Bagi saya yang bukan merupakan seorang fanatik dunia hiburan Korea, berita tentang kasus kematian Sulli pada Senin lalu ternyata tetap membuka hati dan juga mata saya. Kepergian setelah keputusannya untuk mengakhiri hidup dengan tragis tentu menyisakan duka yang teramat mendalam bagi siapapun yang merasa dekat dengannya.
Seperti biasa, kita semua nyaris tak bisa bertindak dengan bijak dalam menanggapi masalah seseorang, bahkan setelah orang tersebut pergi meninggalkan dunia. Mengetahui Sulli mengakhiri hidupnya karena ejekan para warganet di media sosial seakan membuat saya semakin percaya bahwa dunia adalah hal yang begitu mengerikan. Seorang pembunuh bisa memilih caranya sendiri untuk mengakhiri hidup orang lain. Tapi kita semua memilih cara yang paling gila yang pernah ada.
Sadar nggak sih? Membunuh orang lain secara perlahan dengan komentar-komentar nyinyir seolah adalah hobi kita semua
Tak bisa dimungkiri, dunia maya adalah tempat yang tak kalah menakutkan dibandingkan dengan dunia nyata. Bahkan, seringkali terasa lebih mengerikan dalam beberapa hal. Kita semua dapat bertindak sebagai apapun dan siapapun untuk ikut campur dalam segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Merasa berhak ikut campur dan mengomentari kehidupan seseorang yang bahkan tak pernah kita kenal sebelumnya, sepertinya menjadi penyakit serius yang terus menggerogoti bak kanker. Belum lagi bagaimana kita juga merasa berhak menentukan arah dan tujuan hidup orang lain.
Kurus dikit, dikomentari, giliran tubuhnya berisi dibilang gemuk. Make-up terlalu tebal dibilang norak, ketika tampil tanpa riasan dibilang sok sederhana. Iya, kita memang semenyeramkan itu. Tanpa kita sadar, hal-hal yang mungkin terlihat sepele itu ternyata bagai pelatuk bagi seseorang.
Berita kematian karena bunuh diri memang terdengar miris, tapi kita semua lebih miris, membunuh seseorang pelan-pelan dengan menghancurkan mentalnya
Obituari terkait kasus bunuh diri tentu membuat siapapun yang mendengarnya menjadi bertanya-tanya. Perihal apa yang ada di belakangnya hingga orang-orang tersebut rela mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Ada pepatah mengatakan, “Ada kalanya seseorang tak benar-benar hidup, ia hanya sekedar bernapas”. Dan, mirisnya, seringkali kita tak sadar bahwa kitalah sebagai orang lain bagi mereka yang membuatnya merasakan demikian.
Sampai saat ini saya percaya, mengakhiri hidup seseorang secara langsung dengan cara-cara atau benda tertentu adalah sebuah tindakan yang begitu mengerikan. Hingga pada suatu titik tertentu, saya menyadari bahwa membunuh seseorang secara perlahan adalah hal yang lebih sadis yang nyaris pernah kita semua lakukan selama hidup.
Kasus ini adalah peringatan bagi kita semua, bahwa kebahagiaan itu tak melulu tentang ketenaran, kecantikan, atau bahkan tentang kekayaan
“Orang-orang terkenal kayak artis gitu kenapa harus bunuh diri sih? Kaya iya, hidupnya enak iya, punya apa aja, party juga bisa tiap hari, banyak fans pula, kurang apalagi sih!?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus terngiang di benak saya setiap kali ada berita tentang kasus bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang terkenal. Kita selalu menganggap bahwa kebahagiaan adalah hal yang didapat dari sesuatu yang dapat kita lihat secara fisik. Uang, harta benda, keluarga, teman dekat, dan hal-hal lainnya.
Kita melewatkan satu poin di mana kebahagiaan adalah hal yang juga berasal dari sesuatu yang tak terlihat. Kasih sayang mungkin adalah salah satunya. Bahkan, kenangan-kenangan buruk di masa lalu juga punya pengaruh kuat terhadap apa yang kita jalani dan rasakan selama ini lo. Kita nggak tahu kan apa yang telah dilewati oleh orang lain?
Terakhir, hal terjahat yang mungkin pernah kita lakukan adalah tidak benar-benar menanggapi secara serius keluhan hidup seseorang, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian kita hanya bisa berkata, “Selamat jalan, semoga tenang”. Seolah-olah kita peduli, padahal tidak. Betapa mengerikannya kita ini.