Tak hanya terbakar hebat dan tidak terkendali, asap pekatnya kini juga telah ‘menyandera’ kehidupan warga sekitar
Baru setelah kita (kembali) mengalami tragedi yang saat ini sedang melanda Kalimantan dan Sumatera, semua orang sontak bersahutan saling berdebat mempersoalkan masalah kebakaran hutan dan kabut asap. Dari pertanyaan ‘kenapa hutan bisa terbakar sebegitu hebatnya’ sampai ‘ini semua sebenarnya salah siapa‘ — kita tenggelam dalam kepanikan untuk segera mencari solusi sambil terus berdebat menyalahkan satu sama lain.
Banyak yang menyalahkan pemerintah, banyak juga yang menuding ini ulah korporasi. Seorang pejabat pun dikritik habis-habisan karena cuitan Twitter-nya yang menyebutkan bahwa kabut asap ini adalah bencana yang datangnya dari Tuhan, disertai imbauan kepada masyarakat untuk lebih bersabar dan banyak berdoa. Walaupun mungkin kita akan terus berdebat terkait pertanyaan ‘siapa’, tapi jelas tangan-tangan manusialah yang bertanggung jawab atas semua kerusakan hutan dan lingkungan.
Bisa jadi semua manusia itu bersalah, tanpa terkecuali. Pasalnya, selama ini manusia merasa bisa terus mengambil dan memanfaatkan apa pun yang ada di alam sepuas hati kita. Baru setelah semuanya rusak, habis, atau terbakar, kita kelimpungan mempertanyakan ‘apa yang salah‘.
ADVERTISEMENTS
1. Sedari dulu kala, sayangnya, kemajuan peradaban manusia memang sering ‘dibayar’ dengan pengurangan lahan hijau secara masif di mana-mana. Bukan cuma untuk perkebunan sawit yang kini diperdebatkan saja…
Alam telah menyokong hidup kita dalam hal terkecil sekalipun. Setiap tetes minyak goreng yang kita gunakan untuk masak berasal dari perkebunan sawit. Begitu juga dengan mentega, pasta gigi, hingga krim kecantikan. Kita menikmati semuanya tanpa sadar kalau ada pengorbanan besar di baliknya. Jutaan hektar hutan telah dibakar sampai ludes demi kita. Berdasarkan laporan Bupati Pelalawan, 80% hutan yang terbakar di Riau selalu dijadikan perkebunan sawit.
Nggak hanya perkebunan sawit yang diam-diam “menjajah” hutan. Tahukah kamu, sebetulnya peternakan juga turut memiliki andil. Di balik daging sapi yang kita santap dengan nikmatnya, ada hutan yang dibakar untuk dijadikan lahan peternakan. Inilah yang membuat Hutan Amazon berubah menjadi lautan api. Namun aksi para pembakar liar nggak ditindak dengan tegas. Pemerintah Brasil justru memberi insentif pada orang-orang yang memperluas lahan peternakan. Mau jadi apa nantinya kalau seluruh hutan habis terbakar?
ADVERTISEMENTS
2. Bisa menulis di secarik kertas pun, sebenarnya sebuah kemewahan dan kenyamanan yang kita dapat dari pemanfaatan hutan. Bahayanya, tak banyak orang yang paham konsekuensinya terhadap kelestarian hutan
Kita memang membutuhkan kertas dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari menulis di buku catatan hingga mencetak berlembar-lembar tugas kuliah. Namun semakin banyak kertas yang kita gunakan, semakin banyak pula pepohonan yang ditebang. Sebab kertas terbuat dari serat pohon yang nantinya diolah menjadi bubur kayu. Barulah setelah itu dicetak menjadi kertas tipis seperti yang sering kita lihat. Proses panjang itu membutuhkan pengorbanan yang nggak main-main. Untuk memproduksi 1 rim kertas saja (500 lembar), satu pohon berusia 5 tahun harus ditebang.
Bayangkan berapa pohon yang sudah ditebang selama ini? Tentu saja bukan hanya kertas. Ada banyak kenyamanan modern yang kita sering pakai tanpa berpikir panjang, tapi sebenarnya berpotensi merusak keseimbangan alam.
