Teknologi banyak membuat sesuatu yang tampak tidak mungkin menjadi mungkin. Salah satu inovasi baru yang harus kamu tahu adalah terobosan revolusioner dalam dunia pangan ini. Kita semua tahu, makanan yang kita makan diproduksi itu pastinya berasal dari hasil pertanian atau peternakan. Tapi sejumlah ilmuwan Finlandia berhasil membuat makanan bernutrisi tanpa harus ditanam atau diternakkan. Mereka menciptakan alat yang bisa mengubah air, karbon dioksida, dan mikroba menjadi bubuk makanan yang sama-sama mengenyangkan.
Katanya sih teknologi ini bisa dijadikan solusi mengatasi masalah kelaparan yang masih banyak melanda negara-negara di dunia. Menurut PBB, kira-kira 1 dari 9 orang atau sekitar 795 juta orang di dunia ini masih dilanda kelaparan. Wah kabar bagus buat kita semua dong! Yuk simak info selengkapnya bareng Hipwee News & Feature!
ADVERTISEMENTS
Teknologi ini dinamakan ‘Food From Electricity‘, yang mengubah sejumlah komponen menjadi bubuk tinggi protein dan karbohidrat dengan tenaga listrik
Sekelompok peneliti dari Finlandia telah mengembangkan sebuah teknologi bioreaktor yang disinyalir menjadi angin segar di industri pangan. Proyek ini merupakan kolaborasi antara Lappeenranta University of Technology dan the VTT Technical Research Centre of Finland. ‘Food From Electricity’, nama proyek yang dimaksud, dianggap 10 kali lebih efektif dibanding proses fotosintesis yang terjadi pada tanaman. Produk yang dihasilkan melalui alat itu berupa bubuk yang mengandung lebih dari 50% protein dan 25% karbohidrat. Dengan kandungan tersebut tentu saja bubuk ini sama mengenyangkannya dengan makanan yang sehari-hari kita makan.
Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi bubuk ini hanyalah air, karbondioksida, dan sejumlah mikroba. Bahan-bahan tersebut kemudian dialiri listrik sehingga terjadi pembusukan kimia (electrolysis) di dalam bioreaktor. Listrik menjadi satu komponen penting dalam teknologi ini. Sehingga, untuk memproduksi bahan makanan tidak lagi perlu mengatur kelembaban, temperatur, atau kualitas tanah.
ADVERTISEMENTS
Bubuk yang sekilas tampak biasa saja ini, digadang-gadang bisa jadi solusi untuk mengatasi kelaparan terlebih di area dengan kualitas kesuburan tanah rendah
Di zaman sekarang ketika restoran fast food dan mini market menjamur di mana-mana, tampaknya memang susah membayangkan bahwa kelaparan itu masih mengancam 795 juta orang di dunia. Termasuk orang-orang Indonesia yang tinggal di kota besar, mungkin tidak sadar kalau masalah kelaparan Indonesia itu tergolong serius. Apalagi di negara-negara Afrika yang jelas-jelas kering kerontang, kelaparan dan gizi buruk jadi momok mengerikan yang memotong angka harapan hidup di sana secara signifikan.
Nah, ‘Food From Electricity’ ini dianggap solusi yang masuk akal untuk masalah tersebut. Apalagi di benua Afrika yang umumnya memiliki masalah kesuburan tanah dan kekurangan air.
ADVERTISEMENTS
Selain bisa menjawab masalah kelaparan, teknologi ini juga mampu membantu mengurangi perubahan iklim akibat aktivitas di peternakan atau pertanian
Tahukah kamu kalau emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global salah satunya berasal dari industri pabrik? Menurut US Environmental Protection Agency (US EPA), industri menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua, termasuk industri makanan, yakni sebesar 19%. Bayangkan saja, untuk dapat ‘menghidupi’ pertanian atau peternakan, orang akan membutuhkan pangan untuk ternak atau tanaman mereka. Pangan itu sendiri dibuat oleh pabrik. Aktivitas pabrik itulah yang bisa berpengaruh pada kondisi lingkungan, seperti meningkatkan pemanasan global.
Nah dengan ‘Food From Electricity’, permintaan akan pangan tersebut bisa dikurangi karena untuk dapat memproduksi makanan manusia, berternak atau bertani tidak lagi dibutuhkan.
ADVERTISEMENTS
Sayangnya, teknologi ini masih dalam tahap perkembangan dan jauh dari kata sempurna. Katanya sih setidaknya butuh 10 tahun lagi untuk bisa benar-benar digunakan publik
Para ilmuwan dalam proyek ini mengaku masih terus mengembangkan ‘Food From Electricity’ karena menurut mereka alat tersebut belum bisa dibilang efektif. Sistem bioreaktor garapan mereka masih menghabiskan waktu setidaknya 2 minggu untuk menghasilkan 1 gram protein.  Juha-Pekka Pitkänen, ketua ilmuwan di VTT, mengatakan bahwa timnya saat ini masih fokus mengembangkan konsep reaktornya, meningkatkan efisiensi, dan proses kontrol. Setidaknya mereka butuh waktu kurang lebih 10 tahun sebelum teknologi ini benar-benar diperjualbelikan untuk publik.
Mereka juga bilang sih kalau komersialisasi bioreaktor ini juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dunia. Ya, semoga saja tujuan utama dikembangkannya teknologi ini bisa benar-benar terwujud ya meski belum pasti kapan..