannya di media sosial. Nama baik yang tercoreng dan bahkan pemenjaraan bisa jadi harga yang perlu kita bayar.