Jakarta tak pernah tidur. Ungkapan tersebut muncul selain karena memang banyak penduduknya yang sering bekerja hingga larut malam, juga karena menjamurnya klub malam atau diskotek tempat orang ajojing sampai pagi. Orang Jakarta memang kayak nggak ada capeknya. Pergi pagi pulang pagi hampir tiap hari dilakoni. Setelah weekend baru deh balas dendam tidur seharian.
Tapi ngomongin soal klub malam dan diskotek, ternyata tempat favorit muda-mudi berkumpul dan menikmati musik ini sudah ada sejak tahun 70-an lo! Sejak kala itu hingga sekarang, tempat hiburan ini bahkan termasuk jenis hiburan malam yang legal di banyak kota. Dan Jakarta, tentu saja jadi pionir berdirinya klub malam atau diskotek lain di kota-kota Indonesia. Yang cukup mengejutkan, ternyata ayah dari aktris sekaligus model Atiqah Hasiholan adalah sosok yang begitu berjasa di balik berdirinya bisnis hiburan malam di Jakarta, Guys~ Simak, yuk, gimana wujud diskotek dan klub malam pertama di Jakarta dulu!
1. Mari kita ngomongin diskotek dulu, soalnya diskotek dan klub malam ini sebenarnya beda. Diskotek pertama berdiri di Jakarta, namanya Tanamur. Pendirinya si bapakke Atiqah itu Gaes, suaminya Bu Ratna Sarumpaet
Diskotek: ruang atau gedung hiburan tempat mendengarkan musik (dari piringan hitam) atau berdansa mengikuti irama musik
Klub malam: gabungan dari beberapa aspek hiburan malam; minuman keras, restoran, hostes, musik, sampai pertunjukan tari telanjang
Ngomongin sejarah diskotek di Indonesia, nggak afdal kalau nggak menyinggung Tanamur –singkatan dari Tanah Abang Timur. Tanamur merupakan diskotek pertama di Indonesia yang berdiri di Jakarta sekitar tahun 70-an. Pencetusnya adalah Ahmad Fahmy Alhady, pemuda tajir keturunan Arab, ayah dari Atiqah Hasiholan, suami dari Ratna Sarumpaet.
2. Ide mendirikan diskotek bermula saat Fahmy masih berkuliah di Jerman. Kebetulan apartemen tempat tinggalnya berdekatan dengan klub malam. Inspirasinya datang dari sana
Fahmy pernah mengenyam pendidikan di Jerman. Kala itu ia tinggal di dekat sebuah klub malam. Saat senggang, Fahmy hampir selalu menghabiskan waktu di klub malam itu. Ia juga sering berkunjung ke berbagai klub malam di Eropa. Setelah cukup sering menjelajah klub malam di sana, Fahmy memutuskan untuk nggak melanjutkan sekolahnya, kembali ke Indonesia, dan mendirikan sendiri bisnis hiburan malamnya sendiri.
Keluarga Fahmy yang keturunan Arab tentu sempat menentang rencananya karena nggak sesuai sama budaya timur tengah. Tapi pada akhirnya, keluarganya menyerah dan Fahmy tetap “maju” bermodalkan uang 20 juta. Ia jadi pionir diskotek pertama di Indonesia, bahkan di Asia!
3. Sebelum ada diskotek, klub malam ternyata sudah lebih dulu ada tepatnya pada dekade 1960-an. Pendirinya adalah seorang seniman sekaligus budayawan muslimin di Indonesia
Usmar Ismail, adalah nama yang selalu disebut manakala orang membahas awal mula klub malam di Jakarta. Usmar dikenal sebagai pelopor Miraca Sky Club, sebuah tempat hiburan malam. Usmar sempat menuai kontroversi lantaran ia merupakan tokoh terpandang di dunia perfilman Indonesia, seorang haji, dan ketua umum Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), organisasi bawahan Nahdlatul Ulama (NU).
4. Klub malam milik Usmar menjiplak konsep klub malam di Eropa dan Amerika. Ada miras, restoran, hostes, dan yang paling populer waktu itu pertunjukan tari telanjang
Miraca milik Usmar menyajikan banyak hiburan bagi pengunjungnya. Selain bisa makan-makan dan minum miras, pengunjung juga bisa minta dilayani hostes, wanita yang tugasnya menerima, menjamu, dan menghibur tamu. Tak lupa ada juga sajian musik hidup di sana. Tapi yang paling banyak diminati di Miraca adalah pertunjukan tari telanjang.
Di tahun segitu, tarif buat menonton penari telanjang berkisar antara 5.000-8.000 rupiah, padahal rata-rata pendapatan orang jakarta saat itu hanya 1.000-4.000 rupiah. Makanya yang ke sana kebanyakan kelas menengah ke atas dan pejabat-pejabat aja.
5. Saat itu klub malam masuk di ranah pariwisata. Nggak heran kalau Miraca mendapat dukungan penuh dari Gubernur Ali Sadikin
Miraca memegang dokumen legalnya yang diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang pokok-pokok pembinaan kepariwisataan pada 1969 dan keputusan tentang pendirian night club. Gubernur Ali Sadikin mendukung penuh pendirian klub malam. Para investor dalam dan luar negeri didorong supaya mengalirkan cuannya ke bisnis-bisnis hiburan malam Jakarta. Setiap ada pembukaan klub malam baru, Ali selalu menyempatkan hadir.
Tapi pada tahun 70-an, klub malam dengan konsep tari telanjang mulai mendapat protes dari banyak pihak, kaum pendidik, tokoh wanita, alim ulama, hingga tokoh pemuda kompak mengecamnya. Alasannya karena nggak sesuai sama budaya Indonesia dan bisa merusak moral bangsa. Para penolak makin agresif, nggak sedikit yang merusak dan menyerang klub-klub malam. Akhirnya bisnis tersebut rontok dengan sendirinya.
Sebaliknya, diskotek justru makin menjamur. Ini karena diskotek memang berbeda konsep dengan klub malam. Diskotek hanya menyuguhkan musik yang bisa bikin pengunjung ajojing sampai subuh. Namun klub malam sebetulnya nggak pernah benar-benar hilang sih, terutama di kota-kota besar yang konsepnya sudah banyak digabung dengan diskotek, tempat pijat, atau karaoke. Ya, terselubung gitu lah~