Ketika mencicipi mata pelajaran Geografi untuk pertama kalinya di bangku SMP, saya selalu senang ketika Pak Guru mulai meminta kami membuka atlas seraya beliau bergerak dari papan tulis menuju peta dunia yang tergantung di dinding. Melihat luasnya dunia dalam lembaran-lembaran kertas memang menakjubkan, terlebih lagi ada satu hal yang selalu membuat saya penasaran: bagaimana bentuk benua Afrika bisa begitu cocok jika disandingkan dengan Amerika Selatan, seperti puzzle.
Setelah sekian lama menyimpan rasa penasaran, saya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Pak Guru:
“Pak, kenapa Afrika dan Amerika Selatan punya kecocokan di salah satu sisinya? Apa mereka dulu satu benua?”
Bukannya langsung memberikan jawaban, beliau terbahak-bahak — mungkin karena menganggap pertanyaan saya lucu.
“Mana mungkin dua benua yang berbeda pernah bersatu? Gak pernah ada, Nak!”
Saya pun mengangguk saja, karena sebagaimana yang selalu diajarkan pada saya, guru adalah orang yang paling benar.
Baru bertahun-tahun kemudian saya membaca tentang Pangaea, sebuah benua super yang terbentuk 300 juta tahun yang lalu. Benua tersebut mulai pecah dan bergeser 100 juta tahun yang lalu hingga membentuk bumi seperti sekarang. Nyatanya, benua Afrika dan Amerika Selatan memang pernah bersatu membentuk Pangaea.
Pertanyaannya: kenapa sah-sah saja menurut Pak Guru untuk menertawai rasa penasaran muridnya (yang toh ternyata berdasarkan fakta!), dan kenapa pula saya bisa sangat percaya bahwa menghormati Guru adalah segalanya?
ADVERTISEMENTS
Mungkin Tujuan Sekolah Bukanlah Untuk Mendidik Kita Jadi Pintar, Melainkan Mencetak Manusia yang Gampang Diatur dan Sesuai Standar — Seperti Robot
Bukan salah guru Geografi saya sepenuhnya jika beliau belum pernah mendengar nama Pangaea. Mungkin ia terlalu fokus pada materi kurikulum sehingga tak sempat mengeksplor materi Geografi yang ada di luar buku teks. Yang saya sesalkan adalah beliau menganggap menertawakan imajinasi yang ditelurkan peserta didiknya sebagai hal yang sah-sah saja.
Berapa menit sih yang akan terbuang di kelas jika Pak Guru meminta saya menjelaskan mengapa saya bisa punya pertanyaan demikian? Padahal, dengan senang hati saya akan menunjukkan betapa cocoknya garis benua di sisi barat Afrika dengan sisi timur Amerika Selatan. Bukan hal mengejutkan bila pembaca juga pernah mengalami kejadian serupa dengan saya di bangku sekolah. Atau justru pembaca takut untuk bertanya pada guru, karena sudah dididik sedemikian rupa untuk terbiasa menerima — tanpa banyak bertanya?
Bisa jadi, sistem pendidikan yang saat ini ada tidak dirancang untuk membuat anak-anak didiknya menjadi ingin tahu dan pintar. Mungkin sistem pendidikan ini lebih bertujuan melatih semua anak didik untuk bisa memenuhi suatu standar: standar tentang apa itu murid teladan.
Di Indonesia, murid teladan bukanlah mereka yang rajin membaca, ingin tahu, dan berani bertanya atau mendebat guru. Murid teladan adalah mereka yang “patuh”, “kalem”, “sopan”. Murid teladan adalah mereka yang bisa menaati standar:
1. “Sopan”, patuh dan penurut pada apapun kata guru (sementara banyak murid punya rasa ingin tahu yang luar biasa dan pemikiran yang kritis)
2. “Kalem”, tidak banyak tanya. Belajar dengan mencatat pelajaran secara seksama (sementara banyak murid bisa menyerap ilmu dengan maksimal justru jika dibolehkan berdiskusi)
3. “Rapi”, dengan panjang rambut hingga warna sepatu yang sudah ditentukan dan tak dapat dibantah
4. Punya bakat di bidang Matematika dan IPA. (Bakat lain seperti menulis dan bermusik adalah nilai plus, namun bakat di bidang sains adalah permata yang menjadikan mereka lebih pintar dari murid-murid lainnya)
Murid yang tak bisa memenuhi standar ini adalah “nakal”, “bandel”, atau “bodoh”.
