“Pakai eyeliner gitu berapa menit? Kalo bikin rambut jadi kayak gitu berapa menit? Ih lama banget ya? Kalau aku sih habis mandi cuma sisiran sama pakai baju, 5 menit doang. Langsung ngampus deh!”
“Beli lipstik aja 200.000? Nggak sayang uangnya?”
Cewek-cewek yang rutin berdandan rapi dan memoles wajah mereka setiap hari sudah biasa mendengar pertanyaan di atas dalam berbagai variasinya. Intinya sama, mempertanyakan kenapa cewek-cewek ini “setia” pada lipstik, kuas blush, dan foundation mereka. Ada rasa ingin tahu bercampur sedikit kesan meremehkan dalam pertanyaan: buatmu makeup sepenting itu, ya?
“Kamu lebih cantik kalo nggak pakai makeup, lho. Lebih natural.”
Adalah komentar lainnya yang, buat cewek-cewek pecinta makeup, sudah jadi layaknya angin: komentar ini ada di mana-mana, dan selalu siap menggelitik telinga. Mungkin memang, seni merias diri — sebagaimana seni-seni lainnya di dunia — bukan untuk semua orang. Biayanya mahal, menguasai teknik-tekniknya butuh latihan, hasilnya pun belum tentu memuaskan. Buat banyak cewek, usaha yang dikeluarkan untuk memoleskan makeup di wajah memang terlalu besar. Sementara buat banyak cowok, penampilan cewek justru jauh lebih menarik tanpa riasan.
Okelah, sah-sah aja mereka berpikir begitu. Tapi nggak usah nyinyir ke cewek yang suka makeup bisa ‘kan ya?
Makeup memberi cewek kekuatan untuk menentukan bagaimana orang memandang mereka — dengan menonjolkan fitur yang tadinya luput dari perhatian dunia
Bagi kami yang mencintai makeup, tak ada yang lebih powerful dari kebebasan menentukan bagaimana diri kami ingin dilihat oleh orang lain di luar sana.
Makeup punya daya magis untuk mengubah fitur-fitur wajah yang tadinya terlihat tak menonjol jadi mencuri perhatian. Sepasang mata yang sebelumnya terlihat suntuk bisa tampak segar secara instan, hanya dengan sapuan eyeshadow warna cerah dan segaris winged eyeliner di kedua sudutnya. Dengan kontur yang tepat, pipi yang tadinya terlihat biasa saja jadi tampak tajam dan lebih tirus. Mau tampil berani, sweet, atau bahkan queer? Kamu tinggal menyesuaikan keinginanmu hari itu dengan warna lipstikmu. Merah tua, gandaria, ungu.
Kami, para cewek yang secara sadar memilih untuk mengenakan makeup, bukannya berniat mengelabui orang lain dengan menonjolkan fitur-fitur wajah kami sesuai keinginan hati. Sebaliknya, inilah cara kami untuk menunjukkan pada dunia: Hei, kami ada di sini. Lihatlah kami dengan cara yang sudah kami atur sebelumnya dengan hati-hati.
Dengan makeup, kami terlihat lebih layak dan rapi. Orang yang menemui pun akan merasa lebih dihargai
Berpenampilan rapi adalah cara mudah untuk menghargai orang yang akan kami temui di luar rumah nanti. Dengan menampilkan wajah segar dan rambut rapi, kami berusaha menyajikan “pemandangan” yang baik untuk orang yang akan kami temui. Pasti kamu sebal ‘kan kalau harus duduk berhadap-hadapan dengan orang yang bau badan? Kami berdandan untuk meminimalisir kejadian itu. Bersusah-payah mencuci muka dan mendandaninya setiap pagi, karena ingin menghormatimu.
Makeup adalah cara kami menghargai diri. Karena bukan hanya cewek putih nan langsing saja yang pantas didandani
“Pengen sih pakai gincu warna mencolok gituu… Tapi kalau aku yang pakai nanti jatuhnya jelek. Kalau Mbak yang di iklan sih pas -pas aja, lha wong dia cantik.”
Cewek-cewek yang menyukai makeup tidak percaya dengan kalimat seperti di atas. Bagi kami, bukan hanya mereka yang tinggi, kurus, dan putih saja yang berhak bereksperimen dengan lipstik warna menyala atau bulu mata palsu. Siapapun berhak mencuri perhatian dan merasa dirinya cantik, bahkan walau tak memiliki wajah ala model cover majalah.
Jadi, pandangan miring banyak orang bahwa kami insecure dan tak percaya diri itu sebenarnya silly. Justru cewek yang “jatuh cinta” pada makeup adalah cewek yang sudah nyaman dengan wajahnya sendiri — sudah mengamini bahwa ia juga berhak tampil menarik, seperti cewek-cewek tinggi, putih, dan kurus yang memonopoli definisi kata “cantik” selama ini.
Makeup adalah seni. Seni mengenal diri sendiri dengan belajar apa yang kami sukai dan tak sukai
Apakah karena makeup adalah hal yang feminin, lalu orang menganggapnya ribet dan nggak penting? Padahal, makeup adalah seni: seni mengenal diri sendiri dengan belajar apa yang kami sukai dan tak sukai.
Setelah beberapa lama belajar ber-makeup, saya jadi tahu bahwa saya lebih menyukai alis yang tebal daripada yang tipis, lebih memilih makeup berwarna nude daripada bold, lebih nyaman untuk menonjolkan mata daripada bagian wajah saya yang lainnya. Tanyakanlah pada teman-temanmu yang rajin memakai makeup, dan mereka akan dengan fasih menjelaskan apa yang mereka suka dan tak suka lakukan pada wajah mereka.
Makeup memang tidak mudah. Kami harus berlatih dan gagal berkali-kali dulu sebelum jadi sedikit ahli. Harus belajar mencocokkan warna bibir dengan dandanan mata agar keduanya bisa saling menyeimbangkan; memilih foundation atau primer yang terlihat baik di kamera, tapi nggak bikin berminyak atau jerawatan; menciptakan garis eyeliner yang rapi dan simetris; memberi kontur untuk menarik perhatian orang pada daerah-daerah tertentu dari pipi.
Dan kenapa kami rela melakukannya? Karena kami senang, karena kami bahagia.
Mau makeup tebal atau tipis, bukankah ini wajah kami sendiri?
“Ih, lihat deh tuh Mbak yang di situ, mukanya didempul udah kayak VSCO berjalan.”
Preferensi setiap cewek bermacam-macam. Ada yang lebih suka makeup tipis, ada yang baru merasa jadi diri sendiri saat berdandan full dengan bulu mata palsu dan smokey eyes.
Mungkin kamu tak selalu menyukai bagaimana mereka mendandani wajahnya. Mungkin bagimu, sapuan makeup mereka terlalu menor untuk standarmu. Tapi kalau itu bikin mereka senang, dan kalau toh mereka nggak merugikan siapa-siapa, kenapa harus mempermalukan mereka karena hobi dandan yang mereka punya?
Suka atau nggak suka makeup, semua orang berhak melakukan hobi masing-masing, semua orang berhak bahagia, dan semua orang berhak dihormati atas pilihannya. Iya ‘kan ya?