Krisis kepadatan di lapas RI | Credit: Hipwee via www.hipwee.com
Persoalan Lembaga Pemasyarakatan seakan tak ada habisnya. Belum lama ini, publik Indonesia menahan pilu mendengar peristiwa kebakaran di Lapas kelas 1 Tangerang pada Rabu, 8 September 2021. Kejadian tersebut tentu mengejutkan banyak pihak, apalagi hingga kini korban yang meninggal mencapai lebih dari 45 orang.
Menurut penjelasan dari Menkumham, Yasonna Laoly, lapas yang diisi oleh narapidana dengan jumlah melebihi daya muat disinyalir jadi penyebab begitu banyaknya korban jiwa. Hal tersebut membuat ruangan penuh sesak, akibatnya beberapa dari mereka sulit untuk menyelamatkan diri. Tercatat dalam laman resmi Ditjenpas Kemenkumham, kapasitas di Lapas kelas 1 Tangerang hanya 600 orang, sedangkan penghuni pada bulan Agustus mencapai 2.087 orang. Artinya, ada kelebihan kapasitas di sana mencapai 248 persen.
Sebenarnya, permasalahan kelebihan penghuni dalam lapas ini bukan merupakan hal yang baru. Namun, sayangnya pemerintah dan lembaga terkait tak belajar dan mencari solusi teranyar untuk menyelesaikan krisis kepadatan yang dialami oleh mayoritas lapas di Indonesia.
Overcrowding menghantui hampir semua rumah tahanan. Kelebihan penghuni di berbagai rutan bahkan sudah sampai ke titik mengkhawatirkan. Semakin tinggi populasi penghuni penjara tiap tahunnya, maka sejalan dengan itu, angka kelebihan penghuni rutan dan lapas juga semakin meningkat.
Lantas, apakah persoalan yang kerap disinggung setiap tahun tersebut akan berakhir sebagai perdebatan semata? Atau hanya menunggu kejadian yang tak diharapkan banyak pihak kembali terulang? Kalau menurut datanya saja mayoritas lapas di Indonesia sudah overcrowded, apa masih bisa dikatakan layak dan tidak melanggar hak-hak mereka yang ada di dalamnya?
ADVERTISEMENTS
Kita tak bisa menghindari fakta bahwa mayoritas penjara di Indonesia memang penuh. Setuju atau tidak, hal ini terjadi setiap tahunnya
Merujuk situs Direktorat Jenderal Pemasyarakat Kemenkumham per September 2021, jumlah tahanan dan napi di Indonesia saat ini sebanyak 267.115. Jika dirinci, ada sebanyak 210.220 napi, sementara jumlah tahanan 56.891.
Dijelaskan, bahwa napi merupakan mereka yang telah divonis hukuman penjara, sementara tahanan adalah orang yang masih menjalani proses hukum.
Jumlah tahanan dan napi tersebut sudah melebihi daya tampung yang ada. Pasalnya, berdasarkan data, seluruh lapas di RI jika digabungkan hanya mampu menampung 135.561 orang. Maka dari itu, secara umum lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas hingga 97 persen!
Bahkan, dikatakan bahwa lapas yang dikelola 30 Kantor Wilayah (Kanwil) Provinsi mengalami kelebihan kapasitas. Hanya tiga kanwil yang sesuai dengan kapasitasnya, yakni wilayah Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara. Itu pun bukan berarti semuanya merata. Tetap ada lapas dan rutan di ketiga cakupan kanwil tersebut yang kelebihan penghuni dibanding daya tampungnya.
ADVERTISEMENTS
Lapas tak bisa menolak terpidana baru, overcrowding juga terikat pada cara kerja sistem peradilan di Indonesia
Ilustrasi lapas | Credit: Hasan Almasi on Unsplash
Kebakaran di Lapas Tangerang hanyalah puncak gunung es dari pengelolaan permasalahan lapas di Indonesia. Kelebihan tersebut bisa terjadi karena beragam faktor yang bersumber dari tidak harmonisnya sistem peradilan pidana. Bersumber pada data yang dipublikasikan CNN Indonesia, mayoritas penghuni lapas dan rutan adalah mereka yang terjerat kasus narkotika. Jumlahnya mencapai 50 persen dari total napi di seluruh Indonesia. Sisanya adalah kasus-kasus seperti pembunuhan, pencurian hingga penganiayaan.
Sistem peradilan di Indonesia dinilai kaku, sehingga kasus sekecil apapun akan dilanjutkan prosesnya sampai di penjara. Belum lagi, dengan minimnya alternatif penahanan untuk memberikan efek jera bagi tersangka. Misalnya, UU ITE yang sempat dikritik pada 2017 karena dianggap memuat pidana tinggi. Lantas, hukuman yang tadinya digadang-gadang mencapai 6 tahun diturunkan menjadi 4 tahun untuk kejahatan penghinaan dan pencemaran nama baik. Hal ini pun masih menjadi kontroversi, sebab semestinya lembaga terkait mempunyai opsi dengan jenis pidana lain.
