“Kenapa harus ada Ujian Nasional? Kasihan anak-anaknya..”
“Skripsi itu harusnya dihapus saja. Tingkat stres karena skripsi gak seharusnya dialami mahasiswa S1.”
Stres dan proses pendidikan Indonesia memang bukan sahabat baik. Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah kita, sebut saja menjadikan Ujian Nasional bukan jadi satu-satunya penentu kelulusan sampai wacana untuk menghilangkan skripsi jadi contohnya.
Pendidikan, pada hakikatnya memang proses untuk mengembangkan diri sebagai manusia. Pertanyaannya:
Haruskah semua dilakoni dengan gembira, tanpa stres di dalamnya? Atau stres diperlukan agar kita fight sebagai manusia?
Kalau mau berkaca..ada anak-anak Jepang yang tingkat stresnya lebih tinggi dari anak Indonesia. Tapi mereka tumbuh jadi lebih pintar dan lebih gigih dari kita.
Anak-anak Indonesia beruntung masih bisa main tanah saat balita. Struggle is real untuk anak Jepang. Sejak usia 3 tahun cram school sudah menunggu
Cram school atau ‘juku’ adalah kelas tambahan di luar jam sekolah untuk mempersiapkan anak-anak Jepang sebelum ujian. Kalau di Indonesia mirip-mirip bimbel yang kita akrabi setiap menjelang UN lah. Bedanya, di Jepang cram school sudah mulai diikuti anak-anak sejak usia 3 tahun.
Sistem pendidikan Jepang yang menitikberatkan pada kualitas sekolah membuat orangtua berlomba-lomba mempersiapkan anak mereka untuk menghadapi ujian masuk sekolah favorit. Wajar saja jika orangtua panik. Untuk masuk ke Yochisha, salah satu SD favorit di Jepang anak-anak Jepang perlu mengalahkan 1290 saingan. Setiap tahun Yochisa hanya menerima 132 anak. Sementara pendaftarnya saja mencapai 1.300-an per tahun.
“Saya hanya ingin memberikan kesempatan terbaik yang anak saya bisa punya.”
Hosono, dalam wawancara dengan The New York Times.
Masuk ke SD favorit akan menjamin anak-anak Jepang masuk ke SMP dan SMA favorit. Hanya anak lulusan SMA favorit yang bisa diterima di top rank universities di Jepang. Dan cuma mereka yang lulus dari universitas terbaik yang bisa mendapatkan pekerjaan bergengsi. Di Jepang, membiarkan anak-anak ‘bermain’ tanpa mempersiapkan mereka sama saja dengan membuka pintu untuk menjadikan mereka warga negara kelas 2.
Tingkat stres tidak berkurang seiring dewasa. Satu ujian di akhir SMA menentukan seluruh masa depan mereka
Sebenarnya Jepang lebih ‘jahat’ dari Indonesia. Bahkan pelajar kita yang tidak lulus Ujian Nasional pun masih bisa mengambil ujian Paket C dan mendaftar SNMPTN untuk masuk ke universitas manapun yang diinginkan. Beda ceritanya dengan di Jepang.
Setiap akhir bulan Januari, ribuan pelajar Jepang mengikuti National Centre Test for University Admission. Dalam tes ini mereka bisa memilih mata pelajaran apa yang akan jadi key point mereka (semisal, Math-Science untuk mereka yang ingin masuk ke Jurusan Teknik atau Japanese dan Social Studies untuk mereka yang ingin masuk Jurusan Sosial.) Selain itu pelajar Jepang juga mesti memilih 1 universitas yang dituju.
Untuk masuk universitas yang dimau, pelajar Jepang mesti mencapai passing grade yang yang ditentukan oleh universitas tersebut. Semakin tinggi ranking universitasnya, semakin tinggi pula passing grade nya. Mereka yang lolos mencapai passing grade di University Admission tahap pertama akan dipanggil ke tes kedua yang diadakan oleh Universitas. Mereka yang tidak lolos mencapai passing grade akan menjalani hari sebagai ronin yang jadi sebutan bagi mereka yang belum memiliki universitas dan harus mempersiapkan diri untuk tes tahun selanjutnya.
