Cahaya matahari pagi yang menerobos tirai tipis selalu lebih dulu membangunkan tanaman-tanaman di bibir jendela kamar. Saya biasanya masih pulas. Pukul tujuh pagi, masih terlalu dini untuk bangun, meski bagi warga Jakarta memulai hari setelah mentari terbit untuk kedua kalinya dari balik gedung, berarti kesiangan. Ya, kota telah mengubah defenisi waktu.
Tak seperti kucing yang akan bertingkah ketika ia mulai lapar di pagi hari, tanaman yang mungkin dehidrasi setelah melewati malam Jakarta yang gerah hanya bisa menunggu saya bangun untuk mendapatkan air.
Setiap dua hari sekali–sekitar pukul 7 pagi juga–tanaman-tanaman yang terdiri dari sirih gading, lidah mertua, jemani mangkok, Philodendron selloum, dan Monstera adansonii akan saya siram. Sementara Mistletoe lacti, Opuntia microdasys, dan tiga kaktus lain yang tak saya ketahui nama persisnya, punya jadwal siram satu kali dalam seminggu.
Di luar jadwal menyiram tanaman pun, sepagi itu tetap menjadi waktu eksklusif saya bersama tanaman-tanaman tersebut. Sekadar untuk mengamati pertumbuhannya, menggonta-ganti posisi agar masing-masing mendapat cahaya yang sama, atau mengobrol sembari memutarkan musik untuk mereka. Iya, kamu nggak salah baca. Saya memang suka nogbrol dan mutar lagu khusus untuk mereka. Alasannya…
Mengobrol dan memutarkan musik untuk tanaman mungkin terdengar aneh. Namun, berbagai penelitian dan jurnal telah membuktikan kalau tanaman dapat merespons bebunyian atau musik dalam frekuensi tertentu. Grup musik Bottlesmoker juga telah membuktikannya dengan mengadakan konser khusus tanaman. Salah satu peserta konser yakni tanaman lombok, bahkan berubah matang saat konser usai. Maka, saya tak perlu merasa aneh untuk terus melakukan rutinitas yang kini memasuki bulan ketujuh sejak saya memutuskan memelihara tanaman.
Keputusan untuk memelihara tanaman, saya buat tatkala work from home (WFH) yang mulanya menyenangkan berubah jadi membosankan. Saya yang awalnya senang karena tak harus was-was setiap menyebrangi jalan raya menuju kantor, pada bulan ketiga WFH mulai merindukan momen berada di antara deru kendaraan yang entah mengapa selalu ngebut itu.
Setelah membaca artikel yang mengutip sebuah penelitian, saya mengetahui kalau interaksi manusia dan alam sekitar ternyata dapat menimbulkan perasaan nyaman yang baik bagi kesehatan mental. Selain karena saya sempat merasa stres dan gampang marah tanpa alasan, alam sekitar indekost yang mengalah pada gedung-gedung membuat saya terpikir untuk memelihara beberapa tanaman saja. Lagi pula, tanaman terlihat tak membosankan seperti gitar. Dan dari sana, dimulai lah perjalanan saya memelihara tanaman.
ADVERTISEMENTS
Tanaman itu ibarat antidepressan yang bisa jadi tak ampuh jika terjadi kekeliruan
Sejak awal memiliki tanaman hingga saat ini, sebagaimana ditulis peneliti LIPI, Lengga Pradipta di laman The Conversation, aktivitas merawat masing-masing tanaman memang dapat mengurangi stres, yang dalam kasus saya biasanya termanifestasikan dalam bentuk marah-marah.
Dengan adanya tanaman di dalam kamar, saya merasakan kekaleman yang sebelumnya tidak ada. Berita tentang pandemi, meski tetap bikin resah, tak lagi membuat saya marah. Unggahan orang-orang yang liburan di tengah pandemi juga tak lagi membuat saya misuh. Toh pada kenyataannya situasi dunia tak berada dalam kendali saya, kan?
Saya tak tahu pasti apakah perasaan tersebut murni hanya karena keberadaan tanaman, atau didukung faktor lain. Yang dapat dipastikan, keberadaan tanaman telah membuat saya jauh lebih tenang saat bekerja. Misalnya, ketika bosan menatap barisan kata di layar laptop seperti saat menuliskan kalimat ini, saya bisa sejenak melempar pandang ke tanaman-tanaman yang rahayu melambai dibuai angin. Sebelumnya, distraksi saya ketika bosan dengan pekerjaan adalah ponsel, yang dalam beberapa kasus, malah memicu stres.
Meski begitu, keberadaan tanaman di kamar indekost juga tak selalu bak antidepressan. Terkadang malah tanaman itu sendiri yang membuat saya stres (belakangan saya ketahui hal tersebut karena kesalahan saya sendiri). Salah satu contohnya ketika tanaman English Ivy yang saya punya mati, setelah satu minggu tampak merangas. Padahal saya sudah memperlakukannya dengan baik, seperti memberikan vitamin dan memerhatikan hal penting lainnya sesuai wejangan ahli tanaman.
Di lain waktu, Monstera adansonii saya juga tumbuh tak normal. Saya stres memikirkan penyebabnya. Daun-daun yang baru muncul, tumbuh dengan ukuran jauh lebih kecil. Setelah pasrah dengan segala cara, saya memindahkannya begitu saja ke luar ruangan selama satu minggu, dan ternyata daun-daun baru kembali tumbuh normal.
Saya kemudian teringat sebuah artikel yang mengatakan tanaman dapat merespons lingkungan sekitarnya. Artikel tersebut mencontohkan dengan fakta bahwa tak banyak tanaman yang dapat tumbuh subur, jika ia ditempatkan area nan berisik kendaraan. Lalu saya berpikir, apakah tanaman-tanaman yang belakangan tampak tak bergairah, disebabkan oleh saya yang juga tak bergairah? Atau malah sebaliknya?
Apapun itu, mulai sekarang saya akan berusaha untuk bisa stay positif, agar tanaman merasakan dan dapat terus meresponsnya dengan energi-energi baik. Nah, saat kalimat penutup ini saya tulis, tanaman-tanaman di sini sedang mendengarkan album Houseplant Music dari Lullatone.