Memberlakukan standar sebenarnya bukan hal yang haram. Bukankah dengan ini para birokrat bisa mengukur perkembangan dunia pendidikan? Namun, apakah standar ini kemudian harus mengorbankan jiwa kreatif anak-anak kita? Apakah standar ini harus membunuh kepribadian unik yang dimiliki masing-masing mereka?
ADVERTISEMENTS
Saat Masih TK/SD, Kita Selalu Menggambar Gunung Kembar Dengan Matahari dan Sawah. Kenapa Sekolah Tak Mendorong Kita Berani Beda?
Berapa banyak di antara kita yang menggambar sepasang gunung dengan matahari mengintip di tengahnya, serta aliran sungai atau jalan yang membelah sawah di bawahnya? Hampir semua anak Indonesia yang pernah sekolah pernah menggambarnya. Kenapa?
Padahal, tidak semua anak Indonesia hidup di dekat area persawahan. Tidak semua dari kita beruntung punya tempat tinggal dengan pemandangan gunung kembar. Secara emosional, mungkin kita lebih dekat pada pantai, perbukitan tandus, atau bahkan lampu-lampu kota — karena itulah yang sering kita lihat sehari-hari.
Tetap saja kita merasa wajib menggambar gunung dan sawah. Karena semua teman kita menggambar pemandangan yang sama, kita takut beda sendiri. Lagipula, arena guru kita tak pernah membebaskan murid-muridnya untuk menggambar objek lain.
Setiap manusia lahir dengan kreativitas natural masing-masing, namun sekolah sering melupakan kenyataan tersebut. Anak dilatih untuk merasa malu saat ingin melakukan hal yang berbeda dari teman-temannya. Kepribadian mereka yang unik sengaja ditekan. Kalau tidak bisa? Katakan mereka bandel. Katakan mereka nakal. Katakan mereka susah diatur!
ADVERTISEMENTS
Di Indonesia, Ulangan dan Ujian Didewakan. Anak Jadi Takut Berbuat Gagal, Tanpa Pernah Dibimbing Untuk Belajar dari Kegagalan
Anak terlahir dengan bakat intelegensia yang berbeda, kreativitas yang beda, serta latar belakang sosial budaya yang beda juga. Seandainya kita memberikan mereka satu tes, pastikan bahwa tujuan tes itu adalah mengetahui kemampuan mereka sehingga kita tahu mana yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan kita. Bukannya malah menakut-nakuti, mengancam, atau menghukum mereka dengan sanksi sosial ketika mereka gagal:
“Kalian jangan sampai gak lulus UN ya! Mau ditaruh di mana nanti muka sekolah kita?”
Tapi ancaman ini tidak dibarengi dengan tuntunan sekolah untuk mengambil pelajaran dari kegagalan seandainya mereka memang harus gagal. Tidak ada sekolah yang bilang, “Tidak apa kalau gagal, yang penting kalian sudah berusaha belajar. Bukannya toh masih ada ujian ulangan dan kejar Paket-C?”
Takut berbuat salah membuat anak nggak mau berpikir apa yang bisa dia lakukan jika kesalahan terjadi. Anak jadi lebih sulit memutar otak dan membuat Plan-B. Anak tak dibiarkan untuk menyiapkan ide orisinal jika sesuatu berjalan tak sesuai harapan.
