Kerajaan fiktif di Indonesia | Credit: Hipwee via www.hipwee.com
Indonesia dikenal sebagai negara yang miliki silsilah sejarah panjang tak terlupakan. Masa kejayaan kerajaan di Nusantara bahkan sempat terjadi pada abad ke-9 lewat Kerajaan Sriwijaya. Berbagai komoditas unggulan hingga kekuatan maritim kala itu mendominasi kawasan Asia Tenggara.
Belum lagi, masa keemasan Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Dikatakan dalam Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit mencakup Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Semenanjung Malaysia, Singapura, sebagian Thailand dan sebagian Filipina. Tak heran, jika kala itu Majapahit memberikan kemakmuran kepada rakyatnya sejalan dengan kemajuan ekonomi.
Namun, hal tersebut nyatanya adalah sejarah yang terjadi di masa lampau. Bagaimana jadinya jika di masa sekarang ada sekelompok orang yang mengklaim sebagai pimpinan dari sebuah kerajaan? Beberapa waktu belakangan ini, publik dikejutkan dengan fenomena kerajaan fiktif yang semakin marak diberitakan. Meski terdengar hanya tipu-tipu belaka, deretan kerajaan fiktif ini nyatanya mampu meyakinkan sebagian masyarakat untuk bergabung di dalamnya. Untuk menjawab fenomena yang ramai belakangan, berikut Hipwee Premium berikan ulasan menarik seputar kerajaan fiktif tersebut.
ADVERTISEMENTS
Menambah daftar panjang kasus serupa, kejadian seperti ini bukan satu dua kali terjadi di Indonesia
Belakangan, masyarakat dihebohkan dengan munculnya kerajaan baru bernama Angling Dharma yang dipimpin oleh seseorang bernama Iskandar Jamaludin Firdaus, seorang pria paruh baya yang berasal dari Pandeglang, Banten. Menurut pengawal sang pemimpin, Kerajaan Angling Dharma telah berdiri sejak 2004 saat Iskandar Jamaludin “turun gunung” dan diangkat sebagai raja. Ia enggan menceritakan bagaimana proses penobatan tersebut. Tetapi, yang diyakini, pemilihan Iskandar Jamaludin itu berurusan dengan hal gaib.
Kemunculan raja atau ratu dari antah berantah seperti ini sebenarnya bukanlah kasus baru, salah satunya terjadi di wilayah Jawa Barat. Saat seorang pria yang bernama Rangga Sasana muncul ke permukaan menyebut dirinya sebagai pendiri dari Sunda Empire. Dikatakan bahwa kerajaan fiktif ini dibuat untuk menciptakan tatanan bumi baru yang bertujuan meyelamatkan seluruh umat manusia. Mencap dirinya sebagai raja dari seluruh kerajaan di dunia, sayangnya pada tanggal 28 Januari 2020, Rangga Sasana beserta tiga orang lainnya dibekuk pihak berwajib dengan dugaan kasus penyebaran berita bohong terkait Sunda Empire yang menyebabkan keonaran.
Di sisi lain, ada juga kerajaan Kandang Wesi Tunggul Rahayu yang berpusat di Garut. Mereka sampai menerbitkan uang sendiri yang digunakan untuk alat transaksi sesama anggotanya lo. Bahkan, kelompok ini diduga mengubah lambang burung garuda yang merupakan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelompok ini diketahui keberadaannya oleh Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas), Kabupaten Garut, 8 September 2020 silam.
ADVERTISEMENTS
Kemunculan mereka membawa motif yang berbeda. Bukan hanya ingin mendapatkan kepercayaan publik, ada juga yang menjadikannya sarana penipuan
Kerajaan fiktif yang sempat buat heboh | Credit: Hipwee
Tindakan dan ucapan mereka kemudian diliput oleh media secara luas dan menimbulkan kontroversi. Tak lama, pada 14 Januari 2020 Polda Jateng menahan pasangan ini. Kemudian, mereka ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penipuan dan kebohongan. Keduanya disebut menarik dana dari masyarakat dengan menggunakan tipu daya melaui simbol-simbol kerajaan dengan harapan kehidupan akan berubah. Sebagian masyarakat dijanjikan terhindar dari malapetaka apalabila bergabung menjadi pengikut.Munculnya kerajaan fiktif didasari pada beragam alasan, mulai dari ingin menyebarkan ajaran yang menurut mereka benar hingga berniat menipu daya seseorang untuk mendapatkan keuntungan. Sama halnya dengan terbongkarnya kerajaan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Toto Santoso berserta istrinya, Fanni Aminadia menyebut diri sebagai raja dan permaisuri dari kerajaan tersebut. Hal ini pertama kali dikenal luas setelah mereka menggelar acara Wilujengan dan Kirab Budaya.
Yang tak habis pikir, penipuan berkedok keraton ini mampu menjerat hingga puluhan korban. Rata-rata dari korbannya yang memiliki usia renta dijanjikan jabatan dan gaji dolar oleh Toto dan antek-anteknya. Berkat terbongkarnya kasus ini, Toto dan Fanni dikenakan pasal 14 UU RI No.1 tahun 1946 tentang peraturan hukum dan pidana.
“Barang siapa menyiarkan berita atau pemberitaan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan/atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan”.
ADVERTISEMENTS
Lantas, mengapa masih ada saja masyarakat yang tertipu muslihat kerajaan fiktif untuk menggaet pengikutnya?
Menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia, maraknya fenomena kerajaan fiktif terbagi atas dua hal, yakni motif dan tren meningkatnya ketidakpercayaan publik. Masyarakat cenderung percaya dengan hal yang berbau konspirasi, spekulasi dan mistis untuk menjawab rasa penasaran mereka secara singkat.
Tren seperti ini, nyatanya tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Termasuk negara barat yang mempunyai pola pikir terbuka serta kemampuan finansial yang lebih baik dibandingkan masyarakat Indonesia.
“Ini tidak ada hubungannya dengan suku, agama dan ras. Tetapi, ini lebih terkait pada kondisi, satu sosial politik masyarakat. Kedua, rasa kemanusiaan itu sendiri,” kata Devie Rahmawati kepada Kompas.com.
Para pengikut yang terjerat kemungkinan tak percaya dengan tatanan sistem yang sekarang, mulai dari pemerintah hingga media. Maka dari itu, ketika mendengar kerajaan baru, mereka berpikir seolah akan kembali ke masa kejayaan yang dianggap sebagai kehidupan paling baik untuk diterapkan kembali pada masa sekarang.
Belum lagi orang akan mudah terpedaya jika belum mempunyai tujuan hidup yang jelas atau mereka memiliki keinginan yang belum kesampaian. Adanya kerajaan tersebut seperti membuka harapan dan jaminan kepada hidup mereka. Aksi kerajaan fiktif ini sebenarnya seperti modus, di mana mereka perlahan-lahan mendoktrin seseorang untuk percaya sebelum akhirnya mengambil keuntungan.
Maka dari itu, masyarakat perlu berhati-hati dan sebaiknya tak terlalu membesarkan. Pasalnya, semakin ramai dibahas, pada akhirnya malah akan semakin mendapat perhatian. Jika memang terlihat merugikan, langsung saja dilaporkan ke pihak yang berwajib. Semoga fenomena kerajaan fiktif di Indonesia yang memberi dampak buruk bisa segera berakhir. Pemerintah dan masyarakat harus saling bersinegri untuk meningkatkan daya kritis melalui pendidikan.