Kalau mau jujur, peristiwa tawuran antar pelajar di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak dulu, pelajar di Jakarta sudah akrab dengan yang namanya kasus tawuran. Biasanya sih yang jadi lawan adalah anak SMA saingan. Dari perkara sepele seperti “numpang lewat depan sekolah lawan” saja bisa berbuntut panjang. Memalak hingga memukuli anak sekolah lawan tak segan mereka lakukan.
Jika kamu mengira hal itu sudah kurang ajar, akhir-akhir ini tawuran antar pelajar di Jakarta makin berevolusi. Jika dulu tawuran berarti adu jotos, kini tawuran sudah mulai menggunakan senjata tajam yang membayakan nyawa. Sedih sih melihat fenomena ini. Pelajar yang harusnya jadi fondasi masa depan bangsa, malah bertingkah konyol dan saling membahayakan nyawa. Sampai-sampai, media luar seperti Al Jazeera penasaran dan meliputnya secara khusus…
ADVERTISEMENTS
Dalam 5 tahun terakhir, ada lebih dari 130 pelajar yang meregang nyawa karena tawuran. Miris melihat masa depan bangsa
Nyatanya, tawuran seperti sudah menjadi budaya dan tradisi bagi pelajar di Jakarta. Tak peduli apapun masalahnya, sesepele apapun, para pelajar akan selalu saja bisa menemukan alasan untuk tawuran. Apalagi jika sekolahnya sudah memiliki musuh bebuyutan, adik angkatan yang baru masuk dan tak tahu apa-apa pun segera dididik untuk membenci dan berani memancing keributan dengan sekolah lawannya. Begitu melihat lambang sekolah lawan lewat depan mata, hajar sampai mampus!
Evolusi dari tangan kosong menjadi senjata tajam yang terjadi akhir-akhir ini makin menunjukkan betapa dunia tawuran antar pelajar adalah ancaman yang nyata. Menurut laporan Al Jazeera tersebut, ada 130 pelajar yang nyawanya melayang karena tawuran dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Kalau tak segera dihentikan, daftarnya pasti masih akan terus bertambah panjang.
ADVERTISEMENTS
Sayangnya, angka yang fantastis tersebut semakin konyol saat tahu alasan tawuran. Ya, alasannya cuma ‘ikut-ikutan’ atau bahkan buat ‘senang-senang’ saja
Ini sih yang bikin sedih. Bagi pelajar tersebut, apapun alasannya tak jadi masalah. Yang penting pukul lawannya. Bahkan bisa dilihat dari pengakuan para pelajar di video Al Jazeera itu, banyak yang mengaku ikut tawuran hanya untuk ‘bersenang-senang’. Iya, ‘bersenang-senang’. Layaknya kalau kita biasanya main PS atau futsal, cara mereka adalah tawuran.
Miris mendengarnya. Sudah sebegitu kentalnya kekerasan masuk ke dalam dunia pelajar. Sampai-sampai yang jadi media bersenang-senangnya adalah tawuran dan kekerasan. Dari sekian banyak hal menyenangkan di luar sana, kenapa harus tawuran sih, dik?
ADVERTISEMENTS
Belum lagi jika membahas soal kasus klitih yang marak terjadi di Yogyakarta. Fenomena di ‘Kota Pelajar’ ini, sekali lagi membuktikan betapa kuatnya tradisi kekerasan di kalangan pelajar kita
Sedikit meluas ke wilayah Yogyakarta, kekerasan dalam lingkup pelajar pun terjadi di sana. Cuma bentuknya saja yang berbeda. Kalau di Jakarta tawuran, di Yogyakarta kasus klitih yang tengah marak terjadi saat ini. Seperti yang sudah diberitakan oleh media-media, pelakunya masih berstatus pelajar.
Anak bau kencur saja sudah berani menusuk dan membunuh orang. Alasannya pun tak masuk akal; dendam. Masih sekecil itu, dendamnya karena perkara apa sih? Paling-paling ya hal sepele. Namun karena hal sepele itu mereka nekad menyakiti hingga membunuh. Pelajar oh pelajar. Ada apa dengan kondisi pelajar di negeri ini? Kok makin hari makin banyak yang terjerumus dalam lembah kekerasan sih?
Padahal pelajar tugasnya adalah belajar. Sekecil itu sudah jadi pembunuh, bebannya tak akan hilang seumur hidup. Seumurhidupnya akan dihantui dengan perasaan bersalah. Ia pun akan dibenci di lingkungannya. Mana tenang hidup kalau begitu caranya? Belum lagi kalau bicara soal masa depan pelajar yang sudah pasti hancur karena kasus kekerasan tersebut. Kalau hal ini terus dibiarkan, mau jadi apa masa depan bangsa kita?