Hatiku miris, rasanya seperti ditusuk dan diiris ribuan pisau sore itu. Mall yang ramai di sore itu seakan seperti gaung jauh. Kupingku berdenging ketika melihat rak baju di depan ku. Maxi dress cantik yang kubeli seharga 499 ribu seminggu lalu, kini dijual hanya 99 ribu saja.
ADVERTISEMENTS
Benarkah kita harus membayar semahal itu demi beberapa helai pakaian yang akan bergantian melekat di tubuh? Atau ada permainan di balik semua ini?
Aku merasa ditipu habis-habisan. Maxi dress yang sama, ukuran yang sama, warna yang sama, kini harganya hanya seperlima saja. Lalu kemana empat per lima harga itu pergi? Mengapa toko ini dengan mudahnya menghilangkan 400 ribu begitu saja? 400 ribu yang susah payah kutabung selama berbulan-bulan. Angkot panas, mie instan di pagi dan malam hari, serta rasa nyesek tidak bisa hangout bersama teman-teman. Keringat dan air mata, terbuang sia-sia.
Dengan kaki yang lemas dan suara yang lirih, kuberanikan diri untuk bertanya kepada mbak-mbak SPG.
“Mbak, ini minggu lalu, harganya ga segini kan ya?”.
“Oh iya Kakak, ini lagi diskon, cuci gudang”
“Loh, harga aslinya berarti emang cuman 99 ribu, Mbak?”
“Oh gak Kakak. Ini kita jual rugi, mumpung Lebaran.”
HAH! JUAL RUGI? Aku mungkin masih polos dan lugu, tapi aku tidak selugu itu. Toko ini telah berdiri puluhan tahun dengan ribuan karyawan. Tidak mungkin dia bisa bertahan selama ini dengan jualan rugi. Apalagi ketika Lebaran, dimana semua penjual pakaian omsetnya naik berkali-kali lipat. Apa iya dia mau menghapus untung sebelas bulan hanya dengan rugi besar di satu bulan? Bagaimana kalau Natal? Sale? Apa iya jual rugi terus? Argh, kebohongan di atas kebohongan ini makin membuatku panas hati. Kuputuskan untuk tidak membatalkan puasa ku dan pergi jauh dari sana.
ADVERTISEMENTS
Penjualan sebenarnya tak lebih dari sekadar pengkhianatan. Bagaimana mungkin harga yang tadinya melambung tiba-tiba bisa ditekan?
Sampai kost, ku berbuka dan mencoba mendinginkan hati yang panas ini dengan beberapa teguk sirup dingin. WA dan FB message dari rekan-rekan aktivis di BEM aku hiraukan. Entah mengapa, berapa teguk pun yang kuminum tidak berhasil menghapus kegalauanku, rasa nyesek ku, dan perasaan dikhianati yang hinggap di hatiku. Bayangan Andi, SMS itu, dan wanita itu muncul sekelibat. Astagfirullah. Maxi dress simbol kebahagian ku di Lebaran kelak kini rasanya menjadi simbol kebohongan dan pengkhianatan. Aku bisa membayangkan Mamaku mungkin menertawakan kekonyolanku, karena berkutat pada hal kecil seperti ini,
“Aduh Ira, cuman baju aja loh”.
Tapi ga gitu Mama. Aku benci dibohongi! Aku benci dikhianati!
ADVERTISEMENTS
Orang bilang sistem ini sudah bertahan sedari dulu. Tapi tetap saja, ini terasa tidak masuk akal di otakku
Malam menjelang, aku memutuskan untuk curhat ke Mama. Mungkin Mama akan menganggap curhatku konyol. “Ah, bodo amat lah. Aku hanya butuh pelepasan. Aku butuh cerita.”.
“Halo Nduk, piye kabarmu neng Jakarta? Sehat-sehat wae Nduk?” (Halo, gimana kabarmu Nak? Sehat-sehat saja?)
Suara Mama di ujung sana bagai oasis di hariku yang kering dan menyengat hati. Rasanya semua nyesek ku pelan-pelan terangkat hanya dengan sapaan itu. Tanpa ba-bi-bu, kuceritakan hariku yang buruk ke Mama.
Di luar dugaan, Mama sama sekali tidak menertawakanku. Mama malah gantian menceritakan versinya :
“Lah kuwi kie cen ngana Nduk, wis ket jaman Mama cilik yo carane dagang yo kaya ngana.” (Lah, memang seperti itu Nak. Dari jaman Mama kecil emang begitu cara berdagang.)
