Sudah sejak lama kolak dikaitkan dengan bulan Ramadan. Sajian manis ini selalu ada di daftar takjil atau hidangan buka puasa di Indonesia. Tidak sulit untuk menemukan kolak di pasar-pasar takjil. Mau membuat sendiri pun juga cukup mudah, hanya perlu santan, gula merah, ditambah isiannya yang biasanya disesuaikan selera. Namun umumnya isi kolak terdiri dari pisang, ubi, singkong, kolang-kaling, atau labu kuning. Kandungan gula dalam kolak cukup ampuh untuk mengembalikan energi yang hilang setelah seharian berpuasa. Tak heran kalau kolak jadi sajian favorit banyak orang.
Bicara kolak, rupanya nggak hanya sebatas hubungannya sama Ramadan lo. Di balik rasa manisnya, ternyata tersimpan makna dan sejarah yang cukup menarik untuk dibahas. Ada juga anggapan kalau kolak ini dijadikan media dakwah oleh para ulama terdahulu. Sebelum buru-buru mempercayainya, yuk, kita sama-sama ulik dalam ulasan kali ini!
ADVERTISEMENTS
Kolak tak hanya dianggap sebagai hidangan khas bulan puasa, tapi juga dipercaya sebagai media dakwah ulama-ulama terdahulu di Indonesia, khususnya Pulau Jawa
Ada anggapan yang beredar di masyarakat tentang asal muasal kolak. Katanya, dulu saat masyarakat Jawa belum mengenal Islam dengan baik, para ulama memilih metode yang relatif mudah dan sederhana, yakni dengan menggunakan medium makanan.
Filosofi kolak diperoleh dari setiap elemen yang ada di dalamnya. Mulai dari kata kolak sendiri yang merujuk pada “Khalik”, berarti pencipta yang menunjuk pada Allah SWT. Isian kolak biasanya menggunakan pisang kepok. Kepok dikaitkan dengan kata “kapok”, dalam Bahasa Jawa berarti jera. Makanan ini bisa jadi pengingat manusia untuk bertobat kepada Allah. Ada juga telo pendem, yang sering ditemukan sebagai isian kolak. Kata “pendem” merujuk pada makna bahwa manusia harus mengubur kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, dan melanjutkan hidup dengan jalan penuh ridho Allah.
Lalu kuah kolak yang biasanya terbuat dari santan, dikaitkan dengan kata “santen” kependekan dari pangapunten, dalam Bahasa Jawa artinya permohonan maaf. Kolak juga jadi pengingat supaya manusia senantiasa meminta maaf atas kesalahannya.
ADVERTISEMENTS
Etimologi dan tafsir di atas memang bertujuan mulia, yakni menjadikan kolak sebagai media pembelajaran budi pekerti serta memperkuat keyakinan agama. Namun, seorang arkeolog justru menyangkalnya
Dwi Cahyono, arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang, menilai bahwa etimologis seperti yang sudah dijelaskan di atas itu hanya mendasarkan pada keserupaan istilah dan terkesan dipas-paskan. Mungkin niatnya memang baik, yaitu menjadikan kolak sebagai media pembelajaran dalam hal keagamaan.
Tapi memang terasa seperti cocoklogi aja. Karena menurut Dwi, kalau didasarkan padanan kata gitu, istilah serupa “kolak” juga bisa ditemukan dalam bahasa Jawa Kuno (nggak cuma bahasa Arab “khalik” aja), seperti “kula”, artinya kawanan, pasukan, kumpulan, orang banyak, jumlah, suku, keluarga, rumpun, kasta, rombongan, keluarga bangsawan atau unggul, keluarga, keturunan, asal-usul. Jadi, kolak bisa berarti makanan yang terdiri dari sekumpulan bahan makanan dan dicampur menjadi satu.
ADVERTISEMENTS
Mengenai asal-usul kolak, ada banyak sekali pendapat yang beredar di masyarakat. Ada yang bilang dari Arab dan Timur Tengah, tapi ada juga yang percaya kolak berasal dari Nusantara
Karena nama kolak sering dikaitkan sama bahasa Arab “khalik” tadi, sajian ini jadi dianggap berasal dari Timur Tengah. William Wongso, seorang chef sekaligus pakar kuliner di Indonesia, mengatakan kemungkinan kolak berasal dari Timur Tengah. Soalnya orang sana memang dikenal suka yang manis-manis.
Tapi arkeolog senior Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti, menyebut kemungkinan kolak ada hubungannya sama minuman di masa Jawa Kuno yang muncul dalam naskah maupun prasasti, namanya kilang. Kilang adalah minuman dari sari tebu, yang disukai rakyat maupun bangsawan zaman dulu. Nah, menurut Titi, mungkin kolak adalah “kelanjutan” dari kilang itu. Tapi sekali lagi, inipun hanya bersifat teori. Karena istilah kolak nggak secara lugas dijumpai dalam sumber tertulis masa Hindu-Budha. Kemungkinan, ia baru muncul pada masa yang lebih modern.
ADVERTISEMENTS