Tak ada yang lebih pedih dibanding kehilangan orang tercinta secara mendadak, tanpa aba-aba. Walau mantra “umur tidak ada yang tahu” sudah tersemat dalam benak, namun menghadapi kenyataan sepahit itu tetap tak semudah yang dibayangkan. Rasa ikhlas yang jadi kunci untuk bisa melepaskan dan merelakan, rasanya tak serta merta sanggup menghapus kepedihan yang datang. Benar kata Unge —sapaan Bunga Citra Lestari— yang baru saja kehilangan sosok suami yang begitu ia cintai, Ashraf Sinclair. Katanya, semua terasa seperti mimpi buruk. Mimpi buruk yang nyata.
Selamat jalan, Ashraf.. Unge dan Noah yang tabah ya.. Satu hal yang terngiang2 terus daritadi waktu Unge meluk gue dan bilang “It’s like a bad dream Ndien.. But it’s real” .. Aku speechless.. :’( @bclsinclair pic.twitter.com/npKsvrNs2e
— Andien Aisyah (@andienaisyah) February 18, 2020
Banyak yang bilang, kesedihan akan semakin terasa saat semua pelayat sudah pulang, keluarga kembali ke rumah masing-masing, dan roda kehidupan berputar lagi, meninggalkan kita yang masih berusaha berdamai dengan keadaan. Mencoba tetap berjalan, walau hati terasa kehilangan. Faktanya, tak semua orang berhasil melewati fase ini. Hingga sebuah penelitian membuktikan bahwa kematian orang terkasih ternyata bisa meningkatkan risiko gangguan mental, meski sebelumnya tidak ada riwayat apa-apa.
ADVERTISEMENTS
Kematian orang terdekat yang terjadi secara tiba-tiba ternyata bisa memengaruhi kondisi mental seseorang. Ia lebih rentan terkena depresi, anxiety, dan gangguan mental lainnya
Kata studi yang pernah dilakukan 3 institusi pendidikan sekaligus; Columbia University’s Mailman School of Public Health, Columbia’s School of Social Work, dan Harvard Medical School, kematian orang tercinta secara mendadak bisa meningkatkan risiko gangguan kejiwaan dua kali lipat pada orang berusia 30 tahun ke atas. Pada usia 50-70 tahun risiko naik lagi jadi lima kali lipat.
Fakta di atas mereka temukan setelah mengumpulkan berbagai data termasuk tanda gangguan kejiwaan sebelumnya, pengalaman traumatis, status demografis tertentu seperti jenis kelamin, ras, sampai pendapatan, pendidikan, dan status perkawinan. Hasilnya ternyata, gangguan kejiwaan tetap mungkin muncul pada orang yang tidak punya riwayat penyakit mental sekalipun. Sekuat itu lah kepedihan yang dirasakan saat orang kesayangan meninggal dunia.
ADVERTISEMENTS
Gangguan kejiwaan yang dimaksud dalam penelitian di atas ada beragam bentuknya, mulai dari depresi sampai fobia
Bayangkan aja, orang yang sebelumnya tampak dalam kondisi baik dan masih berinteraksi dengan kita seperti biasanya, tiba-tiba saja nggak sadarkan diri. Saat dibawa ke rumah sakit, ternyata nyawanya sudah nggak tertolong. Pasti rasanya seperti dihujam pisau belati.
Seakan wajar jika peristiwa traumatis di atas memicu sejumlah masalah kejiwaan seperti depresi berat, gangguan kecemasan, panic disorder, PTSD, fobia, bahkan kecanduan alkohol. Risiko-risiko itu tentu akan semakin meningkat kalau orang yang berduka ini nggak mendapat pertolongan apapun. Makanya riset di atas sekalian mengingatkan para petugas medis kalau orang yang sehat, bahagia, dan ceria juga bisa kena gangguan kejiwaan setelah kematian orang yang dicintainya.
Tidak ada yang pernah rela dengan adanya perpisahan secara mendadak. Seandainya Tuhan bisa diajak kompromi, mungkin semua orang bakal menolak dipisahkan dengan orang-orang kesayangannya. Tapi, takdir telah tertulis rapi, semua orang sudah punya agenda kematiannya sendiri-sendiri. Jika ada di antara kalian yang baru saja ditinggal orang terkasih dan merasa butuh dukungan mental, jangan ragu untuk menemui psikolog atau ahli kejiwaan. Ceritakan semuanya, percayakan bahwa mereka mampu membantu kalian. Tetap semangat, ya!