“Jadi diskon kuwi sebenere tenanan dodol rugi ra sih Ma?” (Jadi diskon itu memang benar jual rugi ya Ma?)
“Ora lah nduk. Nek rugi yo tokone wis bangkrut. Biasane cen ngana nduk. Regane cen diunggahke sik, agek didiskon.”. “Kuwi Mama tau nemu, klambi 500 ewu neng mall, didol rega 70 ewu neng grosiran. Klambi sing plek podo nduk”. (Ya nggak lah Nak. Kalau jual rugi ya tokonya bangkrut nanti. Harganya dinaikkan, terus didiskon. Itu Mama pernah ketemu baju 500 ribu di Mall dijual 70 ribu di toko grosir. Bajunya padahal sama persis!).
“Mosok to Ma? Mosok klambi neng Mall podo oyo neng grosiran?“ (Masak sih Ma? Masak baju di Mall sama kayak baju di toko grosir?)
“Loh ncen ngana Nduk. Konveksine podo, klambine podo. Rego jahit e paling 50 ewunan. Karo Mall diunggahke 10x lipat, trus nek ra payu didiskon 70%” (Loh memang seperti itu, Nak. Konveksinya sama. Harga jahit bajunya paling 50 ribu. Mall memang menaikkan harganya 10 kali lipat, terus kalau tidak laku didiskon 70%.)
Perasaanku campur aduk. Antara senang, Mama ternyata juga mengalami apa yang aku alami, dan marah, bahwa mungkin tidak hanya aku dan Mama, tapi ribuan, bahkan jutaan wanita lain juga mengalami hal yang sama.
ADVERTISEMENTS
Menjual pakaian dengan harga di luar kewajaran sebenarnya tak lebih dari kejahatan. Jika kebutuhan dasar saja dipermainkan, tidakkah kita harusnya menyuarakan keberatan?
Dalam hatiku aku berteriak, “Kenapa sih kok jualan baju harus kayak gitu? Ini baju. Bukan tiket, bukan hotel, bukan gadget. Ini kebutuhan pokok : sandang, pangan, papan. Bisa-bisanya orang seenak udel memainkan harganya. “
Masih terngiang kasus beras plastik yang menghebohkan jagat media sosial. Kenapa praktik seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang sama? Ini kan hajat hidup orang banyak. Kulanjutkan curhat ku dengan Mama :
“Kenopo sih , awak dewe ra dodolan klambi koyo Sunnah Nabi aja, ma? Sing untung e wajar, sing regone jujur?” (Kenapa kita nggak berjualan seperti Sunnah Nabi saja sih Ma? Yang keuntungannya wajar dan harganya jujur?)
“Yo mungkin cen dodolan klambi kie yo ngana nduk. Nek ora, ra isa untung. Yo wis ket mbiyen kaya ngene.” (Ya mungkin kalau berjualan baju memang seperti itu, Nduk. Kalau tidak, ya tidak untung. Dari dulu sudah seperti ini.)
“Dari dulu sudah seperti ini”. Kata-kata itu beresonansi kuat di benak ku. Kata-kata yang paling kubenci, yang sering keluar dari para birokrat di kampus dan politikus kotor di Senayan. Para birokrat dan politikus yang setengah mati mempertahankan status quo. Status quo yang kami lawan setengah mati sebagai mahasiswa. “Jaman sudah berubah bung. Ojek saja sekarang sudah pakai smartphone. Apa iya kau masih mau hidup di jaman batu?”
“Lebaran cepet pulang yo nduk, Mama wis kangen karo kowe”. (Lebaran cepet pelang ya Nak, Mama udah kangen sama kamu.)
Mataku berkaca-kaca, hampir saja air mata ini mengalir ke pipi.
“Iya Ma, titip sun nggo Papa ya” (Iya Ma, titip kecupan untuk Papa ya)
Mama dan aku menutup pembicaraan malam itu, dengan perasaan yang lebih lega, tapi entah mengapa, masih ada yang mengganjal di hatiku.
“Tapi Ma, baju lebaranku itu kini telah ternoda.” Dalam hati ku berkata. Bukan noda tinta atau lumpur. Bukan pula noda makanan. Namun noda kebohongan, pengkhianatan, dan status quo dunia fashion. Tak sanggup rasanya ku memakainya di depan Mama. Hati nuraniku berontak. Dengan memakai lambang status quo itu, maka aku telah menjadi bagian dari status quo. Jijik dan gatal rasanya.
Aku bukan status quo. Aku adalah pendobrak status quo.
“Maaf Ma, aku tidak punya baju Lebaran yang baru.”