Hal yang serupa toh juga terulang dalam kasus ulangan biasa. Jika anak menuliskan jawaban yang salah di kertas ulangan, kita tak lantas membimbing mereka untuk sigap mencari jawaban yang benar. Tanpa disadari, sistem pendidikan yang seperti ini telah mematikan kreativitas anak-anak.
ADVERTISEMENTS
Lalu, Apa yang Harus Diubah dari Sistem Pendidikan dan Sekolah-Sekolah Kita?
Bahkan di Inggris maupun Amerika, sistem pendidikan yang diterapkan manusia pada umumnya menyusun mata pelajaran secara hierarkis. Matematika selalu berada di posisi teratas, dengan porsi yang banyak dan selalu dianggap terpenting — bahkan sering menjadi syarat kelulusan. Di bawahnya ada pelajaran Bahasa, lalu diikuti pelajaran bersifat budi pekerti. Kesenian selalu mendapat porsi paling kecil, dan gak jarang diajarkan ketika jam sekolah sudah hampir berakhir. Di Indonesia seni dan kebudayaan juga seringkali hanya dianggap sebagai muatan lokal — sekadar untuk memenuhi kurikulum.
Hierarki seperti ini sudah tak relevan di zaman dimana ekonomi kreatif semakin menggeliat. Sudah waktunya untuk mengajarkan pada anak bahwa matematika, ekonomi, sains, bahasa, hingga pelajaran komputer dan kesenian adalah sama pentingnya.
Kita harus pula hati-hati dalam menetapkan standarisasi. Anak-anak yang bisa disekolahkan orangtuanya di sekolah-sekolah berkualitas di kota sudah hampir pasti berbeda kemampuannya dengan anak-anak di pedesaan terpencil yang sering libur sekolah karena tak ada guru. Maksudnya bukanlah bahwa anak-anak di pedesaan ini bodoh — maksudnya adalah tidak adil untuk mengukur kemampuan mereka dengan tes yang sama, sementara perhatian pemerintah terhadap mereka saja tidak sama!
ADVERTISEMENTS
Kurikulum Selalu Diubah Hampir Tiap Kali Menteri Pendidikan Diganti. Apakah yang Sekarang Akan Lebih Baik?
Hampir tiap kali menteri pendidikan baru menjabat, selalu ada perubahan kurikulum bagi sistem pendidikan di Indonesia. Benarkah ada perubahan nyata yang ditawarkan oleh kurikulum-kurikulum baru, ataukah ini hanya sekadar perubahan kosmetik alias ganti nama?
Sejak duduk di bangku SD hingga SMA dulu, mungkin kamu sudah mencicipi 2-3 kali pergantian kurikulum. Adakah perbedaan signifikan yang kamu rasakan? Selama ini — entah tak peduli berapa kali kurikulum berganti — secara umum kita hanya merasakan hal yang sama: guru datang, memberi pelajaran, menugaskan latihan dan PR, serta sesekali ulangan sebagai evaluasi. Apa bedanya?
Jangan-jangan pergantian kurikulum yang begitu sering ini hanya dijadikan kedok sebagai ladang korupsi. Tahun ini Menteri Anies Baswedan membatalkan penerapan Kurikulum 2013. Bagaimana pengaruhnya dalam jangka waktu ke depan, masih harus menunggu waktu.
Sistem pendidikan yang pernah kita cicipi (dan sekarang sedang dienyam oleh anak, adik atau keponakanmu) bersifat kaku dan linear, mirip seperti program-program yang mencetak robot. Padahal tiap-tiap manusia, termasuk kamu dan keluargamu, bersifat organik dan tak pernah bisa ditebak.
Sistem yang kita terapkan selama ini memaksa anak didik untuk berjalan di jalur kaku yang sudah ditetapkan. Meniti jalur yang berbeda berarti pemberontak dan nakal.
Sekarang kita punya PR besar: memikirkan prinsip seperti apa yang seharusnya digunakan untuk mendidik generasi penerus. Apapun itu, harus ada pendekatan baru dalam memupuk kreativitas anak, agar sekolah bisa berhenti membunuhnya.