Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Jambi, saya cukup tercengang membaca kabar sebuah pesawat hercules nekat mendarat menembus pekatnya asap di Bandara Sultan Thaha, Kota Jambi, Sabtu (26/9/15). Apa pasal? Bukan karena fakta bahwa pilot nekat tersebut, Mayor (Phb) Teddy Syahputra adalah orang asli Jambi; bukan pula karena dia lulusan SMA yang juga tempat saya juga sekolah dulu. Hal yang membuat saya terheran-heran adalah tugas yang diembankan pada pesawat tersebut: menjemput kendaraan kepresidenan, peralatan pendukung dan anggota Paspampres kembali ke Jakarta.
WHAT. THE. HELL?!
Seperti diketahui, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo membatalkan rencana blusukan-nya ke Jambi dan Riau akibat kepulan asap yang sudah sangat parah di dua provinsi tersebut. Padahal, agenda blusukan Pak Jokowi adalah memantau usaha pemadaman kebakaran lahan guna menekan kabut asap. Ironis.
Pembatalan blusukan yang “maha penting” ini sungguh memilukan sekaligus menggelikan. Memilukan karena kita sudah terbiasa melihat Jokowi yang keluar-masuk parit dan menyatu dengan masyarakat di kampung kumuh tapi mundur teratur ketika dihadang asap. Menggelikan karena –masyarakat Jambi pasti setuju dengan ini– jika sudah tahu penerbangan Jambi lumpuh akibat asap, kenapa berencana pergi dengan naik pesawat? Kalau (memang niat) ke Jambi, daratkan pesawat kepresidenan tersebut di Palembang lalu lanjut dengan berkendara menuju Jambi.
Dalam perjalanan dari Palembang ke Kota Jambi, mungkin Bapak akan melihat sendiri titik api yang selama ini hanya Bapak lihat dari pencitraan satelit.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Terlepas dari jadi atau tidaknya Jokowi blusukan ke Jambi dan Riau, kita harus berani bertanya: “Apakah blusukan mampu memadamkan api?”
Jangan terlalu naif untuk menganggap bahwa blusukan adalah hal yang paling dibutuhkan oleh rakyat di Jambi, Riau, Palangkaraya dan daerah-daerah terdampak asap lainnya. Yang mereka butuhkan adalah aksi nyata dalam skala masif untuk memadamkan api. Mereka ingin melihat puluhan ribu personil bertarung melawan api. Yang ingin mereka dengar adalah deru pesawat terbang membombardir lahan terbakar di Sumatra dan Kalimatan dengan berton-ton air.
Yang masyarakat butuhkan sekarang adalah masker yang layak untuk melawan asap. Yang mereka rindukan adalah kembalinya hak mereka untuk meghirup udara bersih. Bukan blusukan-blusukan lagi, bukan retorika ba bi bu untuk ” segera membangun ini dan itu…” atau janji untuk “akan menangkap si A dan si B”.
Blusukan mungkin akan menjinakkan api. Tapi begitu Bapak meninggalkan lokasi, api akan tersulut lagi.
ADVERTISEMENTS
Ada banyak hal yang seharusnya diprioritaskan di atas hasrat untuk blusukan. Menetapkan kabut asap sebagai Bencana Nasional, salah satunya.
Pemerintah terkesan “malu-malu kucing” untuk mengakui bahwa kabut asap ini adalah bencana nasional. Malu dihadapan Malaysia atau Singapura mungkin, entahlah. Padahal jika status bencana nasional ini diterapkan maka energi, perhatian dan anggaran yang dicurahkan untuk menanggulangi asap dan kebakaran pasti jauh lebih besar. Bayangkan jika status ini diterapkan sejak dua bulan lalu, mungkin anak-anak di Sumatera dan Kalimantan masih berada di sekolah setiap hari tanpa harus diliburkan seperti sekarang. Mungkin para orang tua di sana (termasuk orang tua saya) bisa fokus mencari nafkah, alih-alih berdiam diri di rumah sambil bertanya-tanya:
“Kenapa batuk-batuk ini tak kunjung reda, kenapa untuk bernafas saja sulit dan kenapa pening ini tak kunjung hilang?”
ADVERTISEMENTS
Dan mungkin saja —tanpa bermaksud mendahului rencana Tuhan— bayi mungil ini masih sempat tumbuh dewasa untuk menghirup udara segar dan bersih dari asap.
Istirahatlah dengan tenang, dik. Temukan damai dan kehidupan yang bersih di surga sana.
Kini sudah ada korban nyawa yang berjatuhan. Masih mau blusukan?