ADVERTISEMENTS
3. Semakin banyak jumlah manusia, makin banyak pula kebutuhan yang akhirnya ditanggungkan ke alam. Seringkali tanpa ada niat untuk balas jasa atau sekadar menjaga keberlangsungannya
Selama ini kita terlalu keenakan bergantung pada alam. Padahal kalau alam bisa bersuara, tentu mereka sudah protes dan menangis karena dirusak tanpa henti. Padahal alam telah memberi isyarat berupa berbagai bencana. Semestinya kita bertindak adil pada alam. Ke depannya, kita harus bisa merelakan kenyaman-kenyamanan demi secercah harapan untuk kembali memperbaikin kondisi lingkungan seperti sedia kala. Supaya anak cucu kita nanti juga bisa menikmati hijaunya bumi ini.
ADVERTISEMENTS
4. Dari sedikit lahan hijau yang tertinggal, akhirnya berusaha dilindungi dengan label hutan lindung atau taman nasional. Sedihnya, area dilindungi sekalipun, nyatanya masih bisa terjeramah keserakahan manusia
Di saat hutan lindung menjadi harapan terakhir kelestarian alam, manusia tetap bisa saja merusaknya demi keserakahan semata. Pasti kamu juga pernah dengar ‘kan berita-berita miris seperti bagaimana pemburu liar sampai menerobos taman nasional untuk memburu gading gajah atau cula badak. Padahal area dan hewan-hewan di dalamnya sudah mendapat label ‘dilindungi’, namun tetap saja sejumlah orang yang terbutakan materi itu tidak peduli.
ADVERTISEMENTS
5. Di tengah keegoisan manusia memenuhi kebutuhan dan nafsunya masing-masing, alam pun makin tak bisa menyembuhkan diri. Musim kemarau yang makin panjang, jadi ancaman serius untuk hutan-hutan yang tersisa
Nggak hanya keserakahan manusia yang membuat hutan menderita. Gara-gara musim kemarau panjang, hutan-hutan kekeringan dan makin tak bisa memulihkan dirinya. Seluruh satwa yang tinggal di sana pun terkena dampaknya. Mereka kesulitan memperoleh makanan dan pelahan-lahan mati kelaparan. Hal yang sama bisa terjadi pula pada kita semua. Jika hutan menjadi kering, oksigen yang kita hirup akan berkurang dan udara menjadi panas. Pada akhirnya seluruh makhluk hidup di bumi akan terkena imbasnya. Mengerikan sekali, bukan?
ADVERTISEMENTS
6. Tiap tahunnya kita seakan-akan jadi tak berdaya dan hanya bisa menanti kira-kira kebakaran hutan tahun ini seberapa parah ya. Sembari berharap alam kembali membantu kita semua dengan menurunkan hujan
Kabar tentang kebakaran hutan sering kita dengar di mana-mana. Banyak orang yang terganggu oleh asapnya, bahkan seorang balita di Sumatera Selatan diduga meninggal karena menghirup asap tersebut. Kira-kira bakal separah apa berita yang akan kita dengar di masa depan? Kita pun berharap-harap cemas agar hujan cepat turun dan memadamkan kebakaran hutan. Sampai kapan kita hendak menggantungkan harapan pada alam semata? Padahal sebagai manusia yang pintar, kita bisa mengusahakan solusi lain yang lebih baik. Tapi itu kalau peduli, sih~
7. Bisa saja terus pilih tunjuk siapa yang salah, tapi sejatinya kita semua sedang tercekik asap perbuatan kita sendiri. Bukan cuma solusi untuk tragedi di Sumatera dan Kalimantan saat ini saja, tapi komitmen panjang untuk masa depan
Di saat kondisi sudah terlalu parah, kita saling tunjuk siapa yang salah. Apakah pemerintah, perusahaan sawit, peternak, atau lainnya? Padahal sebetulnya kesalahan terletak pada kita semua. Ya, kita, termasuk kamu yang sekarang sedang membaca artikel ini. Sudah saatnya kita membuka mata dan menyadari kesalahan sendiri.
Sebesar apa pun kesalahan manusia, kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Mari berhenti saling menyalahkan atas rusaknya hutan. Lebih baik kita sama-sama introspeksi diri dan mencari solusi yang paling tepat. Jangan sampai terpecah-belah dalam situasi genting ini. Sebagai gantinya, kita justru harus lebih kompak untuk menyelamatkan alam.