Ramadhan sudah menginjak minggu kedua. Artinya, sudah lebih dari 7 hari umat Muslim di seluruh dunia beribadah menahan nafsu dan mendekatkan diri dengan Tuhan mereka. Namun di antara jutaan umat Muslim yang berpuasa ternyata ada juga yang masih makan dan minum seperti biasa. Termasuk di lingkungan saya.
Mereka yang tidak menjalankan ibadah puasa ini kemudian mengundang pertanyaan dari sekelilingnya. Ada yang bertanya secara terbuka (biasanya tetangga atau senior di tempat kerja): “Kok kamu nggak puasa sih?” Ada juga pertanyaan yang bersifat ghibah alias membicarakan di belakang.
“Eh, si X nggak puasa ya? Tadi aku lihat dia makan di pantry.”
“Nggak tahu deh. Lagi males kali.”
Niat mereka sebenarnya baik, mengingatkan saudara seimannya untuk lebih taat dalam beribadah. Tapi, apakah niatan itu memang hanya bisa tersampaikan lewat pertanyaan yang melanggar privasi seperti “Kok kamu gak puasa?”
ADVERTISEMENTS
Orang yang tetap minum dan makan selama Ramadhan pasti punya alasan sendiri. Serta privasi yang layak dihormati
Orang-orang di sekitar kita yang tak berpuasa pasti punya alasan yang melatarbelakangi keputusan mereka.
“Aku tuh sebenarnya selalu nyoba buat puasa, tapi memang masih bolong-bolong,” kata salah seorang teman saya ketika kami makan siang bersama. Bukan karena dia malas atau tak pernah dibiasakan oleh orangtuanya untuk berpuasa sewaktu kecil. “Badanku udah terlalu kurus. Kalau puasa full 30 hari pasti turun 5-6 kilogram. Pas Lebaran masuk rumah sakit deh.” Karena itulah, dia memutuskan untuk hanya berpuasa sekuatnya saja. Jika sudah merasa lemas, dia akan segera berbuka.
“Lho? Anak-anak pada ngomongin kenapa aku nggak puasa?” kata teman saya yang lain, yang sempat jadi bahan gunjingan di kost karena tak pernah sholat dan berpuasa. “Aku ‘kan bukan Muslim. Jangankan puasa, sholat aja aku gak tahu caranya gimana.”
Mendengar itu, saya pun bertanya kenapa selama ini dia selalu menjawab “Wa’alaikum salam” saat anak-anak kost mengucapkan “Assalamu’alaikum”.
“Biar sopan aja,” jawabnya. “Eh, emangnya nggak boleh ya?”
Selain kedua alasan di atas, pasti ada juga mereka yang memilih tak berpuasa karena malas. Atau mungkin, karena mereka telat bangun sahur. Tapi alasan seperti ini seharusnya tetap menjadi privasi. Tidak layak tiba-tiba kita gali.
Toh pada akhirnya berpuasa atau tidak adalah pilihan sendiri-sendiri. Dan karena kita sudah dewasa, masing-masing adalah pilihan yang mesti dihormati.
ADVERTISEMENTS
Tak perlulah melempar pertanyaan yang bersifat pribadi. Meski niatnya mengingatkan, pesan sebaik apapun akan gagal tersampaikan jika cara menyampaikannya menyebalkan
Sebagian besar orang pasti akan merasa risih ketika orang lain ingin tahu alasan mereka tak berpuasa. Pertanyaan “Kenapa?”, apalagi jika keluar dari orang-orang yang bukan teman dekat, akan membuat mereka merasa dihakimi. Dipandang sebelah mata karena dari luar, ketaatan mereka tak terlihat sempurna.
Mungkin niat si penanya memang baik. Ia ingin mencoba mengingatkan bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban. Namun kita harus memaklumi juga bahwa niat sebaik apapun bisa gagal tersampaikan, jika cara menyampaikannya menyebalkan.
Lagipula, kemungkinan besar mereka yang memilih untuk tak berpuasa itu sudah paham kok bahwa puasa Ramadhan adalah wajib. Mereka tak ingin diingatkan. Yang mereka inginkan adalah dihormati sebagai orang dewasa yang punya privasi.
ADVERTISEMENTS
Tak perlu marah pada mereka yang makan dan minum di depan muka. Jika dalam hati sudah ada niat baja, bukankah kita harusnya santai saja?
Kalau sedang puasa, pemandangan orang yang sedang makan memang terlihat menggoda. Rasanya jadi ingin ikut makan dan membatalkan puasa. Tapi apakah kita akan benar-benar melakukannya? Tentu tidak, kalau niat berpuasa dalam hati memang sudah sempurna.
Kadang mereka yang tidak berpuasa memang lahap menyantap makan siang di depan wajah kita. Tapi, bukan berarti mereka bermaksud tak menghormati teman-temannya yang tak berpuasa. Kasihan juga, ‘kan, kalau mereka harus makan sembunyi-sembunyi di belakang? Di bulan Ramadhan, aktivitas makan siang tak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang “kriminal”, harus ditutupi tirai dan dilakukan diam-diam. Kalau memang seseorang tak berpuasa, bukankah makan dan minum dengan nyaman adalah haknya?
ADVERTISEMENTS
Tak perlu juga menghakimi mereka yang tak berpuasa. Yang merasa berhak menghakimi, uhm… situ oke? 🙂
Bukan urusan kita kenapa seseorang memutuskan untuk tak berpuasa. Bukan urusan kita juga untuk menentukan kadar keimanan mereka. Seharusnya, kegiatan hakim-menghakimi ini tidak dilakukan oleh kita yang manusia. Peran itu sudah diambil oleh Yang Punya Singgasana Di Atas Sana.
Dan kalau ada salah satu dari kita yang merasa layak menggantikan-Nya… uhmmm… situ oke?! 😀
ADVERTISEMENTS
Bukankah pada akhirnya agama adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhannya? Daripada sibuk tanya sana-sini, lebih baik fokus pada ibadah sendiri
Dalam ilmu Ekonomi dasar yang diajarkan ke kita di SMA dulu, ada istilah opportunity cost. Untuk bisa mendapatkan atau melakukan sesuatu, harus ada yang dikorbankan demi itu — dan itulah yang disebut opportunity cost. Saya kira, opportunity cost dari sibuk bertanya kenapa X dan Y tak berpuasa adalah hilangnya kesempatan untuk fokus pada perbuatan dan ibadah kita sendiri. Karena sibuk mengurusi orang lain, kita lupa bahwa mengurus diri sendiri sebenarnya lebih penting.
Pada akhirnya agama adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Ah, daripada bertanya kenapa seseorang tak berpuasa, sudahkah kita memeriksa sempurna-tidaknya ibadah puasa kita?