Hal serupa juga terjadi pada kasus narkotika. Penegak hukum dinilai ogah untuk mencari alternatif selain penjara untuk mereka. Pemakai yang bisa diberikan rehabilitasi pada akhirnya berakhir di lapas hingga membuat kapasitasnya semakin penuh. Belum lagi, adanya permasalahan anggaran yang diberikan pemerintah untuk pembinaan yang dianggap tak sebanding. Prinsip penjara di Indonesia masih mengedepankan efek jera yang berlebih.
ADVERTISEMENTS
Jika diteruskan, hal ini bisa berdampak pada pelanggaran HAM untuk terpidana penjara
Kasus penjara penuh di Indonesia | Credit: Hipwee
Kasus kebakaran di Lapas Tangerang hanya satu bukti dari banyaknya dampak negatif kelebihan penghuni di lapas. Situasi ini bahkan bisa memberi kelonggaran pengawasan bagi mereka yang tinggal di sana. Maka dari itu, perkara tahanan yang melarikan diri kerap terjadi karena penegak kewalahan dengan banyaknya penghuni. Belum lagi, tingginya angka kerusuhan di lapas akibat gesekan emosi di antara terpidana. Perebutan makanan, tempat tidur, kamar mandi, dan lainnya bisa muncul akibat penjara yang overcrowded.
Seorang mantan tahanan politik di rutan Salemba, Jakarta sempat menceritakan pengalamannya dibui karena kasus makar kepada BBC Indonesia. Digambarkan, di dalam rutan hanya disediakan dua toilet untuk 420-an narapidana. Tempat tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan; mandi, buang air kecil dan besar, hingga mencuci piring. Ada masanya mereka harus tidur miring seperti udang karena ruangan sudah tak bisa lagi menampung manusia.
Dalam konteks peristiwa kebakaran, overcrowding membuat risiko semakin fatal. Di antaranya, menghambat kecepatan evakuasi, kecukupan kapasitas ruangan tertentu yang dianggap aman, hingga kepanikan yang berlebihan di dalam rutan. Bagaimanapun, krisis kepadatan ini mengakibatkan layanan standar minimun bagi lapas menurun ke tingkat yang semakin mengkhawatirkan.
Lantas, apakah setiap penjara memang didesain seperti demikian?
ADVERTISEMENTS
Halden Prison di Norwegia mendobrak citra penjara yang tak manusiawi, mereka lebih percaya untuk melakukan pendekatan
Halden Prison Norwegia | Credit: The New York Times
Penjara yang identik dengan stigma menyeramkan serta marak kekerasan fisik dan mental tak berlaku pada rumah tahanan yang satu ini. Halden justru disebut sebagai penjara paling manusiawi di dunia. Menariknya, mereka menekankan pada konsep dinamis, di mana para sipir diminta untuk berbaur dengan narapidana setiap harinya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari konflik dan ketegangan yang mungkin bisa muncul karena rasa kelelahan.
Fasilitas di penjara ini pun memiliki fitur layaknya hotel. Kamar sel dilengkapi dengan tempat tidur, televisi, rak buku, meja, kursi, serta wastafel pribadi. Layaknya tempat tinggal untuk mahasiswa, kamar mereka tak dipasang teralis supaya tahanan mendapat sinar matahari yang cukup. Dilansir dari The Guardian, penjara di Norwegia ini percaya bahwa tindakan kekerasan dan penjara yang diumpamakan sebagai balas dendam tak lantas membuat seseorang menjadi berubah. Maka dari itu, mereka mengutamakan pada hak asasi manusia, etika, dan hukum.
Fasilitas bagus tentunya sejalan dengan anggaran yang dikeluarkan pemerintah, juga tak bisa dilepaskan dari fakta akan tingkat kriminalitas dan jumlah penduduk di sana yang rendah pula. Walaupun diberi gelar penjara paling manusiawi, nyatanya penghuni di Halden justru sedikit. Bagaimanapun juga, beberapa tahanan merasa Halden tetaplah penjara pada umumnya. Perbedaannya hanya bangunan yang nampak bagus dipandang dan fasilitas penunjang.
“Penjara adalah penjara, mereka mengurungmu,” kata napi kasus penyelundupan narkotika di Halden.
ADVERTISEMENTS
Mengatasi overcrowding di lapas Indonesia memang dibutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk dari kalangan masyarakat
Krisis kepadatan di lapas ini memang menjadi PR bagi semua orang. Lembaga peradilan, penegak hukum, pembuat rancangan, hingga masyarakat Indonesia harus saling mendukung satu sama lain. Adanya alternatif hukuman untuk narapidana tak berarti akan mengubah seorang napi menjadi lebih baik, begitupun sebaliknya. Tindakan kekerasan dan tak manusiawi juga belum tentu menjamin mereka tak mengulangi lagi.
Jika berkaca pada rehabilitasi di Norwegia, pemberian fasilitas terbaik sejalan dengan ekonomi negara mereka yang maju. Ditunjang dengan rendahnya tingkat kriminalitas di sana, bahkan Norwegia disebut sebagai negara dengan tingkat revidis terendah di Eropa. Hal ini tentu berbeda dengan negara kita.
Meski demikian, perlu ditekankan bahwa apapun hukuman yang diberikan, sudah seharusnya para narapidana mendapat tempat yang layak dan tidak membahayakan. Hak mereka harus diperhatikan supaya kejadian serupa tak terulang kembali.