Pekerjaan Call Center | Credit: Hipwee via www.hipwee.com
Bekerja bagi beberapa orang bukan hanya sebagai aktivitas harian, melainkan sebuah kebutuhan untuk mendapatkan penghasilan. Demi mengais rupiah, terkadang ada yang bekerja melebihi batas waktu hingga sulit membedakan bahwa kamu masih punya dunia lain yang semestinya nggak diabaikan. Pekerjaan yang sampai mengganggu aktivitas harian tentu bukan hal yang menenangkan, apalagi jika sampai melebihi batas fisik dan mental.
Umumnya, jika seseorang sudah merasa pekerjaannya berdampak ke kondisi fisik, masih ada pilihan untuk istirahat sejenak, misalnya dengan mengambil cuti. Namun, akan berbeda halnya jika justru kesehatan mental yang terganggu. Mau bagaimana pun caranya untuk beristirahat, jika pikiran dan jiwa nggak dalam kondisi yang baik, semua yang dilakukan akan salah dan berujung ke menurunnya performa.
Maka dari itu, penting banget untuk mempunyai kesehatan mental yang stabil di tempat kerja. Setiap profesi tentunya memiliki risiko tersendiri, terlebih bagi mereka yang dituntut untuk bekerja cepat dalam waktu yang kadang melebihi batas. Nah, kali ini Hipwee Premium berkesempatan untuk bertanya langsung kepada sosok di balik layar yang kerap mendapatkan keluhan, bahkan sampai makian, setiap hari dari konsumen. Pekerjaan mereka yang berhubungan dengan banyak orang nyatanya juga rentan dengan kondisi kesehatan mental. Untuk kisah lengkapnya, langsung simak uraian di bawah ini yuk!
ADVERTISEMENTS
Bekerja merupakan hal positif yang membuat kita menjadi lebih produktif. Namun, jika kondisi psikologis yang dikorbankan terus menerus bisa jadi itu red flag
Kesehatan mental di pekerjaan | Credit: Alex Kotliarskyi on Unsplash
Bekerja bisa membuka kesempatan bersosialisasi dengan orang lain. Di samping bisa mengasah keterampilan, adanya pekerjaan juga membuat kita termotivasi untuk melanjutkan hidup dan mencapai tujuan yang sudah dirangkai. Namun, dalam situasi tertentu, pikiran para pekerja bisa terkuras yang disebabkan oleh beragam faktor.
Kondisi itu bisa terjadi karena lingkungan kerja yang nggak menyenangkan, kolega yang bikin geram, budaya kantor yang minim apresiasi, atau sikap perusahaan yang nggak memerhatikan kebutuhan khusus karyawan per individu. Bahkan, mereka yang memendam duka di lingkungan pekerjaan yang toksik justru mampu menimbulkan tekanan hingga memicu gangguan kecemasan dan depresi.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, sudah dijelaskan bahwa dalam mempekerjakan seseorang, pemilik wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental dan fisik karyawannya. Sayangnya, tak semua perusahaan menerapkan aturan tersebut dalam sistem yang dibuat.
ADVERTISEMENTS
Anggapan terus bekerja jika badan masih bisa digerakkan tentu salah kaprah. Ini mengindikasikan bagaimana kesehatan mental karyawan belum dianggap penting
Akhir Mei 2021 silam, seorang pengusaha sempat meramaikan jagat Twitter melalui video yang diunggah di TikTok. Ia mengatakan bahwa karyawan yang kerap izin sakit sebenarnya hanya ingin menyabotase perusahaan. Menurutnya, apabila masih bisa bangun, jalan, makan, dan naik kendaraan artinya bisa ke kantor. Budaya seperti ini yang menandakan bahwa kesehatan mental belum dianggap hal yang serius.
Kepada Hipwee Premium, Mutia menceritakan pengalaman tak mengenakkan menjadi pekerja di sebuah perusahaan yang belum memberi perhatian penuh pada karyawannya. Padahal, profesinya kala itu sebagai call center menuntut dirinya untuk mendengarkan keluhan konsumen selama berjam-jam, bahkan tak jarang dibumbui dengan makian dan bahasa yang kasar.
“Nggak sedikit yang telepon sambil marah-marah dan mencaci maki. Ibaratnya ngerasa dimarahin 9 jam setiap hari. Dampaknya, awal-awal jadi menghindar ngomong sama orang karena sudah lelah. Terkadang jadi sensi, terbawa sampai rumah, hingga menganggu hubungan dengan keluarga. Kayak setiap ditanya aku sudah malas menjelaskannya,” paparnya.