Meski menghadapi tingkat stres level dewa, anak-anak Jepang bisa survive dan jadi pionir pendidikan dunia
Pendidikan di Jepang termasuk salah satu pendidikan terbaik di dunia. Tahun 2013 Jepang menduduki peringkat pertama dalam ranking global pendidikan dunia (data, di sini.) Tahun 2014 Jepang kembali menyusul Korea Utara di peringkat kedua pendidikan terbaik di dunia. (data, di sini.)
Bahkan Finlandia yang terkenal dengan pendidikan bebas, tanpa PR, dan ujian nasional justru turun peringkatnya ke level 5.
Tentu tidak adil jika hanya dari ranking global kita menilai bahwa pendidikan Jepang sudah sukses. Kasus kematian karena bunuh diri (akibat depresi) cukup tinggi di Jepang, tingkat stres yang tak pernah berkurang mulai dari balita hingga lulus universitas menghasilkan pribadi yang ‘seragam.’
Namun hebatnya, kebanyakan mereka bertahan. Bahkan bisa memberikan kinerja terbaik mereka di bidangnya masing-masing. Lihat saja bagaimana semangat belajar mahasiswa Jepang yang bisa juggling kesibukan kuliah dan aru baito ( pekerjaan part-time) mereka.
Etos kerja dan kualitas kerja orang Jepang sudah diakui dunia sebagai salah satu yang terbaik yang pernah ada.
This is not a rocket science. Kunci keberhasilan pendidikan Jepang sederhana. Kedekatan anak dengan Ibu dan semangat GANBARE! jadi kuncinya
Saat pendidikan di negara lain (termasuk Indonesia) berusaha terus merombak sistem agar lebih menyenangkan untuk anak didiknya, Jepang tetap tak bergeming dengan sistem kerasnya.
Dalam sebuah ulasan yang ditulis dengan apik, logika keberhasilan sistem pendidikan Jepang dibahas cukup lengkap.
Penelitian menunjukkan bahwa non cognitive skill lah yang menjamin keberhasilan seseorang di masa depan. Non cognitive skill ini ditunjukkan dari kemampuan seseorang menghadapi stres, menahan diri, dan bersikap di tengah masyarakat.
Di Jepang, non cognitive skill ini terbentuk dari kecil. Bukan dari hal-hal besar, melainkan sesederhana karena Amae atau hubungan yang dekat antara Ibu dan anak.
Di Jepang, wajar bagi wanita yang sudah menikah untuk memutuskan meninggalkan karir atau hanya mengambil part time job demi fokus mengurus anak. Alasan pragmatis karena biaya day care yang mahal, dan pajak penghasilan yang besar jika kedua orangtua bekerja jadi pencetus utamnya. Tapi ternyata kedekatan antara Ibu dan anak ini berpengaruh pada daya tahan anak-anak Jepang terhadap stres.
Seberat apapun tekanan yang dialami, selama ada dukungan yang tepat di rumah — semua ternyata bisa dihadapi. Jepang sudah membuktikan ini.
Selain itu ada juga semangat ‘GANBARE!’ yang jadi bukti spirit pantang menyerah yang akrab dengan masyarakat Jepang. Setiap mengerjakan sesuatu, secara kasual bisa saja ada teriakan ‘GANBARE!’ yang keluar. Semangat ‘GANBARE!’ ini jadi bukti keteguhan, self control — contoh kecerdasan non kognitif yang membuat anak-anak Jepang berhasil di bidangnya.
Kalau anak-anak di Jepang bisa, haruskah kita menciptakan sistem pendidikan yang lebih santai di Indonesia?
Hipwee jelas bukan pengamat pendidikan yang bisa mengukur seberapa efektif hasil dari menciptakan sistem pendidikan yang minim tekanan. Namun berkaca dari pengalaman Jepang — sebenarnya tingkat stres dan keberhasilan bisa berjalan bersisian.
Bahkan terkadang stres dan tekanan dibutuhkan demi menghasilkan generasi yang tangguh dalam segala keadaan. Dan bukankah tantangan anak Indonesia jelas lebih banyak daripada anak-anak Jepang yang sudah tinggal dalam sistem yang nyaman?
Bagaimana menurutmu? Perlukah kita mengadopsi style Jepang dalam proses pendidikan mereka? Atau kita perlu mulai mencari gaya yang lebih loose dan lembut dalam sistem pendidikan kita?