Produk menstruasi jadi kebutuhan utama perempuan yang wajib dibeli setiap bulan. Ada yang memilih pakai pembalut, tampon, atau menstrual cup. Tapi, sayangnya, nggak semua perempuan di dunia ini mampu buat membeli produk menstruasi lho. Menurut Chris W. Williams, direktur eksekutif Water Supply and Sanitation Collaborative Council, 1,2 miliar perempuan di dunia susah mendapatkan akses untuk sanitasi dasar dan kebersihan diri. Mereka bahkan kesulitan mendapatkan produk menstruasi, atau bahkan nggak mampu membelinya karena masalah ekonomi. Bagi mereka, beli makanan lebih penting daripada membeli pembalut.
Dikutip dari The Independent, wanita di Kibera, sebuah kawasan di Kenya, menjadi bagian dari 1,2 miliar perempuan yang sulit punya akses untuk kebutuhan sanitasi dasar. Karena nggak punya uang, mereka nggak bisa beli pembalut lho. Ada yang akhirnya terpaksa menggunakan kain bekas, selimut, bulu ayam, lumur, sampai koran. Parahnya lagi, jika ingin pakai pembalut sekali pakai, perempuan disana terpaksa menukarnya dengan seks. Yuk kulik bersama Hipwee News & Feature.
Menurut UNICEF, 65% wanita di Kibera, sebuah daerah miskin di Kenya, terjerumus dalam seks bebas untuk menukarnya dengan pembalut
Kibera adalah sebuah daerah miskin di Kenya. Para wanitanya nggak mendapatkan akses yang baik untuk memperoleh pembalut. Akibatnya, mereka terpaksa melakukan hubungan seksual untuk mendapatkan pembalut tiap bulan ketika mengalami menstruasi. Hubungan seks dilakukan dengan pengemudi taksi motor alias ojek yang punya akses untuk membeli pembalut dan memberikannya untuk mereka sebagai harga hubungan seks yang mereka lakukan.
Masalahnya, kemiskinan membuat mereka nggak mampu beli pembalut sendiri. Selain itu, akses untuk mendapatkan produk menstruasi juga sulit
Menurut Andrew Trevett, Unicef Kenya bagian Water, Sanitation and Hygiene, anak perempuan nggak punya uang untuk membeli pembalut karena kemiskinan. Selain itu, akses mendapatkan pembalut juga sulit di desa mereka. Jika mau pergi ke kota, mereka nggak mampu bayar biaya transportasinya. Sedangkan ketika ingin membeli di desa sebelah, aksesnya nggak ada karena belum ada jalan menuju kesana dan juga kendaraan yang bisa mengantar demi membeli pembalut.
Pembicaraan tentang menstruasi masih terasa tabu. Nggak ada tuh orang tua dan sekolah yang mengajarkan anak tentang menstruasi
Anak perempuan nggak terbiasa terbuka untuk membicarakan masalah menstruasi. Mereka malu dan takut ditertawakan. Di sekolah pun nggak banyak diajarkan mengenai menstruasi dan juga seks. Orang tua, yang seharusnya jadi salah satu sumber pengetahuan seks anaknya, nggak pernah menyinggung-nyinggung masalah menstruasi dan seks dengan anak perempuannya. Pendapat Ariana Youn, Unicef Kenya Communication and Advocacy Specialist, orang tua cenderung tertutup tentang menstruasi karena khawatir anaknya hamil dan nggak ingin pembicaraan tentang menstruasi akan menjurus pada pembicaraan tentang seks.
Nggak cuma Kenya yang sulit dapat pembalut karena kemiskinan. Di negara semaju Inggris pun, katanya masih banyak perempuan mengalami hal serupa sampai mengorbankan pendidikan
The Independent menulis bahwa ada 137.700 anak perempuan yang terpaksa tidak masuk sekolah karena menstruasi di Inggris selama tahun 2017. Meski mungkin tidak separah permasalahan di Kibera, Kenya yang sampai jadi krisis prostitusi, ternyata masih banyak anak-anak perempuan di negara seperti Inggris yang tidak mampu beli pembalut. Orangtua anak perempuan tersebut nggak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan anaknya terhadap produk menstruasi. Anaknya pun malu kalau harus sekolah dalam keadaan menstruasi tanpa menggunakan produk menstruasi apapun. Kalau di Inggris, akibatnya mereka memilih buat nggak masuk sekolah.
Seharusnya, akses anak perempuan terhadap pembalut itu jadi salah satu hak dasar perempuan. Nggak sewajarnya juga harga pembalut itu mahal
Ternyata, masalah tentang produk menstruasi ini nggak cuma dialami di negara-negara yang masyarakatnya sangat miskin seperti Kenya. Negara yang sudah maju, seperti Inggris juga mengalami hal yang serupa. Sayangnya, di Kenya, anak-anak perempuan yang baru saja menstruasi tersebut terpaksa menukar seks dengan pembalut untuk memenuhi kebutuhannya. Nggak jarang kebanyakan dari mereka pun hamil di usia yang masih muda. Sudah sewajarnya sih akses mendapatkan pembalut itu lebih mudah lagi dan harganya juga harusnya wajar agar warga miskin pun bisa tetap beli pembalut.