Mutia juga sempat berpikir bahwa dirinya terlalu lemah untuk menerima beban kerja. Selama 3 bulan menjalani masa percobaan, ia sempat mendapat sikap kurang menyenangkan, yakni dilarang pulang karena sakit. Saat badannya sudah tak enak, Mutia disarankan untuk minum obat dan istirahat 1 jam sebelum akhirnya dituntut untuk bekerja kembali. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan ia mantap untuk meninggalkan pekerjaan yang awalnya ia pilih karena value, bukan sekadar uang semata.
“Jadi call center menurutku butuh yang namanya fasilitas kesehatan mental, mengingat setiap hari mendengarkan komplain customer. Kalau berhubungan sama orang banyak dan pressure kerja yang tinggi harusnya diadakan, (karena) ngaruh ke performa kerja dan hubungan antar pekerja. Kadang bisa konflik sesama pekerja karena sensi,” papar perempuan berusia 26 tahun ini.
ADVERTISEMENTS
Meski demikian, nyatanya ada juga perusahaan yang menunjang kesehatan mental karyawannya dengan beragam fasilitas
Keuntungan perusahaan peduli kesehatan mental | Credit: Hipwee
Berprofesi sebagai seorang call center juga sempat dijalani Aulia. Bekerja dengan perusahaan telekomunikasi yang berpusat di Malaysia mengharuskan dirinya untuk bisa memahami keluhan dari beragam pandangan, termasuk dalam penggunaan tutur kata yang mayoritas memakai bahasa Inggris dan Melayu. Ia bercerita bahwa pengalaman pertama kali bekerja dengan ritme yang cukup berbeda membuat dirinya tak luput dari tekanan. Beragam sifat pelanggan ia tangani, dari mulai yang sopan sampai yang paling bikin geleng-geleng kepala.
“Tiga bulan awal-awal onboard itu setiap hari kita pakai headphone gitu, kan. Nah, itu ada nada deringnya ‘tutt tuttt’, itu kadang sampai kebawa tidur, jadi di mimpi itu kayak masih jawab call. Kita menanganinya juga harus sesuai SOP. Klien kami agak rewel ya, jadi misal tak sesuai, ibarat katanya ada rapot merah. Aku pernah dikatain cuma nggak sampai trauma gimana, tapi ada temanku karena nggak kuat dikata-katain dia akhirnya resign mendadak,” papar Aulia.
Tahu risiko sebagai seorang call center rentan dengan kondisi psikologis, bersyukurnya kantor tempat ia bekerja menyediakan fasilitas penunjang. Misalnya, dijadwalkan kelas yoga atau senam untuk hari tertentu, diberi fasilitas entertainment room di mana karyawan bisa menghilangkan penat dengan aktivitas lain, hingga layanan konseling bersama psikolog untuk pekerja yang baru bergabung sebagai tim.
“Kesehatan mental di pekerjaan itu penting banget karena pelanggan itu kan macam-macam sifatnya. Ada yang baik banget sampai yang kita nggak ngerti mau gimana lagi juga ada. Jadi, kalau misal tiba-tiba muncul anxiety itu agak sulit karena bisa sebabkan kita blank. Tapi, biasanya disediakan floor support, misal kita nggak taking call dia bisa lebih (mengatasi) karena jernih pikirannya,” sambung Aulia.
ADVERTISEMENTS
Maka, sudah sewajarnya perusahaan menyadari pentingnya kesehatan mental karyawan
Masih banyak pihak, termasuk perusahaan yang perlu diingatkan bahwa kesehatan setiap orang nggak hanya dilihat dari fisik saja, tetapi juga mental. Kantor mempunyai peran penting untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi karyawan, melihat banyak waktu yang dihabiskan di lingkungan pekerjaan dalam setiap minggunya. Bahkan, seringkali beban kerja membuat kita lupa dengan kesehatan padahal alarm burnout sudah mengeluarkan tandanya.
Alih-alih terus melenggangkan sistem yang seperti ini, perusahan sudah sepatutnya berkontribusi positif terhadap kesehatan mental pekerja. Toh, manfaat yang didapat juga menguntungkan kok. Selain performa pekerja semakin baik, perusahaan juga bisa membangun citra positif yang ramah akan psikologis masing-masing orang.
Beberapa perusahaan kini juga mulai menyadari akan pentingnya kesehatan mental. Mereka bahkan berani mengeluarkan biaya untuk mengadakan layanan konseling dengan mendatangkan konselor. Semoga penerapan hal ini bisa terus menjadi motivasi supaya kedua belah pihak memiliki hubungan timbal balik yang saling memberi manfaat.