Artikel ini ditulis sebagai bentuk keresahan atas apa yang kerap terjadi di sekitar kita, baik kita sebagai pelaku maupun kita sebagai korban.
Sebelum masuk, boleh gak saya tanya, pernah gak ajakan kamu sama temen buat hadir ke satu acara direspon dengan jawaban “Insha’ Allah”? Pasti pernah. Iya, gak? Mungkin perasaanmu waktu itu di ambang putus asa buat mengharapkannya dateng.
Satu pertanyaan lagi deh: Apa kamu pernah ngerasain dia yang sebelumnya jawab Insha Allah di hari H gak nepati janji? Mungkin pernah dan reaksi kamu pasti gak jauh dari kecewa. Maka dari itu, kita kerap malas dengan orang yang menjawab dengan “Insha’ Allah”. Dan, kamu juga mungkin pernah ngerasa kamu yang jadi pelaku.
ADVERTISEMENTS
Frasa Insha’ Allah diperintahkan oleh Islam. Biar kita ngga sotoy soal apa yang bakal terjadi di masa depan.
Sebenernya, sama sekali gak ada yang salah dengan frasa Insha’ Allah. Islam malah mengajarkan kita buat nggak membuat pernyataan definitif tentang masa depan, soalnya cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Bagus banget, bukan? Tapi yang jadi masalah dan salah itu frasa Insha’ Allah sering kita pake jadi ‘senjata’.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Dalam budaya Arab, ngejawab perintah orangtua dengan “Ok” itu gak sopan! Harus Insha’ Allah.
Frasa Insha’ Allah bisa kita liat dari sisi agama dan budaya. Di negara-negara Arab, penggunakan frasa Insha’ Allah itu sebagai bentuk rasa hormat ke orangtua. Contohnya, sebagai anak-anak, ketika orang tua ngasih tau kita buat segera beresin tugas, maka jawaban paling hormat adalah Insha’ Allah. Bukan “Ok” seperti di budaya Barat.
ADVERTISEMENTS
Beda cerita di Indonesia. Insha’ Allah dianggap cara halus buat janji tapi sebenarnya gak pasti bisa nepatin.
Gak bisa kita pungkiri, kebanyakan dari kita pasti pernah menggunakan frasa Insha’ Allah sebagai senjata buat gak bisa nepatin janji. Frasa Insha’ Allah untuk berjanji yang tidak pasti. Bahkan kita pake buat alasan ketidaktepatan waktu atau janji.
ADVERTISEMENTS
Dapet perhatian dari Profesor asal Jepang. Begini curhatannya soal Insha’ Allah versi Indonesia.
Seorang profesor asal Jepang, Hisanori Kato, yang pernah tinggal di Indonesia dalam bukunya pernah curhat soal frasa Insha’ Allah. Dalam bukunya yang berjudul Kangen Indonesia, Kato nulis, “Sebagai orang Jepang, kalau saya berkata, ‘Janji ya?’, saya ingin lawan bicara mengatakan ‘Ya, saya mengerti’. Tetapi banyak orang Indonesia menjawab ‘Insya Allah’.”
Itu ditulis atas pengalamannya. Ceritanya, dia pernah ngatur janji buat ketemuan sama seseorang Indonesia. Tapi pas waktunya, orang itu gak kunjung nunjukin batang idungnya. Menurut Kato, alasan orang yang dia ajak buat janjian gak dateng karena hujan.
ADVERTISEMENTS
Kata sakti bagi orang Indonesia untuk tak menepati janji. Tapi kamu harus konsep Insha’ Allah sesungguhnya.
Semisal ada seorang janji dan pake frasa Insha’ Allah, kemudian dia gak bisa nepatin, maka saat itulah frasa Insha’ Allah jadi kata sakti. Perasaan bersalah pun rasanya tak lebih berat dibanding berjanji tanpa Insha’ Allah.
Dalam bukunya, Profesor Hisanori Kato pernah menanyakan masalah Insha’ Allah kepada almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
“Yang terakhir Allah yang menentukan, tetapi sampai batas itu manusia harus berusaha dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya,” pesan Gus Dur.
Saya pikir, udah saatnya kita sebagai anak muda mulai memperbaiki reputasi negatif orang Indonesia tentang penggunaan frasa Insha’ Allah. Kita mungkin bakal mengucapkan kata Insha’ Allah secara otomatis, tapi… hanya dalam situasi di mana kamu benar-benar menggunakannya sesuai dengan konsep Insha Allah yang sebenarnya. Insha’ Allah sebenarnya sebuah kata yang penting, terutama bagi seorang muslim. Kita semua harus menerapkan prinsip ini dari sekarang.